PBB: Egoisme Negara-Negara Menyebabkan Darurat Laut (Ocean Emergency)

Pada Senin, 27 Juni hingga Jumat, 1 Juli 2022 berlangsung Konferensi Kelautan PBB (UNOC) 2022 di Lisbon, Portugal, yang dihadiri oleh para pemimpin global dan kepala negara dari 20 negara.

Pada momen ini, Sekjen PBB menyatakan bahwa dunia berada di tengah “darurat laut” (Ocean Emergency), dan mendesak pemerintah untuk berbuat lebih banyak dan serius untuk memulihkan kesehatan laut.

“Sayangnya, kita telah mengabaikan lautan dan hari ini kita menghadapi apa yang saya sebut ‘Darurat Laut’. Kita harus membalikkan keadaan,” ujar Antonio Guterres, Sekjen PBB.

Guterres mengatakan egoisme beberapa negara menghambat upaya untuk menyetujui perjanjian yang telah lama ditunggu-tunggu untuk melindungi lautan dunia.

Bulan Maret lalu, negara-negara anggota PBB dikritik oleh para ilmuwan dan aktivis lingkungan karena gagal menyepakati blueprint untuk melindungi laut lepas dari eksploitasi. Dari 64% laut lepas yang berada di luar batas teritorial, hanya 1,2% saja yang saat ini dilindungi.

Menurut laporan iklim global Organisasi Meteorologi Dunia pada tahun 2021, kenaikan permukaan laut, pemanasan laut, pengasaman laut, dan konsentrasi gas rumah kaca semuanya mencapai rekor.

Negara-negara tingkat rendah dan kota-kota pesisir menghadapi banjir, sementara polusi menciptakan zona mati pesisir yang luas dan penangkapan ikan yang berlebihan telah melumpuhkan stok ikan di laut.

Polusi laut meningkat dan spesies laut menurun, termasuk hiu dan pari, yang populasinya telah turun lebih dari 70% selama 50 tahun terakhir. Hampir 80% air limbah dunia dibuang ke laut tanpa pengolahan, sementara setidaknya 8 juta ton plastik masuk ke lautan setiap tahun.

“Tanpa tindakan drastis, plastik bisa melebihi semua ikan di lautan pada tahun 2050. Kita tidak dapat memiliki planet yang sehat tanpa laut yang sehat,” ujar Guterres dalam sambutan pembukaannya.

“Masih banyak yang perlu dilakukan bersama-sama, termasuk lebih banyak pendanaan untuk inovasi ilmiah. Lautan yang sehat dan produktif sangat penting untuk masa depan kita bersama,” kata Guterres.

Tema Konferensi Kelautan PBB (UNOC) 2022 adalah “the critical need for scientific knowledge and marine technology to build ocean resilience” (kebutuhan kritis akan pengetahuan ilmiah dan teknologi kelautan untuk membangun ketahanan laut). Sala satunya bertujuan untuk memetakan 80% dari dasar laut pada tahun 2030.

Sekjen PBB membuat beberapa rekomendasi, termasuk pengelolaan berkelanjutan yang dapat membantu lautan menghasilkan makanan 6 kali lebih banyak dan menghasilkan energi terbarukan 40 kali lebih banyak daripada saat ini, dan melindungi lautan serta orang-orang di wilayah pesisir dari dampak krisis iklim.

Lebih dari 3,5 miliar orang bergantung pada laut untuk ketahanan pangan, sementara 120 juta bekerja langsung dalam kegiatan terkait perikanan dan akuakultur yang mayoritas berada di negara berkembang, pulau kecil dan negara kurang berkembang. Namun SDG nomor 14 yaitu melestarikan dan menggunakan laut dan lingkungan laut secara berkelanjutan untuk pembangunan berkelanjutan adalah yang paling sedikit didanai dari semua SDG, ujar Guterres.***

Baca juga: Tik Tok! Waktu Penyelamatan Bumi Sisa 7 Tahun Lagi!

Sumber: Akun Youtube PBB

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Overfishing dan Kekeringan Laut

Peningkatan suhu global menyebabkan peningkatan penguapan air dari permukaan laut, yang pada gilirannya meningkatkan konsentrasi garam dalam air laut. Kekeringan laut terjadi ketika air laut menguap lebih cepat daripada yang dapat digantikan oleh aliran air segar, seperti dari sungai-sungai atau curah hujan. Akibatnya, air laut menjadi lebih asin dan volume air laut berkurang.

Penerapan Kampung Ikan Berbasis Teknologi Hatchery dalam Optimalisasi Percepatan Kemandirian Pangan Perikanan Nasional

Salah satu kisah sukses teknologi hatchery adalah hatchery skala rumah tangga (HSRT) yang terdapat dibagian utara Bali.

Teknologi ini dikembangkan oleh Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol Bali dan dengan pesat diterapkan oleh nelayan – nelayan setempat yang awalnya ingin mengadakan diversifikasi usaha dari perikanan budidaya secara tradisional ke perikanan budidaya skala industri seperti tambak dan keramba jaring apung.

Tanggapan