Rekor Krisis Iklim: Tahun 2022 Merupakan Suhu Lautan Global Terpanas

krisis iklim dan pemanasan laut

Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) pada bulan Oktober melaporkan bahwa konsentrasi atmosfer dari semua gas rumah kaca terutama karbon dioksida, metana, dan dinitrogen oksida telah mencapai rekor tertinggi. Kemudian para ilmuwan mengemukakan bahwa tahun 2022 merupakan tahun terpanas untuk suhu lautan global.

Laut mendominasi pola cuaca global dan krisis iklim telah menyebabkan perubahan besar dan merusak pola tersebut. Fakat ini juga menunjukkan perubahan yang mendalam dan meluas yang disebabkan oleh emisi manusia terhadap iklim planet ini.

Lebih dari 90% kelebihan panas yang terperangkap di atmosfer akan diserap di lautan. Lautan yang lebih panas akan mendorong cuaca ekstrem, menyebabkan badai dan topan yang lebih intens dan lebih banyak uap air di udara, yang membawa hujan dan banjir yang lebih intens. Air yang lebih hangat juga mengembang, mendorong permukaan laut dan membahayakan kota-kota pesisir.

Suhu lautan jauh lebih sedikit dipengaruhi oleh variabilitas iklim alami daripada suhu atmosfer, menjadikan lautan sebagai indikator pemanasan global yang tidak dapat dibantah.

penyebab krisis iklim
Ulah manusia berupa industri pembangkit listrik tenaga batu bara merupakan pencemar terbesar. / Foto: Greenpeace

Tim ilmuwan internasional yang menganalisis suhu lautan, sebagaimana dilansir dari The Guardian baru-baru ini menyimpulkan: “Energi bumi dan siklus air telah sangat berubah karena emisi gas rumah kaca oleh aktivitas manusia, mendorong perubahan luas dalam sistem iklim Bumi.”

Prof John Abraham, di University of St Thomas di Minnesota yang merupakan bagian dari tim studi, mengatakan: “Jika Anda ingin mengukur pemanasan global, Anda ingin mengukur ke mana perginya pemanasan, dan lebih dari 90% masuk ke lautan.”

“Mengukur lautan adalah cara paling akurat untuk menentukan seberapa tidak seimbangnya planet kita. Kita mendapatkan cuaca yang lebih ekstrem karena lautan yang menghangat dan itu memiliki konsekuensi yang luar biasa di seluruh dunia,” ujar Prof John Abraham.

Prof Michael Mann, di University of Pennsylvania, juga bagian dari tim, mengatakan: “Lautan yang lebih hangat berarti ada lebih banyak potensi untuk peristiwa curah hujan yang lebih besar, seperti yang telah kita lihat tahun lalu di Eropa, Australia, dan saat ini di pantai barat AS.”

Penelitian yang dirilis pada hari Senin, 9 Januari 2023 oleh Administrasi Kelautan dan Atmosfer Nasional AS menunjukkan bahwa banyak peristiwa cuaca ekstrem pada tahun 2022 menjadi lebih mungkin dan lebih intens oleh krisis iklim, seperti hujan lebat yang menyebabkan banjir dahsyat di Chad, Niger, dan Nigeria.

suhu lautan
Tim Chasing The Shadow (CATS) berfoto bersama dengan membentangkan spanduk di tengah semburan lumpur Lapindo di desa Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, Indonesia. Aliran lumpur juga menghasilkan metana, gas rumah kaca yang kuat yang menyebabkan pemanasan global dan menyebabkan perubahan iklim. Greenpeace Indonesia mengadakan tur sepeda Chasing The Shadow (CATS) dari Jakarta ke Bandung, Semarang, Surabaya dan finis di Bali untuk menyaksikan dampak krisis iklim di Indonesia. / Foto: Fully Syafi / Greenpeace

Pengukuran suhu laut yang mutakhir dilakukan sejak tahun 1940, tetapi kemungkinan besar lautan sekarang berada pada titik terpanas selama 1.000 tahun dan memanas lebih cepat dari waktu mana pun dalam 2.000 tahun terakhir.

Analisis tersebut, yang diterbitkan dalam jurnal Advances in Atmospheric Sciences, menggunakan data suhu yang dikumpulkan oleh berbagai instrumen di seluruh lautan dan menggabungkan analisis terpisah oleh tim China dan AS untuk menghitung kandungan panas dari 2.000 meter teratas, tempat sebagian besar pemanasan terjadi.

Lautan menyerap sekitar 10 zettajoule lebih banyak panas pada tahun 2022 dibandingkan tahun 2021, setara dengan setiap orang di bumi yang menjalankan 40 pengering rambut sepanjang hari, setiap hari.

Para peneliti juga menganalisis salinitas, yang bersama dengan suhu menentukan kerapatan air dan merupakan pendorong vital sirkulasi laut. Indeks variabilitas salinitas di seluruh lautan mencapai rekor tertinggi pada tahun 2022, menunjukkan amplifikasi berkelanjutan dari siklus hidrologi global.

Ciri penting lain dari lautan adalah stratifikasi, di mana pelapisan air berdasarkan kepadatan menjadi lebih kuat. Ini membatasi pencampuran air yang lebih dalam, lebih dingin, dan lebih kaya nutrisi dengan air permukaan. Tren jangka panjang peningkatan stratifikasi berlanjut pada tahun 2022, para ilmuwan menemukan, dengan “konsekuensi ilmiah, sosial, dan ekologis yang penting”.

Salah satu akibatnya, kata Prof Abraham, berkurangnya percampuran di lautan berarti lapisan permukaan menyerap lebih sedikit karbon dioksida dari atmosfer, sehingga meningkatkan pemanasan global.

Para peneliti juga mengatakan: “Ada peningkatan kejadian gelombang panas yang memecahkan rekor dan kekeringan di belahan bumi utara, konsisten dengan pemanasan laut yang intensif di samudra Pasifik dan Atlantik garis lintang tengah.”

Pemanasan lautan, dan dampaknya pada cuaca ekstrem, akan meningkat hingga umat manusia mencapai emisi nol bersih.***

Baca juga: Perubahan Iklim Membuat Hiu Semakin Rentan Tertangkap

Sumber: The Guardian, Jurnal Advances in Atmospheric Sciences

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Tanggapan