Perjuangkan Nasib Pulau Sangihe, Koalisi Save Sangihe Island (SSI) Aksi di Kantor ESDM RI dan Kantor Kedutaan Kanada di Indonesia

Lebih dari 200 orang diaspora warga Pulau Sangihe yang tersebar di sekitar Jabodetabek bersama masyarakat sipil lainnya menggelar aksi massa di Depan Kantor Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral RI Dirjen Minerba dan di depan Kantor Kedutaan Kanada di Indonesia pada Kamis, 7 Juli 2022.

Massa aksi yang menggabungkan diri dalam barisan Koalisi Save Sangihe Island (SSI), suatu wadah warga Pulau Kecil Sangihe yang memperjuangkan hak atas ruang hidupnya dari daya pertambangan emas dan menolak operasi tambang emas yang akan dilakukan PT. Tambang Mas Sangihe (PT. TMS).

“Keberadaan pertambangan PT. TMS jadi ancaman nyata bagi seluruh kehidupan di sana, baik yang di darat maupun pesisir laut mungkin saja pada ruang udara. Hal ini layaknya bencana atau derita yang akan menimpa kita semua akan tetapi telah dituturkan di depan, tentu saja ini bukan cerita bencana alami tapi bencana industri,” kata Jull Takaliuang seorang inisiator Koalisi Save Sangihe Island.

Masyarakat adat Pulau Sangihe bersama aktivis melakukan aksi menolak tambang emas di depan Direktorat Jenderal Mineral dan Baturaba, Kamis, 7 Juli 2022. Aksi tersebut dilakukan karena tambang emas mengancam hutan dan burung endemik yang hampir punah. / Foto: Afriadi Hikmal / Greenpeace

Sebelumnya, Kontrak Karya (KK) PT. TMS No: 163.K/MB.04/DJB/2021 telah digugat di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, sementara izin Lingkungan No: 503/DPMPTSPD/IL/IX/2020 yang diterbitkan oleh Dinas Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) digugat di PTUN Manado.

Gugatan Kontrak Karya PT. TMS di Jakarta saat ini sedang menempuh upaya banding karena pada tingkat pertama, PTUN menghidar dari membahas pokok perkara atau substansi perkara dengan menyatakan PTUN tidak berwenang mengadili Kontrak Karya.

Namun, gugatan izin lingkungan PT Tambang Mas Sangihe (TMS) yang diajukan oleh 56 (lima puluh enam) orang Perempuan asal Desa Bowone, Kecamatan Selatan Tengah, Kabupaten Kepulauan Sangihe menang di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Manado.

Putusan PTUN itu membatalkan Izin Lingkungan PT. TMS dengan Nomor: 503/DPMPTSPD/182/IX/2020 tertanggal 25 September 2020. Selain itu, PTUN Manado juga mengabulkan permohonan penundaan pelaksanaan segala aktivitas PT. TMS.

Berdasarkan putusan PTUN Manado ini, sesungguhnya PT. TMS hingga saat ini tidak punya legitimasi secara hukum untuk dapat melakukan operasi pertambangan di Pulau Sangihe sebab izin lingkungan sebagai dasar izin operasi telah dibatalkan oleh PTUN Manado, begitu pun jika dikaitkan dengan Pasal 35 huruf K UU PWP3K pertambangan mineral dilarang apabila menimbulkan konflik sosial dan juga keruskan ekologis.

Masyarakat adat Pulau Sangihe bersama aktivis melakukan aksi menolak tambang emas di depan Direktorat Jenderal Mineral dan Baturaba, Kamis, 7 Juli 2022. Aksi tersebut dilakukan karena tambang emas mengancam hutan dan burung endemik yang hampir punah. / Foto: Afriadi Hikmal / Greenpeace

Konflik sosial di Pulau Sangihe kian hari semakin terasa artinya secara sosial juga PT. TMS lagi-lagi tak punya legitimasi, demikian kata Samsared Barahama pegiat lingkungan di Pulau Sangihe.

Akan tetapi, bukannya mematuhi putusan pengadilan secara elegan. Justru pembangkangan secara sungguh-sungguh telah dilakukan PT. TMS pada Rabu, 13 Juni 2022 dengan tetap memobilisasi alat berat ke basecamp perusahaan di Kampung Bowone melalui Pelabuhan Panaru.

Upaya memasukan alat berat tersebut mendapatkan pengawalan dari aparat gabungan TNI-POLRI hingga akhirnya atas dukungan dan perlawanan masyarakat berhasil mengusir tiga unit alat berat tersebut dan segera  dibawa keluar dari Pulau Sangihe pada 16 Juni 2022 karena PT. TMS jelas tidak memiliki izin, segala aktivitas yang dilakukan mereka harus dinyatakan sebagai tindakan ilegal dan melawan hukum.

Salinan Putusan PTUN saat masyarakat adat Pulau Sangihe bersama aktivis melakukan aksi menolak tambang emas di depan Direktorat Jenderal Mineral dan Baturaba, Kamis, 7 Juli 2022. Aksi tersebut dilakukan karena tambang emas mengancam hutan dan burung endemik yang hampir punah. / Afriadi Hikmal / Greenpeace

Tak berhenti disitu, secara tiba-tiba, Robison Saul, salah satu warga Sangihe yang juga getol dan gigih menghadang alat berat  PT. TMS ditetapkan tersangka secara sewenang-wenang oleh kepolisian resor Kepulauan Sangihe.

Pada 30 Juni 2022, Robison Saul menghadiri panggilan penyidik Satreskrim Polres Kepulauan Sangihe dengan status tersangka dan langsung ditahan pada hari yang sama.

Oleh kepolisian, Robison dituduh membawa senjata tajam sebagaimana melanggar Pasal 2 ayat (1) UU Darurat Nomor 12 tahun 1951 karena diduga membawa pisau besi putih ketika melakukan penghadangan alat berat. Padahal pisau besi putih tersebut merupakan benda pusaka yang diwariskan dari mertua laki-laki Robison.

Pisau itu digunakan sehari-hari untuk melaut (memotong umpan, memotong tali jangkar, membersihkan tiram). Polres Kepulauan Sangihe jelas mengada-ngada tuduhan pidana terhadap Robison, dan kami menduga hal tersebut merupakan bentuk represifitas dan kriminalisasi terhadap pembela HAM dan lingkungan, kata Jan Takasihaeng Koodinator Save Sangihe Island.

Perwakilan Dirjen Minerba saat menerima cendera mata Putusan PTUN dari masyarakat adat Pulau Sangihe saat melakukan aksi menolak tambang emas di depan Direktorat Jenderal Mineral dan Baturaba, Kamis, 7 Juli 2022. Aksi tersebut dilakukan karena tambang emas mengancam hutan dan burung endemik yang hampir punah. / Afriadi Hikmal / Greenpeace

Sesungguhnya Indonesia punya preseden baik dalam dalam mematuhi putusan pengadilan terkait dengan keberadaan tambang di pulau kecil yaitu saat izin PT MMP dinyatakan batal oleh pengadilan, diikuti dengan tindakan pemerintah dalam hal ini Menteri ESDM menerbitkan SK pencabutan pada 23 maret 2017 lalu.

Seharusnya sejak putusan PT. MMP tidak ada lagi izin tambang di pulau kecil Indonesia dan merupakan aktivitas terlarang karena regulasi hingga putusan pengadilan telah menyatakan demikian. Pada titik inilah keberanian juga komitmen pengurus negara dalam hal ini Kementerian ESDM dibutuhkan.

Koalisi SSI juga menyerukan agar Kapolri maupun Panglima TNI agar melarang jajarannya melakukan tindakan represif, melakukan intimidasi dan upaya kriminalisasi terhadap warga Pulau Sangihe yang memperjuangkan tanah kelahirannya dari daya rusak pertambangan serta membebaskan pejuang lingkungan yang bernama Robison Saul yang saat ini ditahan secara sewenang-wenang oleh Pihak Polres Sangihe.

Terakhir, khusus bagi Kedutaan Kanada di Republik Indonesia agar melakukan audit hingga penjatuhan hukuman terhadap seluruh perusahaan pertambangan asal Kanada yang merusak lingkungan hidup, menyebabkan konflik sosial di Indonesia pada kepulauan manapun khususnya PT. TMS di Pulau Kecil Sangihe, ujar Jan Takasihaeng Koodinator Save Sangihe Island.

Pulau Sangihe dan Ancaman Tambang PT. Tambang Mas Sangihe (TMS)

Peta area pertambangan emas di Pulau Sangihe. / Gambar dilansir dari situs bbc.com

Luasan pulau Sangihe hanya  763,98 km2. Secara administratif merupakan kabupaten yang menjadi bagian dari pemerintahan Provinsi Sulawesi Utara.

Pulau kecil ini, sangat dikenal dengan panorama laut yang indah, diapit oleh dua gunung api aktif bawah laut, salah satunya merupakan gunung api bawah laut tertinggi di dunia dan tempat habitat burung langka terancam punah yakni Seriwang Sangihe (Eutrichomyias rowleyi) atau yang dikenal dengan nama lokal burung Niu hidup.

Penduduk menggantungkan kehidupannya pada sumber-sumber alami berupa pertanian di darat dan sumber daya perikanan dari pesisir hingga laut.

Di sisi lain, lebih dari setengah Pulau Sangihe yakni seluas 42.000 hektar telah ditetapkan oleh Pemerintah Pusat secara sepihak melalui Kementerian Energi dam Sumber Daya Mineral (KESDM) sebagai areal operasi pertambangan emas untuk PT. Tambang Mas Sangihe (PT. TMS) melalui mekanisme Kontrak Karya (KK) sejak Janurai 2021 hingga Januari 2054 mendatang dan dapat diperpanjang.

Sementara izin lingkungan yang diberikan oleh Pemerintah Provinsi Sulut hanya seluas 65,48 hektar. Selain itu, selama pengurusan Kontrak Karya (KK), AMDAL hingga terbitnya izin lingkungan, nyaris tanpa ada partisipasi masyarakat yang memadai dan dalam praktiknya melabrak serangkaian peraturan perundang-undangan dan asas-asa hukum.

Sehingga aksi-aksi protes dari warga Sangihe dan masyarakat sipil mulai dari forum resmi hingga aksi massa gencar dilakukan dalam upaya menolak keberadaan PT. TMS di Pulau Kecil Sangihe tanpa terkecuali pengujian melaluli gugatan di ruang-ruang pengadilan juga ditempuh oleh warga dan masyarakat sipil.

Adapun pemilik saham PT. TMS,  70% dipegang oleh Sangihe Gold Corporation perusahaan asal negara Kanada 30% kepemilikan sisanya diambil oleh perusahaan lokal. Rincian pembagiannya, PT. Sungai Belayan Sejati 10%, PT. Sangihe Prima Mineral 11%, dan PT. Sangihe Pratama Mineral 9%.***

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Tanggapan