Sejarah Baru untuk Lautan, Perjanjian Laut Dunia Akhirnya Disepakati di PBB

perjanjian laut dunia

Negara -negara telah mencapai kesepakatan bersejarah untuk melindungi lautan dunia (Global Ocean Treaty) di markas PBB, New York, USA. Negosiasi ini memakan waktu hampir 2 dekade (20 tahun). Isi perjanjian ialah melindungi kawasan lindung sebesar 30 % hingga tahun 2030. 

“Ini adalah hari bersejarah untuk konservasi dan tanda bahwa di dunia yang terbagi, melindungi alam dan manusia dapat menang atas geopolitik,” kata Dr. Laura Meller dari New York, Juru Kampanye Laut Greenpeace Nordic. 

Dr. Laura melanjutkan, “Kami memuji negara-negara yang mencari kompromi, mengesampingkan perbedaan, dan mewujudkan perjanjian yang memungkinkan kita dapat melindungi lautan, membangun ketahanan kita terhadap perubahan iklim, dan melindungi kehidupan serta penghidupan bagi miliaran orang.”

Sebelumnya perjanjian laut dunia pernah dilakukan dan disepakati pada tahun 1982 dengan luas kawasan yang terlindungi hanya 1,2 %. Namun kawasan dengan luas 1,2 % ini tidak berlaku dan tidak difungsikan secara maksimal untuk kepentingan semua negara di dunia.

Luas kawasan laut dunia yang saat ini terlindungi, hanya 1,2% dan itu pun belum berfungsi maksimal. / Gambar: Greenpeace (Greenpeace Ocean Blue Print)

Hanya beberapa negara yang memiliki sumber daya dan kemudian memonopoli kawasan ini. Sebut saja kegiatan eksplorasi lalu lintas pertambangan ekploitasi mineral contohnya pengeboran minyak bumi yang mencemari laut. 

Praktek ini mengeksploitasi banyak keanekaragaman hayati dan juga memusnahkan banyak keanekaragaman hayati yang belum diketahui manfaatnya.

Eksploitasi kebanyakan untuk dijual dan kematian biota laut karena adanya pencemaran mineral  yang mencemari kualitas air laut.

Penelitian dari IUCN mencatat tingkat kepunahan saat ini sudah 10 persen atas pengaruh eksploitasi sumber daya laut, perikanan hingga aktivas eksplorasi mineral, pengeboran minyak 200 m atau lebih dari permukaan laut (Deep Sea Mining). 

Mereka melakukan segala macam kegiatan demi kepentingan golongan tertentu. Ini merupakan contoh praktek pembagian tidak merata untuk semua negara dan manusia yang tersebar di bumi. 

Semua di ambil dan dimusnahkan sebelum manfaat kesejahteraan sampai ke masyarkat dunia. Jangankan ke masyarakat, negara kecil yang tidak memiliki kekuasaan tidak mungkin bisa berekspresi lebih untuk mendapat bagian dari apa yang ada di dalam wilayah laut ini. 

Melihat itu, tuntutan dunia hanya satu yaitu bagaimana semua dilakukan dengan baik untuk kepentingan bersama yang adil bagi keadilan miliaran masyarakat di dunia.

Negara-negara dan masyarkat kecil ini hanya ingin semua kehidupan atau sumber daya di dalamnya untuk diselamatkan sebelum semuanya habis. Baik itu habis secara jumlah maupun fungsi. 

Secara jumlah dilihat dengan menyusutnya populasi suatu keanekaragaman hayati tertentu akan berakhir pada kepunahan jika segera tidak ditangani.

Otomatis proses yang berperan dari keanekaragaman hayati untuk menciptakan keseimbangan ekosistem di laut tidak akan terjadi.

Penurunan jumlah serta kehilangan fungsi akan berakibat pada iklim yang menghasilkan peningkatan gas rumah kaca. Tentunya hal ini akan menjadi malapetaka untuk semua aspek yang ada di bumi, baik untuk manusia maupun semua yang ada di lingkungan atau alam. 

Selain membahas bahayanya perubahan iklim di permukaan bumi, negara-negara yang merasa dirugikan dan pentingnya lingkungan yang sehat mulai bersuara.

Greenpeace melakukan survei dengan menyebarkan petisi-petisi. Sebanyak 5,5 juta penduduk mengatakan setuju untuk diberlakukan kesepakatan bersama peraturan laut global oleh semua negara di dunia. 

Ada beberapa kelompok negara yang punya peran besar membangun kesepakatan untuk penyelesaian masalah ini yakni UE, AS, UK, dan China mereka dikenal dengan pelopor pembentuk kesepakatan laut global. 

Saat ini negara-negara di dunia sedang melakukan adopsi naskah, menerjemahkan dan akan melakukan ratifikasi peraturan untuk diberlakukan di negara masing-masing.

Setelah semua negara berlakukan peraturan yang kuat, langkah selanjutnya adalah mendorong dan mengawal para pemimpin untuk mengimplementasikan perlindungan dan pencegahan pemanfaatan yang timpang agar dapat berimbas untuk masyarakat secara luas, secara merata dan adil untuk planet ini.***

Baca juga: Ekspedisi Greenpeace Di Laut Lepas (Part-1): Antartika, Atlantik, Pegunungan Bawah Laut, Amazon Reef

Sumber: Greenpeace

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Tanggapan