Warga Pulau Sangihe Menang! Perusahaan Tambang Harus Angkat Kaki dari Pulau Sangihe

pulau sangihe melawan

Meteri ESDM berkewajiban mencabut Surat Keputusan Meteri ESDM tentang Persetujuan Peningkatan Tahap Kegiatan Operasi Produksi Kontrak Karya PT Tambang Mas Sangihe (PT TMS) di Pulau Sangihe, Sulawesi Utara. Pasalnya Mahkamah Agung (MA) telah memutuskan untuk pembatalan surat tersebut.

Majelis hakim MA yang diketuai oleh Sudaryono memutuskan pada Kamis (12/01), menolak permohonan kasasi Menteri ESDM dan PT TMS atas putusan PTTUN Jakarta yang mengabulkan gugatan warga Pulau Sangihe sebagaimana dikutip dari situs kepaniteraan.mahkamahagung.go.id.

Kepala Divisi Hukum Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Muhammad Jamil, yang juga menjadi tim kuasa hukum dari 37 penggugat warga Sangihe, berharap Kementerian ESDM mematuhi putusan itu dengan mengeluarkan surat keputusan pembatalan dan bersatu dengan masyarakat untuk melakukan penghentian kegiatan pertambangan PT TMS di Pulau Sangihe.

Salah satu inisiator Save Sangihe Island (SSI), Jull Takaliuang, mengatakan bahwa putusan MA ini seharusnya menjadi putusan pamungkas atas kemenangan masyarakat Pulau Sangihe.

“Ke mana lagi masyarakat berharap dan membela haknya untuk mengakses ruang hidup yang layak jika pemerintah mengabaikan lagi putusan ini? Penolakan ini harusnya membuat pemerintah sadar dan segera membatalkan izin PT TMS. Kementerian ESDM harus menerima dan mennghormati putusan hukum ini. Negara harus memastikan hak atas kehidupan di pulau kecil harus dijamin, bukan malah dieksploitasi,” ujar Jull Takaliuang.

Masyarakat adat Pulau Sangihe bersama aktivis melakukan aksi menolak tambang emas di depan Direktorat Jenderal Mineral dan Baturaba, Kamis 5 Juli 2022. Aksi tersebut dilakukan karena tambang emas mengancam hutan dan burung endemik yang hampir punah. / Foto: Afriadi Hikmal / Greenpeace)

Samsared Barahama selaku juru bicara koalisi masyarakat Save Sangihe Island mengatakan, warga Sangihe menyambut baik dan terharu atas putusan itu karena akan menyelamatkan ruang hidup masyarakat lokal dan lingkungan dari ancaman kerusakan.

Pulau Sangihe adalah salah satu pulau terluar Indonesia yang berbatasan dengan Filipina. Pulau kecil seluas 75 ribu ha ini merupakan surga bagi 150 ribu jiwa manusia. Keanekaragaman hayati di Pulau Sangihe pun sangat kaya.

Pulau kecil dan indah ini kerap kali terancam rusak akibat ulah rakus para penambang dan oligarki di negara ini.

Padahal, UU No. 1 Tahunn 2014 menyebut pulau yang luasnya kurang dari 200 ribu ha tak boleh ditambang. Namun parahnya, Kementeriann ESDM justru memberikan izin kepada PT TMS untuk mengelola kawasan itu selama 33 tahun.

Pemerintah harusnya malu. Berkali-kali melawan rakyat yang seharusnya mereka lindungi, berkali-kali pula kalah di hadapan meja hijau.

Pertanyaan menndasar bagi pemerintah negara ini, kepada siapa pemerintah berpihak? Kepada rakyat? Atau kepada oligarki yang super kaya raya?***

Baca juga: Carut Marut Hukum Pertambangan di Pulau Sangihe

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Perjuangkan Nasib Pulau Sangihe, Koalisi Save Sangihe Island (SSI) Aksi di Kantor ESDM RI dan Kantor Kedutaan Kanada di Indonesia

“Keberadaan pertambangan PT. TMS jadi ancaman nyata bagi seluruh kehidupan di sana baik yang di darat, maupun pesisir laut mungkin saja pada ruang udara. Hal ini layaknya bencana atau derita akan menimpa kita semua akan tetapi telah dituturkan di depan, tentu saja ini bukan cerita bencana alami tapi bencana industri,” kata Jull Takaliuang seorang inisiator Koalisi Save Sangihe Island.

Tanggapan