Dampak Perubahan Iklim di Laut Semakin Terasa

Pada tanggal 15 April 2022 kemarin, media sosial Twitter, sempat diramaikan dengan tagar #LetTheEarthBreathe.  Hal ini berkaitan dengan aksi lebih dari 1000 ilmuan yang melakukan protes setelah rilis laporan baru panel antar pemerintah tentang perubahan iklim.  Salah satu tuntutan yang disuarakan pada aksi tersebut adalah mendesak perusahaan untuk melakukan divestasi bahan bakar fosil yang tidak ramah lingkungan.

Para ilmuwan turun tangan melakukan protes. / Foto: ecoosfera.com

Banyak dari kita mungkin telah menyadari adanya perubahan iklim. Seperti peningkatan suhu bumi yang berpengaruh terhadap perubahan musim. Saat ini, di Indonesia, kita bahkan tidak benar-benar tahu sedang pada musim hujan ataukah musim kemarau karena hujan yang dapat terjadi di sepanjang tahun.

Anomali cuaca ini tidak hanya di Indonesia saja, perubahan iklim juga terjadi di berbagai belahan dunia. Turunnya salju di Gurun Sahara pada tahun 2021 kemarin misalnya.  Hal ini diiringi dengan penurunan suhu yang sangat signifikan yaitu dari suhu normal 53 derajad celcius turun menjadi nol sampai -1.

Peristiwa tersebut justru berkebalikan dengan satu-satunya salju di wilayah tropis dan katulistiwa yang berada di Puncak Jayawijaya yang diprediksi akan punah pada tahun 2025. Lalu, apakah perubahan iklim tersebut hanya berpengaruh di daratan saja?

Tentu saja tidak. Perubahan iklim juga banyak mempengaruhi kehidupan di laut. Mencairnya es di kutub yang menyebabkan pertambahan volume air laut sehingga terjadi perubahan garis pantai. Dampak dari peristiwa ini salah satunya adalah penurunan populasi penyu karena penyu memiliki kebiasaan melakukan pemijahan pada daerah asalnya.

Perubahan iklim yang disebabkan peningkatan karbon di atmosfer juga menjadi pemicu pengasaman laut. Pengasaman laut atau ocean acidification adalah terjadi karena mekanisme penyerapan CO2 di atmosfer oleh H2O dilautan. Pada kadar yang cukup karbon dioksida sebenarnya juga dibutuhkan oleh hewan laut. Misalnya pada biota laut bercangkang yang memerlukan ion bikarbonat untuk membentuk cangkangnya.

Pada reaksi antara karbon dioksida dengan air akan terbentuk asam karbonat. Asam karbonat nantinya akan dipecah menjadi asam bikarbonat dan H+ yang menjadi penyebab turunnya pH lautan. Kemudian asam bikarbonat kembali dipecah menjadi ion karbonat yag diperlukan untuk pembentukan cangkang.

Sisa ion H+ dari pemecahan asam bikarbonat menambah keasaman laut menjadi lebih tinggi. Akibatnya kalsifikasi atau pembentukan cangkang yang terdiri dari kalsium karbonat menjadi terganggu. Kalsium karbonat yang didapat dari reaksi kalsium dengan ion bikarbonat dari reaksi karbon dengan hydrogen harus berikatan dengan ion H+ yang menyebabkan penipisan lapisan cangkang.

Tidak hanya hewan bercangkang saja yang terganggu, seluruh mahluk hidup yang meninggali wilayah perairan yang mengalami kenaikan derajad keasaman perlu menyesuaikan dengan kondisi lingkungannya.

Beberapa spesies dari terumbu karang, kerang, lamun, ikan, rumput laut bahkan fitoplankton menunjukkan reaksi negatif pada saat terjadi penurunan pH di lautan. Apabila pada proses penyesuaian diri tidak berhasil yang terjadi adalah kepunahan.

Salah satu dampak dari kenaikan suhu dan pegasaman laut adalah terjadinya fenomena coral bleaching. / Foto: Harriet Spark / Grumpy Turtle / Greenpeace

Ocean acidification adalah satu dari beberapa dampak yang ditimbulkan oleh perubahan iklim. Beberapa dari kita mungkin menganggap tidak penting mahluk bawah laut karena tidak secara langsung bersinggungan. Padahal apabila dirunutkan seluruh komponen alam yang ada saling berkaitan satu sama lain.

Hilangnya satu spesies di muka bumi dapat memicu ketidakseimbangan rantai makanan sehingga mengundang kepunahan-kepunahan lainnya.

Lalu, Apa yang Bisa Kita Lakukan?

Mengurangi emisi karbon dapat menjadi kunci utama pada penanganan perubahan iklim. Kita dapat memulai dari diri kita sendiri dengan melakukan gaya hidup ramah lingkungan diantaranya adalah dengan:

  1. berjalan kaki atau bersepeda untuk menjangkau tempat yang tidak terlalu jauh dan menggunakan kendaraan umum untuk menjangkau tempat yang jauh
  2. Menggunakan benda elektronik seperlunya karena listrik yang kita gunakan pada saat ini masih dibangkitkan dengan bahan yang tidak ramah lingkungan
  3. Berbelanja dengan bijak dan tidak mudah terpengaruh strategi penjualan suatu produk yang tinggi jejak karbon
  4. Mengompos sampah organik dan mendaur ulang sampah yang anorganik
  5. Menjadi vegetarian
  6. Menanam pohon
  7. Mendukung bisnis yang ramah lingkungan
  8. Mendorong pelaku bisnis atau perusahaan besar untuk segera mengganti model kegiatannya yang menghasilkan emisi karbon secara besar – besaran.

Satu cara lagi yang masih terdengar baru untuk mengurangi emisi karbon adalah dengan menghapus surat elektronik kita yang menumpuk karena menyimpan pada cloud storage  memerlukan listrik yang cukup banyak.

Penggunaan listrik tidak hanya menghasilkan emisi karbon pada proses pembangkitannya.  Pada saat penggunaan listrik juga menghasilkan panas yang apabila terakumulasi dapat mempengaruhi suhu lingkungan.

Dengan mengurangi emisi karbon kita tidak hanya menyelamatkan biota laut saja tetapi menyelamatkan diri kita sendiri dari dampak bencana iklim ekstrem yang oleh para ilmuan diprediksi akan terjadi pada tahun 2025 apabila kita tidak bertindak untuk perubahan dari sekarang.***

Baca juga: Mamalia Laut Kembali Ditemukan Terdampar Mengenaskan, Amankah Laut Indonesia?

Editor: J. F. Sofyan

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Tanggapan