Mengenal Sosok Bang Leo dan Semangatnya pada Gerakan Sosial Lingkungan

Leonard Simanjuntak atau lebih akrab dipanggil Bang Leo adalah Kepala Greenpeace Indonesia. Bang leo secara resmi memimpin Greenpeace Indonesia sejak 6 September 2016.

Sebelumnya, pria yang lahir pada tanggal 22 November 1968 di Palembang ini juga telah lama meniti karirnya di LSM-LSM nasional maupun internasional, termasuk menekuni dan terjung langsung dalam dalam isu-isu kemanusiaan, korupsi dan lingkungan hidup.

Lulusan Teknik Perminyakan yang Enggan Bekerja di Industri Minyak

Ketika masih menjadi mahasiswa, Bang Leo adalah seorang mahasiswa Teknik Perminyakan di ITB yang vokal menentang pemerintahan Orde Baru. Di kesehariannya, ia sering ikutserta dalam demonstrasi dan pergerakan mahasiswa, mendirikan koran “Boulevard” yang pada masa itu menjadi koran terbesar di ITB, dan juga mendirikan kelompok studi politik.

Lulus sebagai sarjana teknik perminyakan, tidak membuatnya tergiur untuk bekerja di perusahaan ataupun industri perminyakan, yang biasanya menjadi tujuan dan impian hampir semua mahasiswa teknik perminyakan.

Meskipun orang tuanya juga berharap agar Bang Leo bekerja sebagai insinyur perminyakan, tapi ia berpandangan bahwa sektor perminyakan maupun pertambangan merupakan backbone dari rezim Orde Baru dan aktivitas korupsi yang terus terjadi.

Oleh karena itu, karir pertama yang dipilih Bang Leo adalah bergabung dalam Yayasan Pelangi pada tahun 1994-1997. Selama bekerja di Yayasan Pelangi, ia juga sempat berperan sebagai Steering Committee dalam masyarakat anti-nuklir Indonesia dan jaringan perubahan iklim, hingga terlibat dalam pendirian JATAM (Jaringan Advokasi Tambang) pada Desember 1995.

Meskipun kehidupan Bang Leo bekerja di LSM jauh dari standar kemapanan karir seorang insinyur perminyakan, hal tersebut tidak membuat ia mengubah prinsipnya.

Ia melanjutkan karir dengan berangkat ke Nusa Tenggara Timur pada tahun 1997 untuk bergabung dengan Oxfam dan banyak menangani isu-isu kemanusiaan yang terjadi pada peristiwa bencana alam maupun konflik-konflik yang terjadi di Indonesia, seperti di Timor-Timur, Poso, dan Kupang hingga tahun 2002.

Pada tahun 1999, Bang Leo juga sempat ditunjuk menjadi salah satu penyelidik di dalam Komisi Penyelidik Pelanggaran HAM yang dibentuk untuk menyelidiki pelanggaran HAM yang terjadi di Timor-Timur.

Setelah delapan tahun bekerja, akhirnya Bang Leo memilih untuk mendaftarkan diri di Chevening Scholarship pada tahun dan melanjutkan studi di Universitas Sussex, Inggris dengan mengambil Government and Development Studies pada tahun 2002-2003.

Selama melanjutkan studi di Universitas Sussex, Bang Leo memiliki ketertarikan dalam isu-isu korupsi, khususnya yang terjadi di Indonesia. Setelah lulus, ia diajak oleh almarhum Munir untuk membantu LSM HAM Imparsial pada tahun 2003-2004 dan melanjutkan karir menjadi Deputi Direktur Transparency International Indonesia pada tahun 2004-2005.

Sejak tahun 2005, Bang Leo melanjutkan karir di organisasi-organisasi internasional seperti di New Zealand Aid (2005-20007), United Nations Development Programme (2007-2010), Australia Aid (2010-2014), dan menjadi advicer program perubahan iklim pemerintah Inggris dengan Indonesia (2014-2016).

Menyaksikan Langsung Hutan yang Rusak di Pulau Siberut

Isu lingkungan hidup bukan hal yang baru bagi Bang Leo, karena ia telah lama tertarik dalam isu-isu lingkungan sejak bergabung dalam Trupala di SMAN 6 Jakarta dan menjadi salah satu pendiri Keluarga Mahasiswa Pecinta Alam Ganesha ITB.

Meskipun begitu, pengalamannya ketika mengerjakan penelitian untuk pembuatan buku “Tiger by the Tail” di Pulau Siberut, Mentawai, menjadi hal yang paling berkesan di dalam kehidupannya.

Selama kurang lebih satu bulan ia keluar-masuk hutan untuk mengkaji hubungan antara isu ekologi di taman nasional, isu sosio-budaya masyarakat adat, dan isu pembangunan ekonomi.

Pada suatu ketika, ia menjelajahi suatu hutan yang di Mentawai, ia pun terkejut ketika berada di batas wilayah hutan yang pepohonannya sudah habis ditebangi akibat aktivitas logging.

Semenjak itu, secara pribadi Bang Leo merasa penting untuk berperan dalam menyelesaikan permasalahan lingkungan, karena untuk pertama kalinya ia dapat menyaksikan langsung bagaimana bencana ekologi terjadi yang diakibatkan oleh aktivitas logging.

Menyaksikan Keindahan Raja Ampat dan Vandalisme di Tulamben

Secara khusus, kecintaan dan kepedulian Bang Leo terhadap laut lahir semenjak ia mulai memiliki hobby menyelam. Pengalamannya untuk dapat menyaksikan keindahan lautan di Raja Ampat, mengawali kecintaannya terhadap keindahan laut. Karena bagi Bang Leo, keindahan terumbu karang, keanekaragaman hayati, dan segala keindahannya harus tetap terjaga.

Namun ia juga memiliki pengalaman mengharukan, ketika ia sedang menyelam di Tulamben, Bali, yang merupakan salah satu spot diving favorit di Bali. Ketika itu, ia terkejut melihat sebuah jejak “vandalisme” di salah satu terumbu karang di bawah kedalaman 20 meter.

Tak pernah terbayangkan oleh Bang Leo, bagaimana seorang diver yang notabene berasal dari kalangan menengah ke atas dan juga sudah teredukasi dengan baik mengenai isu keluatan dapat melakukan hal tersebut.

Oleh karena itu, Bang Leo berharap lautan Indonesia dapat terbebas dari sampah-sampah yang berawal dari aktivitas manusia di daratan dan juga terhindar dari aktivitas perikanan yang tidak berkelanjutan.

Ingin berbagi semangat dan cerita lebih lanjut bersama Bang Leo? Ikuti akun Twitter Bang Leo di @lsimanjuntak68.

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Penerapan Kampung Ikan Berbasis Teknologi Hatchery dalam Optimalisasi Percepatan Kemandirian Pangan Perikanan Nasional

Salah satu kisah sukses teknologi hatchery adalah hatchery skala rumah tangga (HSRT) yang terdapat dibagian utara Bali.

Teknologi ini dikembangkan oleh Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol Bali dan dengan pesat diterapkan oleh nelayan – nelayan setempat yang awalnya ingin mengadakan diversifikasi usaha dari perikanan budidaya secara tradisional ke perikanan budidaya skala industri seperti tambak dan keramba jaring apung.

Tanggapan