Kisah Kasih Keluarga Terenggut PLTU 2 Cirebon
Kisah ini adalah cerita dari keluarga kecil bernama Mawar (bukan nama sebenarnya) yang tinggal di Dusun Kandawaru Desa Waruduwur Kecamatan Mundu Kabupaten Cirebon.
Mawar adalah seorang petani garam di Dusun Kandawaru. Saat kami temui Mawar menggambarkan romantisme menjadi petani garam.
Ia memproduksi garam bersama dengan suaminya, ia melewati hari-hari bersama suami tercinta di atas lahan garam. Aktivitasnya, membantu suami tercinta menghasilkan garam dengan menyiapkan bekal, mengantar dan membantu setiap pekerjaan lain suaminya mulai dari proses pengairan hingga panen.
Dalam tutur kisahnya, bu Mawar dan suami bekerja sebagai petambak garam sejak tahun 2000. Ia mengolah garam di atas lahan pesisir Kandawaru, namun sayangnya lahan yang digarap bukanlah lahan miliknya.
Di atas lahan tersebut ia hanya menyewa untuk tetap dapat menghasilkan garam. Ia menyewa lahan dari seseorang yang konon disebut sebagai orang Cina, elit lokal yang menguasai.
Meski begitu, keluarga bu Mawar tak pernah merasa kurang. Justru dari lahan garapannya itulah sumber kehidupan dan kebahagiaan terwujud.
Pekerjaan ini merupakan satu-satunya tumpuan hidup bagi keluarga Mawar. Dengan bekerja menggarap lahannya, ia bisa menghabiskan waktu bersama suami dan anak-anaknya.
Di pagi harinya ia menyiapkan makanan untuk satu keluarga, barulah saat matahari mulai naik, ia menggarap lahan bersama suaminya.
Kebahagiaan yang dirasakannya bukan hanya sekedar keuntungan ekonomi belaka. Ia merasa bahagia karena selalu dekat bersama suaminya dalam memenuhi segala hal, baik kebutuhan hidup sampai dengan mendidik dan menyayangi anaknya.
Tetapi, kebersamaan ini tiba-tiba berubah menjadi derita. Tepat tahun 2017, lahan sewa miliknya ditetapkan sebagai obyek pembangunan PLTU batu bara.
Mendengar kabar ini, Mawar dan suami bak tersambar petir di siang hari. Ia dan suami tak memiliki daya untuk mempertahankan lahan garapannya.
Pasalnya ia tak menguasai hak kepemilikan atas lahan garapan tersebut. Hingga pada akhirnya, lahan garapannya tergusur.
Peristiwa penggusuran lahan garam ini, berbuah kecewa yang berkecamuk dalam batin suami Mawar. Di atas lahan tersebut ia tak sekedar sedang mengerjakan aktivitas kerja.
Baginya, lahan garapan tersebut tak sekedar pekerjaan utamanya, tetapi aktivitas sosial, dan kebersamaannya bersama Mawar istrinya.
Peristiwa itu membuat suami bu Mawar dan beberapa petambak seperti linglung dan bingung ingin bekerja sebagai apa?
Sebagian pemuda yang memiliki tenaga yang cukup, mampu terserap sebagai pekerja di PLTU pada masa konstruksi. Namun hal itu hanya berlangsung selama enam bulan saja. Setelah enam bulan, pengangguran membludak di Dusun Kandawaru.
Melihat kondisi mental suaminya yang masih terguncang akibat peristiwa penggusuran tersebut, Mawar terpaksa merantau keluar negeri menjadi Tenaga Kerja Wanita.
Ia menandatangi 3 tahun kontrak kerja di Malaysia. Selama di negeri rantau, ia merasakan gelisah, rindu dan dilanda bayang-bayang kebersamaannya dengan keluarga di atas lahan penggaraman.
Beratnya beban batin yang ditanggungnya membuatnya tak mampu bertahan lebih lama berkerja di negeri Jiran. Hingga akhirnya, ia tidak memperpanjang kontrak kerjanya.
Saat itu, beban rindu terbesarnya ialah untuk anaknya. Ia mengenang iba yang mendalam pada anaknya yang ia tinggal pada usia 3 tahun. Usia yang sangat belia dan membutuhkan kehadiran sosok ibu sebagai madrasah pertamanya. Atas beban ini, akhirnya ia kembali.
Tetapi, kedatangannya tak sesuai harapan. Mawar justru mendapatkan perlakuan yang tak pernah ia bayangkan. Anaknya justru marah dan kecewa padanya.
Mawar dianggap telah meninggalkan anaknya, dan tak peduli padanya karena memilih bekerja ke luar negeri. Kepergian Mawar untuk bekerja demi menopang ekonomi keluarga dianggap sebagai ketiadaan kasih sayang ibu terhadap anaknya.
Atas perlakuan anaknya, Mawar pun merasa bersalah, sedih dan kecewa. Bagaimana lagi, keadaan tersebut bukanlah yang ia inginkan. Ia dan keluarganya hanyalah korban dari penggusuran PLTU 2 Cirebon.
Kisah keluarga Mawar menggambarkan fungsi fundamental atas tanah. Peristiwa keluarga Mawar menunjukkan bahwa tanah memiliki fungsi sosial yang tak selalu dapat dibayar dengan uang.
Lebih dalam, tanah mengandung fungsi sosial, ikatan batin, perasaan dan hubungan sosial yang dirajut dalam waktu yang tidak singkat.
Hal-hal demikian adalah sesuatu yang tak dapat diukur dengan uang ataupun ganti rugi. Sayangnya, saat ini semua nilai tersebut hilang dengan begitu mudah ketika PLTU batu bara datang.***
Ditulis oleh: Tim Riset Pesantren Ekologi 5 SALAM Institute
Baca juga: PLTU Cirebon di Mata Warga Terdampak: Kisah dari Tapak Ring 1
Editor: J. F. Sofyan
Tanggapan