Mangrove-isasi: Antara Latah dan Gagap Penanganan Abrasi

Belakangan, tepatnya 2020 silam, saya cukup dikagetkan dengan postingan dari salah seorang kontak Whatsapp pada status WA-nya. Pada postingan itu, beliau mengepos sebuah kanal berita bertajuk 1000 Pohon untuk Jimin BTS. Saya terenyuh dan terharu dengan aksi sosial ini. Sungguh inspiratif. Pikiran saya mulai menerawang mengenai sosok Jimin BTS ini.

Saya sempat berpikir Jimin BTS adalah seorang kuli bernama Sujimin yang tewas ketika proyek pengerjaan tiang BTS (Base Transceiver Station). Nahasnya, kematian yang diakibatkan kecelakaan kerja itu tidak mendapat santunan dari perusahaan tempatnya bekerja. Maka untuk mengenangnya, dan bertepatan dengan peringatan hari lingkungan hidup, maka rekan sejawatnya menggalang aksi amal dengan penanaman pohon.

Penanaman tersebut memperoleh antusiasme dan atensi dari berbagai pihak, terbukti dengan berhasilnya dikumpulkan 8.735 bibit mangrove Rhizophora mucronata yang sebelumnya hanya ditargetkan seribu batang dan sukses ditanam.

Ketika saya mengonfirmasi hal tersebut, ia tergelak sejadi-jadinya. Ternyata, Jimin yang dimaksud bukan Sujimin, melainkan Park Ji Min, anggota dari boyband BTS yang berasal dari Korea Selatan. Antara geli dan jengkel, saya kemudian mengalihkan pembicaraan mengenai penanaman mangrove.

Kami berbincang mengenai alih fungsi lahan di daerah Indragiri Hilir. Bukan, bukan alih fungsi lahan mangrove, melainkan kebun kelapa milik penduduk yang tiba-tiba menjadi tergenang dan ditumbuhi mangrove.

Fenomena turunnya permukaan tanah ini sering disebut land subsidence atau padanan kata dalam bahasa Indonesia disebut tanah amblas.

Pada Desember 2022 silam, di daerah Simpang Ayam, Kabupaten Bengkalis, Riau juga menghebohkan dunia persilatan. Kejadiannya berupa tanah amblas tergerus oleh gelombang laut dengan volume dan luasan yang cukup besar terjadi dalam satu waktu.

Tidak mengherankan sebenarnya, mengingat Pulau Bengkalis sendiri sebenarnya adalah pulau gambut yang tanahnya tidak stabil. Vegetasi alami di pulau tersebut pun secara masif diganti dengan kelapa sawit skala industri, pun mangrove yang menjadi pagar penghadang gelombang juga dibabat, entah untuk kepentingan produksi arang, atau lain sebagainya. Jadi, wajar saja jika hantaman gelombang tak lagi ada yang menahan, sebab pagar terdepan pesisir mulai bertumbangan.

Andai ditarik ke belakang, sebenarnya di mana letak salahnya? Kenapa penebangan mangrove demikian brutal, sedangkan perannya teramat vital? Sebenarnya, apa yang mendorong terjadinya pembabatan? Dan kemudian banyak lagi pertanyaan-pertanyaan serupa perihal mangrove.

Panglong arang di Riau. / Foto: Windi Syahrian

Jauh sebelum mangrove menjadi salah satu komoditas perdagangan (karbon) dan menjadi primadona, beberapa pihak sudah menyadari mengenai ancaman laten abrasi pesisir ini. Kegiatan rehabilitasi mangrove sudah dilakukan, baik oleh pemerintah maupun non pemerintah (swasta, NGO, dan masyarakat).

Kemudian, mangrove tiba-tiba bak penjelmaan itik buruk rupa menjadi angsa memesona. Perhatian dunia tertuju pada penyelamatan mangrove. Tak terhitung kucuran APBN dan dana asing digelontorkan untuk penyelamatan lingkungan pesisir tersebut.

Tahun 2020 saja, untuk kegiatan PEN (pemulihan Ekonomi Nasional), pemerintah sampai menggelontorkan dana miliyaran rupiah untuk rehabilitasi mangrove yang tidak bisa dikatakan berhasil.

Bahkan untuk menunjukkan komitmen dan keseriusannya, pada tahun 2021 pemerintah membentuk sebuah lembaga yang khusus untuk menangani mangrove yaitu BRGM (yang sebelumnya hanya menangani gambut saja [BRG]). Arahan pembangunan berbasis lingkungan semisal blue economy dan blue carbon juga menjadikan mangrove sebagai perhatian utama.

Saking perhatiannya pemerintah terhadap mangrove, beberapa kali pada acara memperingati hari ini dan itu, para pejabat negara berlomba berbasah dan berkotor lumpur menanam mangrove dalam kondisi pasang menggenang, meskipun kita tahu bahwa kegiatan seremoni itu ditujukan sebagai stimulan bagi pemangku kepentingan lainnya, kita pun tahu bahwa menanam mangrove bukanlah tugas dari pejabat. Tentu kita patut mengapresiasi hal ini, setidaknya niatnya baik meskipun caranya (ya, meski tidak bisa dibilang salah juga).

Kita tetap mencoba berbaik sangka bahwa permasalahan abrasi ini menjadi permasalahan yang tidak (belum) terselesaikan dari tahun ke tahun akan dapat terselesaikan ketika pemerintah turun tangan. Tentu mengikut juga penyelesaian permasalahan lain seperti penurunan muka tanah, pergeseran garis pantai, pembabatan mangrove, dan lain sebagainya.

Akan tetapi, bukannya bermaksud pesimistis apalagi sinis, namun berkaca kepada yang sudah-sudah, kegiatan penanaman mangrove yang begini jarang berhasil.

Selain disebabkan tidak berkelanjutannya program yang hanya bersifat tahunan, lemahnya pemantauan dan evaluasi juga menjadi salah satu penyebab utama kenapa rehabilitasi mangrove gagal dilakukan. Terpenting, metoda rehabilitasi yang kerap tidak tepat sasaran.

Andai boleh jujur, bisa dikatakan sudah salah dari awal perencanaan. Seperti kata bijak, fail to plan is plan to fail (gagal merencanakan berarti merencanakan untuk gagal).

Instansi non teknis yang berkaitan dengan perencanaan dan penganggaran misalnya. Tanpa mengetahui mengenai kebutuhan dan teknis di lapangan, secara membabi buta meletakkan anggaran sesuai dengan standar yang dianggap sudah representatif untuk kegiatan tersebut.

Akibatnya, instansi teknis ketar-ketir dalam membuat perencanaan berdasarkan penganggaran yang ada. Itu pun dalam penganggarannya, capaian keberhasilan berdasarkan indikator kinerja utama (IKU) menargetkan keberhasilan berdasarkan luasan atau jumlah bibit yang tertanam.

Penetapan target luasan ini akan sedikit ambigu sebab berkaitan dengan tutupan kanopi dari tajuk, bukan hanya sekadar luas plot area pada poligon yang didelineasi pada aplikasi olah peta.

Demikian juga dengan target jumlah bibit yang tertanam hanya berfokus pada capaian dan realisasi bibit yang berhasil ditanam tanpa menimbang potensi kematian pasca penanaman.

Ke depannya, ketika penanaman di satu lokasi telah dilakukan, pada tahun berikutnya, (andai masih ada) penanaman tentu akan dilakukan di lokasi lain yang berbeda.

Di sinilah awal petaka bermula. Semasa proses pertumbuhan hingga mangrove memperoleh perakaran yang kuat, mangrove serupa remaja labil yang rentan terhadap ancaman. Ia rentan hanyut dan mati.

Penanaman tanpa disertai proses tambal sulam dan mempertimbangkan tingkat kelulushidupan dari bibit hanya akan berdampak pada praktek buang-buang uang dan asal kerja saja. Setidaknya perlu dipertimbangkan SR (tingkat kelulushidupan lebih dari 75%) untuk keseluruhan bibit yang tertanam.

Kenali Teknik yang Tepat

Sun Tzu, seorang ahli strategi dan militer Tiongkok kuno pernah berkata, “Kenali dirimu, kenali musuhmu. Seribu pertempuran, seribu kemenangan.”

Pikiran naif kita, terutama yang tidak terlalu mengetahui mengenai karakteristik tumbuh mangrove adalah, ketika melihat suatu hamparan lumpur, dianggap sebagai media hidup yang tepat untuk menanami mangrove.

Pikiran naif ini didasari pada anggapan bahwa lumpur atau lempung adalah substrat yang tepat untuk media hidup mangrove. Pikiran ini tidak sepenuhnya salah, namun juga tidak bisa dibenarkan.

Alasannya, lumpur/lempung merupakan sedimen yang tergerus dan keberadaannya tidak stabil. Selain itu, lumpur yang berada di depan dan berhadapan dengan perairan biasanya dalam dan berbau busuk.

Ini disebabkan terjadi aktivitas pembusukan secara anaerob akibat fase penggenangan lumpur yang demikian lama ketimbang fase kering. Pun, jika ingin ditanami mangrove, setidaknya dibutuhkan waktu yang tidak sebentar bagi sedimen tersebut terstabilisasi dan menguat agar bisa ditumbuhi mangrove.

Proses stabilisasi sedimen. / Sumber: Bahan paparan Blue Forest Foundation

Biasanya, fase stabilisasi sedimen ini ditandai dengan tumbuhnya vegetasi Sonneratia spp. dan Avicennia spp. yang dikenal sebagai mangrove perintis. Dikatakan perintis sebab selain berada pada zona terdepan, mangrove jenis ini lazimnya menjadi cikal-bakal suatu daerah akan ditumbuhi oleh vegetasi mangrove.

Mengambil filosofi Sun Tzu di atas, bisa diimplementasikan menjadi, mengenali kekuatan kita; sebatas mana kewenangan dan kemampuan kita dalam melakukan rehabilitasi, dan mengenali musuh kita (faktor gangguan yang memengaruhi tingkat kelulushidupan mangrove) dan sepenting apa tindakan rehabilitasi—yang dalam hal ini dimaksudkan dengan penanaman—penting untuk dilakukan.

Sebenarnya, mengingat pola pergerakan sedimen dan juga gelombang, penanaman mangrove tidak penting-penting amat untuk dilakukan. Kenapa? Sebab, sejatinya, abrasi merupakan siklus alam yang dipengaruhi oleh gelombang yang kemudian membawa sedimen untuk diendapkan lagi di suatu tempat sebagai suatu fase sedimentasi atau akresi.

Pola sebaran mangrove ini pun mengikuti pola penggenangan, maka tak heran jika di suatu daerah tanah timbul yang sebelumnya bukan kawasan mangrove, tiba-tiba bisa menjadi suatu komunitas mangrove yang sangat sehat. Karena fenomena ini juga mangrove sering juga dijuluki shifting forest alias hutan yg bisa bergeser/berpindah.

Bisa dikatakan, mangrove tanpa campur tangan manusia bisa memulihkan komunitasnya secara sendiri tanpa perlu campur tangan manusia berupa rehabilitasi.

Namun, rehabilitasi kawasan pesisir menjadi penting ketika sudah menyangkut urusan kemaslahatan masyarakat dan ketahanan negara, semisal daerah pemukiman penduduk yang terabrasi, atau pada garis terluar batas negara.

Biasanya, kegiatan rehabilitasi yang dilakukan adalah penanaman, sebab jika menunggu pulih alami akan membutuhkan waktu yang cukup lama.

Itupun kemudian ketika sudah ditanami, tidak dilakukan pemantauan kembali untuk melihat kelulushidupan dari mangrove yang ditanam tersebut. Jadilah penanaman mangrove yang dilakukan di berbagai tempat lebih sering gagal ketimbang berhasil.

Lalu, apa saja faktor yang memengaruhi kelulushidupan bibit itu?

Setidaknya ada beberapa hal yang saya dapatkan dari hasil ngulik-ngulik referensi dan diskusi dengan berbagai ahli, antara lain:

  1. Faktor hidrologi (pengairan)

Seperti tumbuhan terestrial, mangrove sangat dipengaruhi oleh faktor pengairan. Namun, bedanya, mangrove memiliki daya tahan terhadap salinitas dan juga kemampuan untuk bertahan pada penggenangan air sedikit lebih lama ketimbang tumbuhan terestrial yang lain.

Dikatakan sedikit lebih lama karena kendati hidup pada lahan basah, sejatinya mangrove dapat tumbuh optimal pada kondisi yang tidak selalu tergenang. Maksudnya adalah, mangrove hidup pada daerah intertidal (daerah pasang surut).  Fase pasang surut ini mengindikasikan bahwa selain terendam, mangrove juga mendapat ekspos udara, tidak melulu tergenang.

Penanaman yang tidak mengindahkan prinsip ini, bisa diramalkan (sebab saya tidak bisa memastikan) tingkat keberhasilannya rendah.

Salah kaprah dalam memaknai hidrologi mangrove ini biasanya terlihat pada pemilihan metoda, waktu, dan tempat penanaman.

Ada beberapa praktek penanaman yang terkesan ngasal dan menyimpang, entah menanam bibit (propagul) mangrove pada kawasan yang selalu tergenang air laut, atau malah daerah yang tidak terkena pasang sama sekali.

Area yang sesuai untuk penanaman mangrove berdasarkan elevasi pasang-surut. / Sumber: Bahan paparan Blue Forest Foundation
  1. Pemilihan bibit

Sama seperti manusia, kepentingan memilih bibit, bebet, bobot menjadi salah satu hal yang cukup mutlak dalam melakukan rehabilitasi pesisir. Sebagaimana yang disebutkan di atas, bahwasanya mangrove itu hidup pada kawasan intertidal.

Berdasarkan lama perendamannya, setidaknya dibagi zona-zona tumbuh mangrove. Bibit yang tepat hanya akan dapat tumbuh pada area yang tepat, tergantung pada elevasi subtrat terhadap perairan lautnya.

Pemilihan bibit ini juga harus disesuaikan dengan kondisi hidrologi karena pada hakikatnya masing-masing spesies memiliki preferensi yg berbeda, termasuk dengan hidrologinya.

Pada waktunya nanti keberadaan mangrove juga ikut mengatur hidrologinya. Kondisi ini biasanya terpenuhi ketika sudah terjadi stabilisasi sedimen, mangrove kemudian berperan sebagai pemerangkap sedimen yang meninggikan elevasi substrat.

Cilakanya, kebanyakan (meskipun tidak semua) penanaman mangrove yang dilakukan cenderung ditanami dengan jenis yang sama, yaitu Rhizophora spp. Katakanlah kita sebut fenomena ini sebagai Rhizophoraisasi. Tentu saja penanaman mangrove harus dengan jenis ini pada semua kondisi dan kawasan adalah sebuah kesalahan besar.

Lalu, yang paling penting untuk kita ketahui adalah histori mangrove di kawasan tersebut dengan melihat mangrove dominan pada hutan referensi (biasanya pada vegetasi terdekat). Atau bisa dilihat pada time series citra satelit apakah kawasan ini dahulunya merupakan kawasan mangrove atau tidak.

  1. Substrat (media hidup)

Setelah memastikan pengairan lancar dan bibit yang tepat, hal yang tidak kalah penting adalah mengetahui media hidup dari mangrove, apakah berpasir, pasir berlumpur, atau hanya berlumpur.

Faktor 1 hingga 3 ini saling berkaitan satu sama lain dan merupakan unsur yang tidak terpisahkan.

Pengukuran elevasi substrat. / Foto: Windi Syahrian
  1. Predator alami

Pada penanaman mangrove, perlu diperhatikan adanya gangguan dari predator alami semisal ulat dan hewan ternak. Prinsip utama dari rehabilitasi itu sebenarnya menghilangkan atau meminimalisasi faktor gangguan, bukan hanya menanami.

Sialnya lagi, kita cenderung melupakan predator yang paling berbahaya, yakni manusia itu sendiri. Perlu dipastikan lahan yang akan direhabilitasi bebas dari gangguan manusia, sebab kita tentu tidak menginginkan menanam mangrove untuk kemudian ditebang ketika sudah dewasa oleh oknum yang tidak bertanggung jawab.

Selain empat kategori di atas (yang sebenarnya dijabarkan secara sederhana) penanaman mangrove tidaklah sesederhana itu. Keterlibatan arus dan gelombang juga memiliki pengaruh yang sangat besar akan keberhasilan tumbuh dari mangrove. Gelombang dan arus bermanfaat untuk sirkulasi unsur hara, oksigen terlarut, dan juga sedimen yang dimanfaatkan untuk tumbuh dan berkembang.

Namun demikian, pada fase tumbuh mangrove, keberadaan gelombang di satu sisi akan menjadi faktor pembatas bagi mangrove itu sendiri. Di satu sisi mangrove membutuhkan gelombang untuk penyebaran bibit dan juga pengaturan hidrologi, namun di sisi lain gelombang bisa menjadi bencana dengan menghanyutkan propagul dan bibit mangrove yang sudah ditanam.

Di sini menjadi dilema bagi sebagian pihak yang terlibat. Di satu sisi, ada kepentingan dan juga target serapan yang hendak dicapai, namun di sisi lain, kelulushidupan mangrove (seharusnya) menjadi tujuan utama.

Maka, sebelum melakukan penanaman, hendaknya, pada daerah yang terabrasi, atau pada perairan terbuka, hal yang utama yang harus dilakukan terlebih dahulu adalah dengan cara mereduksi faktor gangguan gelombang dengan pemulihan daratan atau bahasa sederhananya, mengembalikan kondisi bibir pantai seperti semula (minimal mendekati).

Kita percaya bahwa salah satu peran mangrove secara ekologi adalah untuk memerangkap sedimen, namun untuk urusan ini menjadi sesuatu yang berbeda. Logikanya, pada bibir pantai yang terabrasi, jika mangrove dewasa saja tidak bisa hidup, bagaimana mungkin untuk urusan penahan gelombang kita serahkan kepada mangrove anakan? Tentu ini tidak sama dengan permainan catur yang mana mengumpan pasukan kecil untuk menyelamatkan raja.

Diperlukan penahan gelombang, baik secara hard structure, maupun soft structure untuk memecah gelombang dan memerangkap sedimen sebagai media hidup mangrove.

Hard structure bisa dengan pemasangan batu bronjong atau tetrapod pada bibir pantai sejajar dengan garis pantai, dan soft structure dengan cara pemasangan hybrid engineering.

Setelah sedimen terperangkap dan menjadi media yang dirasa cukup—elevasi dan kemiringan pantai sesuai untuk intensitas perendaman mangrove akibat pasang surut—untuk substrat penanaman mangrove, barulah bisa dilakukan penanaman dengan pemilihan bibit yang sesuai.

Bahkan, pada beberapa kasus, lahan bekas tambak misalnya, penanaman mangrove secara masif malah tidak disarankan. Sebab sejatinya alam memiliki mekanisme pemulihan diri sendiri. Yang perlu dilakukan adalah dengan membuat kanal pengairan agar pasang-surut dapat mencapai tempat tersebut.

Ketika hal itu sudah terlaksana, sendirinya air akan menghanyutkan propagul dan melakukan penanaman alami sesuai dengan penyebaran benihnya secara hidrochory—sebuah  mekanisme di mana penyebaran buah dan biji terjadi melalui air—dengan pola rekrutmen alami. Pembuatan kanal ini juga diyakini untuk mencegah penggenangan yang menyebabkan mangrove tidak dapat tumbuh.

Metode ini dinamakan Metode Perbaikan Hidrologi yang merupakan salah satu dari sekian banyak metode rehabilitasi mangrove yang dipopulerkan oleh RR. Lewis.

Di kemudian hari Lewis menyempurnakan metode-metode tersebut ke dalam satu teknik rehabilitasi yang terlebih dahulu dilakukan penilaian kondisi ekosistem yang akan direhabilitasi agar diperoleh teknik untuk diterapkan pada lokasi tersebut. Metode ini dikenal dengan Ecological Mangrove Restoration (EMR) atau Rehabilitasi Mangrove Secara Ekologis.

Pengukuran elevasi substrat. / Foto: Windi Syahrian

Selain EMR, International Union for Conservation of Nature (IUCN) dan World Resources Institute (WRI) merumuskan Restoration Opportunity Assessment Method (ROAM) atau Metode Evaluasi Kesempatan Restorasi (MEKAR) yang dikembangkan menjadi salah satu alat penting memfasilitasi rencana pembangunan nasional dan sub-nasional. Dan masih banyak lagi metode lain, sesuai dengan pepatah beribu jalan ke Roma.

Persoalan metode ini bukan permasalahan mana yang lebih hebat dan tidak sebab semua metode pasti memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.

Bisa jadi untuk satu tujuan memiliki beberapa metode berbeda, namun ketika bicara efektifitas dan efisiensi, pemilihan metode yang tepat akan memudahkan dalam mencapai tujuan.

Kesimpulan

Pendekatan rehabilitasi mangrove ini sesungguhnya tidak hanya dikaji dari faktor ekologi saja. Perlu kajian lain yang tidak kalah penting seperti faktor ekonomi dan sosial budaya sehingga rehabilitasi mangrove bisa berhasil.

Pengenalan masalah utama menjadi kunci keberhasilan program dalam penanganan abrasi yang mana, berdasarkan hasil identifikasi masalah, ternyata, rehabilitasi mangrove bisa dilakukan dengan banyak kegiatan.

Penanaman mangrove secara simultan adalah langkah terakhir—yang sebenarnya tidak penting-penting amat—untuk dilaksanakan.

Jika disimpulkan sepihak, kegiatan penanaman mangrove yang dilakukan oleh berbagai instansi adalah sebuah kelatahan (ikut-ikutan) yang terlihat dengan maraknya kegiatan simbolis dan seremoni penanaman mangrove ketika acara-acara dan peringatan hari-hari tertentu. Entah dibalut dengan paket wisata atau kegiatan amal adopsi pohon.

Kesimpulan sepihak kedua malah bisa jadi kegagapan akibat tidak mengerti substansi. Atau, yang lebih parahnya, sudah latah, gagap pula. Alhasil, ketika mangrove menjadi sorotan dan primadona dunia dalam target penurunan emisi karbon—terbukti dengan kucuran pinjaman dari Bank Dunia yang (katanya dibayar dengan nilai ekonomi karbon) ketika program berhasil—kita semua menyambut dengan eforia, ikut-ikutan semangat penurunan emisi, namun terkesan menghambur-hamburkan uang.

Meminjam istilah biologi, saya menyebutnya (maaf) onani rehabilitasi. Terlalu asyik masyuk yang tidak produktif.

Kendati demikian, ketimbang menyalahkan, saya sebenarnya sangat mengapresiasi upaya-upaya tersebut. Setidaknya mereka telah berbuat, meski hasil belum optimal.

Tentu kesalahan dan kegagalan juga merupakan sebuah proses pembelajaran, meski riskan agar belajar harus gagal terlebih dahulu menggunakan uang negara.

Sebenarnya, apa yang sudah dilakukan, sudah cukup baik. Namun perlu dioptimalkan lagi, dan perumusan akar permasalahan harus bisa lebih fokus lagi. Dan kemudian, tentu perlu menyingkirkan ego sektoral masing-masing kelembagaan, agar program ini dapat terlaksana.

Kerjasama seluruh pihak sangat dibutuhkan agar pesisir tetap lestari. Bukankah di bawah merah-putih, kita seharusnya tidak terdikotomi dalam suku-suku, ras, bahkan kementrian dan lembaga?

Saya teringat ketika dulu pernah berbincang dengan beberapa orang pegiat mangrove di daerah saya, Riau.

Dulu, kegiatan penyelamatan lingkungan pesisir ini adalah “jalan sunyi”. Mereka yang berjuang menyelamatkan mangrove kerap disangka gila oleh orang sekitar, bahkan keluarga. Namun, konservasi memang urusan hati. Hanya orang kuat yang mampu bertahan.

Sekarang, jalan itu tidak lagi sunyi. Sudah ramai yang melewati. Hanya saja mereka berjalan sendiri-sendiri. ***

Baca juga: Merampas Kemakmuran Rakyat Pesisir Melalui Peraturan

Editor: J. F. Sofyan

Referensi:

Murdiyarso D dan Ambo-Rappe R. 2022. Rehabilitasi Kawasan Pesisir untuk Mitigasi Perubahan Iklim: Peranan mangrove dan penurunan emisi tingkat sub-nasional. Working Paper 11. Bogor, Indonesia: CIFOR.

Lewis. R.R., Ben. B. 2014. Ecological Mangrove Rehabilitation A Field Manual for Practitioners. Restoring Coastal Livelihoods Program (www.rcl.or.id)

Lewis. R.R. 2006. Five Steps To Successful Ecological Restoration Of Mangroves. 2006. Mangrove Action Project /Yayasan Akar Rumput Laut. Yogyakarta, Indonesia

Kusmana. C. 2017. .Lesson Learned From Mangrove Rehabilitation Program In Indonesia. Jurnal Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Vol. 7 No. 1 (April 2017): 89-97

Lewis, Roy & Streever, Bill & Theriot, Russell. (2000). Restoration of Mangrove Habitat. 7. ERDC TN-WRP-VN-RS-3.2. October 2000

Djamaluddin. R.,, Benjamin B., ROY R.L. The practice of hydrological restoration to rehabilitate abandoned shrimp ponds in Bunaken National Park, North Sulawesi, Indonesia. Biodiversitas Volume 20, Number 1, January 2019. Pages: 160-170

Blue Forest

https://forestsnews.cifor.org/57847/menilai-kesuksesan-restorasi-bentang-alam-hutan-menyorot-isu-tenurial?fnl=en

https://wanaswara.com/1000-pohon-untuk-jimin-bts-jimins-birthday-project/

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Penerapan Kampung Ikan Berbasis Teknologi Hatchery dalam Optimalisasi Percepatan Kemandirian Pangan Perikanan Nasional

Salah satu kisah sukses teknologi hatchery adalah hatchery skala rumah tangga (HSRT) yang terdapat dibagian utara Bali.

Teknologi ini dikembangkan oleh Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol Bali dan dengan pesat diterapkan oleh nelayan – nelayan setempat yang awalnya ingin mengadakan diversifikasi usaha dari perikanan budidaya secara tradisional ke perikanan budidaya skala industri seperti tambak dan keramba jaring apung.

Tanggapan