Rehabilitasi dan Menjaga Benteng Terakhir Pesisir Donggala

Mangrove menjadi salah satu ekosistem esensial yang memiliki peran yang penting dalam menjaga pesisir. Di Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah menjadi pelajaran penting tentang bagaimana mangrove berfungsi menahan efek tsunami yang melanda Teluk Palu pada tahun 2018.

Tsunami yang meluluh lantakkan Teluk Palu ini telah menyebabkan ribuan orang meninggal dan puluhan ribu lainnya mengungsi. Selain itu juga menurut data dari BPBD Sulawesi Tengah, bencana tsunami dan gempa bumi paling tidak menyebabkan 64.317 rumah rusak yang tersebar di Palu dan Donggala.

Dibalik bencana alam yang terjadi, ada pembelajaran yang dapat diambil tentang fungsi mangrove di Teluk Palu, khususnya di Kabupaten Donggala. Direktur Yayasan Bonebula, Andi Anwar menyebut ratusan rumah selamat dari terjangan tsunami yang melanda saat itu.

“Sangat berbeda jauh di wilayah tidak ada mangrove, rumah mengalami rusak berat. Tentunya ini menjadi pembelajaran yang sangat besar bagi masyarakat pesisir,” terang Anwar dalam sambutannya pada Peringatan Hari Mangrove Sedunia 2022 di Donggala.

Berdasarkan data dari Yayasan Bonebula, luasan mangrove di Teluk Palu mencapai 59,11 hektar. Sebanyak 98% atau 58,21 hektar berada di Kabupaten Donggala. Namun tren penurunan luasan mangrove juga terus terjadi.

Data yang dihimpun oleh Yayasan Konservasi Laut (YKL) Indonesia mengungkap terjadi penurunan sebesar luasan mangrove di Teluk Palu 12% antara tahun 2015 hingga 2019. Luasan yang pada tahun 2015 sebanyak 66,89 hektar turun menjadi 59,11 hektar tahun 2019.

Tren penurunan ini selain karena faktor bencana alam yang melanda, faktor lainnya juga datang dari alih fungsi lahan dan pengembangan kawasan. Laporan berjudul Mangrove Teluk Palu yang dipublikasi tahun 2022 menerangkan jika reklamasi pantai yang dilakukan sejak tahun 2010 telah menyebabkan terganggunya habitat mangrove.

Selain itu ancamannya yakni adanya pembuangan material reruntuhan bangungan pasca tsunami, perluasan pemukiman di sempadan pantai, kerikil dan kerakal dari aktivitas pertambangan menutupi tempat tumbuh mangrove.

Rehabilitasi Mangrove Donggala

Penulis berkesempatan terlibat peringatan Hari Mangrove Sedunia 2022 yang diperingati setiap 26 Juli. Kegiatan yang dilangsungkan di Donggala tersebut memberikan penulis kesempatan untuk melihat geliat masyarakat dalam menjaga dan merehabilitasi mangrove.

Pesisir di Kelurahan Tanjung Batu, Kecamatan Banawa, masyarakat melakukan pemetaan untuk penanaman mangrove. Topologi kondisi pesisir yang tidak rata mengharuskan warga untuk menandai areal yang dalam dengan menggunakan potongan bambu.

Hal itu juga dilakukan untuk mengatasi faktor gangguan seperti gelombang laut dalam rehabilitasi mangrove agar dapat memaksimalkan pertumbuhannya.

Hendra, nelayan yang juga pegiat mangrove dari Tanjung Batu yang penulis temui menjelaskan munculnya kesadaran warga untuk merehabilitasi mangrove lantaran banyak nelayan pesisir yang semakin sulit mendapatkan hasil laut.

Bukan hanya akibat bencana alam yang terjadi, melainkan hal itu diperparah dengan adanya reklamasi yang dilakukan di daerah Tanjung Batu.

“Kami melakukan suatu gerakan, gerakan kami itu melawan dengan melakukan tanam mangrove. Jadi kami tanam mangrove, melakukan perlawanan terhadap reklamasi yang dilakukan,” ujar Hendra.

Awalnya, warga hanya mengenal mangrove dengan nama bakau. Namun setelah mendapatkan pendidikan dan pelatihan terkait jenis dan fungsi mangrove, akhirnya membuat warga semakin antusias untuk melindungi mangrove.

Geliat menjaga mangrove juga terdapat di Kelurahan Kabonga Besar, Kecamatan Banawa. Melalui Kelompok Tani Hutan (KTH) Gonenggati Jaya, mangrove dengan luas kurang lebih 15 hektar dijadikan sebagai kawasan ekowisata dan eduwisata.

Yuryanto, ketua KTH Gonenggati Jaya menjelaskan sejak 2015 telah melakukan rehabilitasi mangrove lalu mulai tahun 2017 dibuka sebagai tempat ekowisata dan eduwisata. Tsunami yang terjadi tahun 2018 tidak menyebabkan kerusakan parah di Kabongan Besar.

“Peristiwa tsunami tahun 2018, mangrove disini sangat berguna, kerusakan tidak seperti daerah-daerah lain (yang tidak memiliki mangrove di pesisir). Fungsi mangrove di daerah kami sangat bermanfaat. Itu sebabnya kami menjaga mangrove,” ujar Yuryanto.

Aktivitas pemetaan lahan untuk ditanami mangrove di Kelurahan Tanjung Batu, Kecamatan Banawa, Kabupaten Donggala (atas) dan Ekowisata hutan mangrove di Kelurahan Kabonga Besar yang dikelola Kelompok Tani Hutan (KTH) Gonenggati (bawah). / Foto: Muhammad Riszky / Jaring Nusa KTI

Peran Perempuan Melalui Komunitas

Tsunami yang terjadi pada tahun 2018 telah memberikan pelajaran bagi masyarakat untuk melindungi wilayahnya dari ancaman serupa dikemudian hari. Inisiatif yang dilakukan perempuan dengan membentuk komunitas di Donggala.

Pertama adalah Pejuang Mangrove bagi perempuan di Kelurahan Kabonga Kecil dan Sahabat Mangrove di Kelurahan Tanjung Baru. Semuanya berasal dari kecamatan yang sama yakni Banawa.

Komunitas tersebut telah mengelola 6 jenis mangrove untuk dijadikan pangan. Mulai dari bolu, penyek, brownies hingga onde-onde. Selain itu ada juga makanan khas, kue tetu bahkan biji mangrove dijadikan kopi oleh kelompok tersebut.

Menurut Rini, salah satu anggota komunitas Pejuang Mangrove mengungkap mangrove bukan hanya sebagai benteng pesisir dari ancaman bencana alam, namun juga dapat dimanfaatkan menjadi pangan. Hal ini tidak terlepas dari pelatihan pengolahan mangrove yang diikuti kelompoknya.

Selain kelompok yang memanfaatkan mangrove untuk olahan pangan, peran strategis perempuan juga terlihat dari Kelompok Tani Mangrove (KTM) Baturoko. Ibu Kasna, dalam sebuah sharing session yang digelar oleh Jaring Nusa KTI memberikan testimoninya.

Ia mengungkap jika kelompoknya terbentuk dari kesadaran terhadap bencana alam dan abrasi yang terus menggerus pemukiman. Peran KTM Baturoko sendiri yakni melakukan pemulihan mangrove di desanya.

“Kami telah berhasil merehabilitasi lebih dari 10 hektar di desa kami. Kami saat ini sedang uji coba untuk membesarkan kepiting dalam hutan mangrove,” ujar Kasna.

Hasil olahan pangan dari mangrove kelompok perempuan Sahabat Mangrove. / Foto: Muhammad Riszky/Jaring Nusa KTI

Seperti lirik lagu dari HIV!, Jatuh, Bangkit Kembali, “Kita semua boleh jatuh, tapi harus bangkit, bangkit bangun kembali!”

Bencana alam boleh saja terjadi, namun bukan berarti kita menyerah akan keadaan. Masyarakat Donggala menjadi bukti nyata untuk bangkit kembali. Geliat masyarakat menjaga dan merehabilitasi mangrove, benteng terakhir pesisir Donggala.

Pengalaman penulis saat mengunjungi Teluk Palu, melihat berbagai elemen masyarakat dan organisasi terus bergerak menjaga dan merehabilitasi mangrove. Kolaborasi yang ditunjukkan secara konsisten menjadi pelajaran penting yang dapat diterapkan di berbagai daerah lainnya untuk melindungi ekosistem mangrove.***

Baca juga: Mangrove-Isasi: Antara Latah Dan Gagap Penanganan Abrasi

Editor: J. F. Sofyan

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Penerapan Kampung Ikan Berbasis Teknologi Hatchery dalam Optimalisasi Percepatan Kemandirian Pangan Perikanan Nasional

Salah satu kisah sukses teknologi hatchery adalah hatchery skala rumah tangga (HSRT) yang terdapat dibagian utara Bali.

Teknologi ini dikembangkan oleh Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol Bali dan dengan pesat diterapkan oleh nelayan – nelayan setempat yang awalnya ingin mengadakan diversifikasi usaha dari perikanan budidaya secara tradisional ke perikanan budidaya skala industri seperti tambak dan keramba jaring apung.

Tanggapan