Ribuan Orang Desak Perusahaan Seafood AS Stop Nikmati Cuan dari Kapal Ikan Pelaku Perbudakan
Kamis pagi, 7 September 2023, sejumlah aktivis Greenpeace Amerika Serikat memasang bendera bertuliskan “End Modern Slavery” (Stop Perbudakan Modern) tepat di depan gedung Bumble Bee Seafoods yang berada di area perkantoran Gallagher Square, San Diego, California, Amerika Serikat.
Beberapa di antaranya berdiri mengangkat potongan karton angka berwarna kuning menyusun tulisan “51000+”.
Salah seorang aktivis lainnya memegang karton berwarna hitam yang bertuliskan “PEOPLE want Bumble Bee to stop benefiting from modern slavery in its supply chain” (Banyak orang ingin Bumble Bee berhenti mengeruk untung dari perbudakan modern di rantai suplainya).
Angka 51000+ itu mewakili jumlah orang yang menandatangani sebuah petisi yang ditujukan pada Bumble Bee Seafoods, korporasi penghasil makanan laut dalam bentuk kaleng seperti tuna dan salmon, beserta induk perusahaannya, Fong Chun Formosa (FCF), yang berpusat di Taiwan.
Petisi itu mendesak Bumble Bee dan FCF untuk membersihkan “darah” di rantai pasok mereka yang selama ini mengorbankan begitu banyak awak kapal–yang banyak di antaranya adalah orang Indonesia.
Memangnya, ada apa dengan Bumble Bee? Siapa mereka? Apa kaitannya dengan perbudakan modern di atas kapal ikan?
Di Balik Tuna Kaleng Bumble Bee
Hasil investigasi[1] Greenpeace Asia Timur pada 2022 lalu menemukan setidaknya 10 persen dari 119 sampel kapal berbendera atau milik Taiwan, yang hasil tangkapannya dipasok ke Bumble Bee, telah melanggar aturan Badan Perikanan Taiwan (Taiwan Fishery Agency/TFA) dan masuk daftar illegal, unreported, and unregulated (IUU) fishing. Laporan itu juga menemukan sejumlah kapal yang memasok hasilnya ke Bumble Bee ternyata terlibat dalam praktik penangkapan ikan ilegal.
Tak hanya itu, Greenpeace Amerika Serikat juga menemukan produk kaleng Bumble Bee yang dijual di salah satu toko kelontong di Kota Arlington, negara bagian Virginia, berisi ikan yang ditangkap menggunakan kapal asal Taiwan bernama Da Wang—yang oleh Bea Cukai dan Pelindungan Perbatasan Amerika Serikat diberi “kartu merah” awal 2022 lalu karena terbukti terjadi kerja paksa di dalamnya.
Di atas kapal Da Wang itu, ternyata ada awak kapal asal Indonesia yang menjadi korban kekerasan dan kerja paksa. Namanya Ardi Ligantara, pria asal Medan, Sumatera Utara, itu menjadi korban pada awal 2019 lalu. Ia menjadi saksi atas tewasnya kolega sesama asal Indonesia di atas kapal itu.
Selain Taiwan, China juga merupakan negara yang kapal-kapal ikannya kerap menjadi tempat terjadinya praktik kekerasan dan kerja paksa di tengah laut. Tak hanya Ardi, ada juga Syamsul asal Tegal, Jawa Tengah, yang pada 2020 kerja berbulan-bulan di atas kapal berbendera China dan tak mendapat upah sesuai dengan kontrak kerjanya. Sama seperti Ardi, Syamsul juga menjadi saksi atas tewasnya awak kapal Indonesia yang disimpan di lemari pendingin bersama hasil tangkapan laut.
Pada 2019[2] dan 2021[3] lalu, Greenpeace Indonesia dan Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) menerbitkan dua seri laporan investigasi tentang praktik perbudakan terhadap awak kapal perikanan. Kebanyakan korban adalah orang Indonesia. Mereka bekerja di kapal-kapal berbendera Taiwan atau China dan hasil tangkapannya dipasarkan di negara-negara maju seperti kawasan Eropa dan Amerika Serikat.
Bumble Bee Harus Berbenah
Memang belum ada data yang pasti tentang berapa jumlah awak kapal Indonesia yang bekerja di kapal-kapal Taiwan dan China yang memasok ikan untuk Bumble Bee. Namun, mengingat Bumble Bee adalah salah satu pemain terbesar di industri makanan laut kalengan, perbaikan sekecil apa pun yang mereka lakukan tentu akan berpengaruh terhadap perbaikan nasib para awak kapal.
Dengan adanya petisi yang telah ditandatangani oleh puluhan ribu orang dari seluruh dunia, sudah saatnya para elite di puncak Bumble Bee Seafood menyadari bahwa “tangan mereka berdarah”. Selama bertahun-tahun, mereka seolah menutup mata atas terjadinya praktik kerja paksa dan perbudakan di atas kapal-kapal ikan yang terafiliasi dengan mereka.
“Selama lebih dari satu dekade, Greenpeace AS telah mencoba terhubung dengan Bumble Bee untuk membahas bagaimana mereka bisa membenahi bisnis mereka dengan pendekatan yang sistematis serta berbasis hak asasi manusia dan sains. Tapi mereka selalu menolak bertemu kami,” tutur Sari Heidenreich, Penasihat HAM Senior untuk Perikanan Global Greenpeace AS.
Bumble Bee Seafood berada di bawah konglomerasi FCF, salah satu perusahaan ikan tuna terbesar di dunia, yang produknya mudah ditemukan hampir di seluruh pasar swalayan di seluruh Amerika Serikat. Kendati mengklaim “perikanan berkelanjutan penting bagi kami”, namun nyatanya realitas di lapangan jauh panggang dari api.
Bumble Bee harus mulai berbenah diri dan membersihkan bisnisnya dari praktik perbudakan dan kekerasan di atas kapal-kapal yang hasil tangkapannya menjadi sumber cuan bagi mereka. Dengan begitu, Bumble Bee bisa berkontribusi untuk melindungi awak kapal asal Indonesia yang bekerja di kapal-kapal itu agar terbebas dari perbudakan dan praktik kekerasan.
***
Apakah Anda ingin turut mendesak Bumble Bee untuk berbenah dan mendukung pelindungan yang lebih baik untuk awak kapal perikanan (AKP) migran Indonesia?
Tandatangani petisi ini!
***
Baca juga: Mengatasi Dua Ancaman Ganda: IUU Fishing dan Perbudakan AKP Migran di Asia Tenggara
[1] Fake My Catch: The Unreliable Traceability in our Tuna Cans, 2022
[2] Seabound: The Journey to Modern Slavery on the High Seas, 2019
[3] Forced Labour at Sea: The Case of Indonesian Migrant Fisher, 2021
Artikel ini adalah tayangan ulang dari website Greenpeace Indonesia.
Ditulis oleh: Haris Prabowo dan Firdarainy Nuril Izzah
Tanggapan