Corong Asap PLTU Celukan Bawang

Bali selalu dikenal dengan hingar bingar pariwisatanya, keindahan panorama alamnya selalu menjadi daya tarik utama di pulau Bali. Daerah selatan Bali, terutama Kuta dan Jimbaran menjadi ikon wisata yang begitu banyak dikunjungi turis, baik lokal maupun mancanegara. Hal ini menyebabkan wilayah selatan Bali menjadi familiar bagi banyak orang.

Meski Bali menjadi ikon pariwisata di Indonesia, daerah utara Bali—terutama Buleleng masih sangat sedikit menjadi topik pembahasan, termasuk bagi masyarakat asli Bali sendiri. Padahal, di Kabupaten Buleleng tepatnya di Desa Celukan Bawang telah dibangun PLTU Batubara yang membawa dampak buruk bagi kehidupan sosial-ekonomi masyarakatnya dan juga lingkungan sekitar PLTU.

Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batubara termasuk energi yang kurang ramah bagi manusia dan lingkungan. Merujuk Mongabay (2014), kala banyak negara-negara di luar sana yang mengurangi penggunaan energi batu bara, Indonesia justru semakin massif membangun pertambangan dan PLTU batubara di Indonesia.

Permasalahan ini menjadi salah satu pekerjaan rumah bagi Indonesia, sebab peralihan ke energi terbarukan yang lebih sustainable belum masif dilakukan. Batubara dipilih, umumnya karena bahan baku ini cenderung murah namun dampak negatifnya adalah ia menyumbang emisi dan dampak yang ebih buruk bagi lingkungan, termasuk salah satunya mempercepat krisis iklim yang sedang kita hadapi saat ini.

Bahayanya energi batubara bagi masyarakat dan lingkungan sekitar PLTU tentu mengancam hak-hak masyarakat atas lingkungan hidup yang bersih dan bebas polusi. Mongabay (2018) menyatakan bahwa PLTU Celukan bawang menjadi sumber utama polusi udara di Bali.

Pernyataan tersebut diperkuat setelah direncanakannya ekspansi PLTU Celukan Bawang II yang direncanakan memiliki kapasitas 2×330 Megawatt, hal ini berarti kapasitas PLTU Celukan Bawang II terhitung 2x lipat dari unit I. Kapasitas yang dua kali lipat lebih besar tentu akan membawa dampak yang dua kali lipat lebih besar bagi masyarakat dan lingkungan ke depannya.

Tentu apa yang terjadi di wilayah utara Bali ini berbahaya dan akan mempercepat terjadinya krisis iklim. Peneliti dari Greenpeace sebagai salah satu pihak yang menggugat pembangunan unit baru PLTU Celukan Bawang melaporkan proyeksi polutan yang membahayakan warga. Mongabay (2018) memaparkan dampak buruk tersebut salah satunya adalah limbah merkuri dari batubara.

Dampak yang paling terasa bagi warga Celukan Bawang adalah aliran limbah yang mencemari laut dan menyebabkan ekosistem laut menjadi rusak. Dampak tersebut merugikan warga, karena sebagian besar warga Celukan Bawang adalah nelayan yang mana sebagian besar waktunya dihabiskan di laut.

Dampak buruk juga akan membahayakan warga Celukan Bawang karena merkuri adalah bahan kimia yang berbahaya bagi kesehatan, terutama anak-anak. Di tambah lagi, bahan pangan yang diperoleh dari laut akan tercemar dan menyebabkan gangguan kesehatan pada masyarakat sekitar.

Greenpeace (2018) pun menekankan bahwa PLTU Celukan Bawang juga menimbulkan dampak sosial ekonomi bagi masyarakat. Di samping dampak lingkungan dan kesehatan yang ditimbulkan, dampak tersebut juga mencakup persoalan ganti rugi tanah yang belum selesai, warga dinilai tidak mendapat hak yang setimpal, ditambah kurang transparannya proses tersebut.

Kemiskinan juga terjadi, sebab masyarakat Celukan Bawang mayoritasnya adalah nelayan dan petani, dampak lingkungan sangat berpengaruh jika PLTU terus beroperasi. Kemudian, dampak kesehatan warga juga diperburuk karena tidak adanya pemantauan dampak kesehatan lanjutan.

Dok. Greenpeace.org

Hadirnya PLTU Celukan Bawang di Bali hendaknya dijadikan pembelajaran kritis bagaimana harusnya masyarakat diberikan ruang aspirasi dan proses transparan dalam pemenuhan hak ganti rugi mereka. Membicarakan Bali tentu tidak tepat jika hanya membicarakan gemerlap pariwisata dan pembangunannya di daerah selatan.

Kerap kali kita lupa bahwa pembangunan PLTU batubara di utara Bali sebenarnya mengorbankan masyarkat pesisir yang sehari-harinya bergantung pada laut. Masalah Celukan Bawang kini bukan hanya menjadi persoalan ganti rugi lahan warga, lebih dari itu Celukan Bawang harusnya dimaknai dengan lebih kritis karena terdapat hak atas lingkungan hidup dan hak atas pekerjaan yang direnggut melalui pembangunan PLTU batubara.

Kecintaan kita terhadap Bali tentu tidak dapat diukur hanya karena Bali adalah tempat berlibur yang eksotis, di belakang itu semua terdapat warga yang sedang memperjuangkan ruang hidupnya. Maka, sebagai masyarakat Bali sudah sepatutnya kita aware terhadap lingkungan dan masalah-masalah yang menyertainya. Pencegahan ini nantinya berguna untuk memperlambat proses krisis iklim yang diharapkan berguna bagi generasi selanjutnya.

Referensi:

Greenpeace Indonesia. 2018. PLTU Celukan Bawang Meracuni Pulau Dewata. https://www.greenpeace.org/indonesia/publikasi/1176/pltu-celukan-bawang-meracuni-pulau-dewata/

Nugraha, I. 2014. Batubara, Rusak Lingkungan, Sumber Beragam Penyakit sampai Hancurkan Pangan dan Budaya. https://www.mongabay.co.id/2014/02/24/batubara-rusak-lingkungan-sumber-beragam-penyakit-sampai-hancurkan-pangan-dan-budaya/

Suriyani, LD. 2018. Limbah PLTU Celukan Bawang Membahayakan Manusia dan Lumba-lumba. https://www.mongabay.co.id/2018/07/18/limbah-pltu-celukan-bawang-membahayakan-manusia-dan-lumba-lumba/

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Tanggapan