Potensi Lestari Perikanan Indonesia
Sebagai negara maritim, kelautan dan perikanan menjadi sektor yang cukup menjanjikan bagi masa depan Indonesia. Namun, pemerintah menyebutkan bahwa masih dibutuhkan banyak kapal untuk memaksimalkan potensi sumber daya perikanan di Indonesia. Untuk itulah pemerintah mendorong peningkatan industri galangan kapal dalam negeri.
Selain itu, masih ada beberapa permasalahan terkait perikanan Indonesia yang perlu diselesaikan agar potensi tersebut dapat dioptimalkan tanpa merusak ekosistem laut. Inilah yang disebut dengan potensi lestari, yaitu potensi penangkapan ikan yang masih memungkinkan ikan untuk melakukan regenerasi sehingga jumlah ikan yang ditangkap tidak mengurangi populasi ikan di lautan Indonesia.
Indonesia memiliki potensi lestari perikanan sebesar 12,54 juta ton per tahun dengan nilai ekonomi mencapai USD 20 miliar per tahun. Sementara itu, aturan internasional menetapkan jumlah tangkapan yang diperbolehkan adalah 80 persen dari potensi lestari tersebut atau sekitar 5,12 juta ton per tahun.
Faktanya, tangkapan ikan di Indonesia belum mencapai angka tersebut. Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun 2019, produksi perikanan tangkap Indonesia baru mencapai 7,53 juta ton. Artinya, Indonesia masih berpeluang untuk meningkatkan jumlah tangkapan sampai batas yang ditentukan.
Potensi sumber daya ikan di Indonesia ini tergolong besar. Namun, potensi hilangnya juga cukup besar, yaitu sekitar Rp300 triliun. Hal ini disebabkan oleh banyaknya praktik pencurian ikan di kawasan laut Indonesia (illegal fishing), terutama oleh kapal-kapal asing.
Meski Indonesia sempat melakukan upaya untuk menenggelamkan 488 kapal pencuri dalam empat tahun terakhir, hal ini tidak membuat para pelaku jera. Bahkan, penguatan lembaga pengawasan laut dengan membentuk Badan Keamanan Laut (Bakamla) pun dilakukan untuk mencegah illegal fishing.
Pengawasan praktik illegal fishing memang tidak mudah. Apalagi, Indonesia memiliki potensi lestari perikanan yang tersebar di wilayah perairan Indonesia dan perairan zona ekonomi eksklusif (ZEE) sehingga dibutuhkan upaya ekstra untuk mengawasinya.
Wilayah perairan Indonesia yang paling rentan terkena illegal fishing adalah Laut Natuna yang berada di wilayah Laut Cina Selatan dan Laut Arafura yang berada di antara Papua dan Australia.
Bukan cuma illegal fishing, Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti juga sempat menyebutkan bahwa banyak ikan segar yang diekspor tanpa terdata pemerintah (unreported fishing). Biasanya, ikan-ikan ini ditangkap di wilayah perbatasan sehingga para pelaku bisa lebih mudah menjual ikan-ikan tersebut ke luar negeri.
Meski sudah ada kesepakatan antara negara-negara Asean terkait penanganan illegal, unreported and unregulated (IUU) fishing, Direktur Pengawasan Sumber Daya Perikanan Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP KKP) Agus Supriyono menyebutkan bahwa upaya tersebut masih bersifat sukarela.
Artinya, belum ada komitmen bersama untuk benar-benar memberantas praktik IUU fishing tersebut, baik melalui sanksi tegas maupun upaya lainnya. Padahal, upaya tegas dan keras terhadap illegal fishing bukan cuma membuat para pelaku jera, tapi juga bisa meningkatkan sumber daya perikanan Indonesia.
Komitmen. Mungkin, itulah kata kunci yang bisa menggambarkan upaya yang perlu dilakukan agar potensi lestari perikanan Indonesia dapat dioptimalkan, yang pada akhirnya mampu meningkatkan perekonomian negara dan kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Meski praktik IUU fishing masih akan terus berlangsung sepanjang ada permintaan, komitmen pemerintah dalam melindungi potensi lestari perikanan Indonesia harus terus berjalan!***
Tanggapan