Overfishing dan Kekeringan Laut

Wilayah laut Indonesia menghadapi berbagai tantangan yang serius yang mengancam  kelangsungan ekosistemnya. Salah satu masalah utama yang sedang dihadapi adalah overfishing atau penangkapan ikan berlebihan.

Overfishing merupakan fenomena di mana tingkat penangkapan ikan melebihi tingkat pemulihan dan pertumbuhan populasi ikan itu sendiri. Dalam beberapa tahun terakhir, aktivitas penangkapan ikan yang tidak terkendali dan intensif telah mengakibatkan penurunan drastis dalam jumlah dan ukuran ikan di lautan.

Fenomena ini tidak hanya terjadi di perairan lokal, tetapi juga menjadi masalah global yang mempengaruhi keberlanjutan sumber daya ikan dan keseimbangan ekosistem laut secara keseluruhan.

Hasil penelitian Awak pada tahun 2022 yang telah diterbitkan pada Journal of Marine and Aquatic Sciences bahwa Indonesia adalah salah satu negara penghasil ikan terbesar di dunia, dengan industri perikanan yang memberikan kontribusi penting bagi perekonomian dan mata pencaharian masyarakat. 

Tingginya permintaan pada produk perikanan, pertumbuhan populasi manusia, dan kemajuan teknologi penangkapan ikan akan menjadi faktor terjadinya overfishing.

Faktor pertama yang berkontribusi terhadap overfishing adalah peningkatan permintaan akan produk perikanan. Dalam beberapa tahun terakhir, populasi manusia terus bertambah dan kebiasaan mengkonsumsi makanan laut semakin meningkat. Hal ini mendorong permintaan ikan semakin meningkat. Untuk memenuhi permintaan yang tinggi, penangkapan ikan dilakukan secara intensif, tanpa memperhatikan batas keberlanjutan sumber daya ikan.

Faktor kedua adalah perkembangan teknologi penangkapan ikan yang canggih. Kapal-kapal penangkapan ikan modern dilengkapi dengan peralatan canggih yang memungkinkan mereka untuk menjangkau daerah-daerah perikanan yang lebih jauh dan menangkap ikan dalam jumlah besar.

Selain itu, praktik penangkapan yang merusak juga menjadi faktor penyebab overfishing. Beberapa praktik tersebut meliputi penangkapan ikan yang berlebihan, penggunaan alat tangkap yang merusak terumbu karang atau habitat ikan lainnya, serta penangkapan ikan yang belum dewasa atau berada dalam masa pemijahan.

Praktik penangkapan tidak hanya merusak populasi ikan, tetapi juga mengganggu keseimbangan ekosistem perairan secara keseluruhan. Teknologi yang semakin canggih  memungkinkan penangkapan ikan dalam jumlah besar dan secara efisien, tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap populasi ikan.  

Jika tidak ada tindakan yang tepat untuk mengatasi overfishing, dampaknya akan semakin parah dan menyebabkan kekeringan laut yang mengancam kehidupan laut secara keseluruhan.

Selain faktor permintaan, teknologi, dan praktik penangkapan yang tidak bertanggung jawab, faktor lain dalam overfishing adalah kurangnya pengelolaan perikanan yang efektif.

Banyak perairan di seluruh dunia tidak memiliki sistem pengelolaan yang memadai untuk melindungi sumber daya ikan. Kurangnya pengawasan, penegakan hukum yang lemah, dan ketidakpatuhan terhadap aturan penangkapan ikan menjadi masalah serius yang mengakibatkan eksploitasi berlebihan terhadap sumber daya ikan.

Ilustrasi penangkapan ikan skala besar. / Foto: Andrew McConnell / Greenpeace

Dampaknya berpengaruh terdapat penurunan populasi ikan yang menyebabkan gangguan pada rantai makanan laut, merugikan satwa lain seperti burung laut, mamalia laut, dan organisme laut lainnya yang bergantung pada ikan sebagai sumber makanan. Selain itu, keberlanjutan ekonomi dan sosial masyarakat pesisir yang bergantung pada sektor perikanan juga terancam.

Selain overfishing, wilayah laut Indonesia juga dihadapkan pada masalah pencemaran, degradasi habitat, dan perubahan iklim. Pencemaran laut, baik dari limbah industri maupun domestik dapat mengancam kehidupan organisme laut dan berpotensi merusak rantai makanan.

Degradasi habitat, seperti kerusakan terumbu karang akibat penangkapan ikan yang merusak dan aktivitas manusia yang tidak berkelanjutan, mengurangi keanekaragaman hayati dan melumpuhkan ekosistem laut yang rapuh.

Sementara itu, perubahan iklim, yang menyebabkan kenaikan suhu permukaan laut, peningkatan keasaman laut, dan naiknya permukaan air laut, memiliki dampak besar terhadap keseimbangan ekosistem laut serta spesies yang hidup di dalamnya.

Namun, di tengah tantangan tersebut, wilayah laut Indonesia juga menyimpan potensi besar untuk keberlanjutan. Dengan keanekaragaman hayati yang melimpah, sumber daya alam yang melimpah, dan budaya maritim yang kaya, Indonesia memiliki peluang untuk menjadi pemimpin dalam konservasi dan pengelolaan laut yang berkelanjutan.

Melalui langkah-langkah perlindungan yang efektif, pengelolaan perikanan yang bijaksana, pengurangan limbah plastik, dan upaya mitigasi perubahan iklim, wilayah laut Indonesia dapat dipulihkan dan dilestarikan untuk manfaat jangka panjang.

Perubahan iklim terjadi sebagai akibat dari peningkatan emisi gas rumah kaca yang menyebabkan pemanasan global. Dampak dari perubahan iklim ini meliputi peningkatan suhu permukaan laut, peningkatan tingkat asam laut, dan perubahan pola curah hujan. Peningkatan suhu permukaan laut yang disebabkan oleh perubahan iklim memiliki efek langsung terhadap ekosistem perairan.

Menurut penelitian muhtarom di tahun 2017 pada Jurnal Penelitian Ekonomi Dan Akuntansi menyatakan bahwa suhu yang lebih tinggi dapat mengubah distribusi dan migrasi spesies ikan, mempengaruhi reproduksi dan pertumbuhan ikan, serta mengurangi produktivitas fitoplankton yang menjadi sumber pakan bagi ikan.

Hal ini berpotensi mengurangi ketersediaan pakan bagi ikan, mengganggu rantai makanan, dan pada akhirnya mengurangi populasi ikan. Selain itu, perubahan iklim juga berkontribusi terhadap peningkatan kekeringan laut.

Peningkatan suhu global menyebabkan peningkatan penguapan air dari permukaan laut, yang pada gilirannya meningkatkan konsentrasi garam dalam air laut. Kekeringan laut terjadi ketika air laut menguap lebih cepat daripada yang dapat digantikan oleh aliran air segar, seperti dari sungai-sungai atau curah hujan. Akibatnya, air laut menjadi lebih asin dan volume air laut berkurang.

Kekeringan laut dapat mengganggu ekosistem perairan, menghancurkan terumbu karang, dan mengurangi ketersediaan habitat bagi ikan dan organisme laut lainnya.

Kaitannya dengan krisis overfishing dengan kekeringan laut dapat memperburuk situasi yang sudah rentan. Ketika kekeringan laut terjadi, sumber daya ikan menjadi terkonsentrasi dalam wilayah yang tersisa air, seperti estuari dan sungai. Hal ini mengakibatkan peningkatan tekanan penangkapan ikan di daerah tersebut, yang pada gilirannya mempercepat eksploitasi sumber daya ikan.

Ketika populasi ikan terus dieksploitasi dalam kondisi kekeringan laut, kesempatan ini untuk pemulihan populasi ikan dan keberlanjutan sumber daya ikan menjadi semakin sulit. Selain itu, perubahan iklim juga dapat mempengaruhi ketersediaan pakan bagi ikan.

Perubahan pola curah hujan dapat mengganggu siklus alami produksi pakan alami seperti fitoplankton, zooplankton, dan organisme laut kecil lainnya yang merupakan sumber pakan utama bagi ikan.

Jika ketersediaan pakan berkurang, ikan cenderung mencari makan di daerah yang lebih terbatas, sehingga meningkatkan risiko penangkapan berlebihan (overfishing). Dengan demikian, perubahan iklim secara langsung dan tidak langsung berdampak pada kekeringan laut dan overfishing.

Untuk mengatasi overfishing, perlu dilakukan upaya mitigasi perubahan iklim, pengelolaan yang berkelanjutan terhadap sumber daya ikan, serta diperlukan upaya yang komprehensif dan kolaboratif antara pemerintah, nelayan, ilmuwan, dan masyarakat.

Hasil penelitian Harahap di tahun 2014 pada Jurnal Riset Akuntansi Dan Bisnis menyatakan bahwa, langkah-langkah pengelolaan perikanan yang berkelanjutan, seperti penetapan kuota penangkapan, pembatasan ukuran ikan yang boleh ditangkap, dan pendekatan ekosistemik dalam pengelolaan perikanan, menjadi penting untuk menjaga kelangsungan sumber daya ikan dan menjaga keseimbangan ekosistem laut.

Selain itu, kesadaran dan partisipasi aktif masyarakat dalam praktik penangkapan ikan yang bertanggung jawab juga sangat penting dalam mencapai tujuan tersebut. Salah satu upaya yang telah dilakukan adalah pengaturan dan penerapan kuota penangkapan.

Banyak negara mengadopsi sistem kuota yang membatasi jumlah ikan yang dapat ditangkap oleh para nelayan dalam suatu periode waktu tertentu. Pendekatan ini didasarkan pada penilaian ilmiah tentang kesehatan stok ikan dan bertujuan untuk mencegah penangkapan ikan yang berlebihan.

Dalam penelitian Murawski di tahun 2000 pada Jurnal Penelitian Ekonomi Dan Akuntansi menyatakan bahwa, dengan adanya kuota penangkapan  diharapkan populasi ikan dapat pulih dan berkelanjutan. Selain itu, pembentukan kawasan perlindungan laut juga menjadi salah satu upaya yang dilakukan. Kawasan perlindungan laut seperti taman laut atau resor laut yang melarang penangkapan ikan telah didirikan di berbagai wilayah (Murawski, 2000).

Tujuannya adalah untuk melindungi ekosistem laut yang sensitif dan memberikan tempat perlindungan bagi populasi ikan agar dapat berkembang biak dan pulih. Melalui pembentukan kawasan perlindungan laut, diharapkan ekosistem laut dapat dipulihkan dan keanekaragaman hayati terjaga.

Upaya lainnya adalah pengembangan sistem pengawasan dan pengendalian. Negara-negara telah meningkatkan pengawasan terhadap aktivitas penangkapan ikan melalui penggunaan teknologi canggih seperti pemantauan satelit dan sistem pelaporan penangkapan ikan secara real-time.

Hal ini memungkinkan pihak berwenang untuk lebih efektif dalam mendeteksi pelanggaran terhadap peraturan penangkapan ikan dan mengambil tindakan yang tepat. Tidak hanya itu, kerjasama internasional juga menjadi faktor penting dalam mengatasi krisis overfishing.

Negara-negara dan organisasi internasional bekerja sama dalam pengelolaan perikanan lintas batas wilayah. Perjanjian pengelolaan perikanan bersama telah dibentuk untuk mengatur penangkapan ikan di perairan yang terbagi antara negara-negara.

Kerjasama ini berperan penting dalam memastikan bahwa praktik penangkapan ikan yang berkelanjutan dilakukan secara bersama-sama. Selain itu, upaya pemulihan ekosistem laut dan promosi kesadaran masyarakat juga menjadi bagian dari upaya mengatasi krisis overfishing. Pemulihan ekosistem meliputi pengembangan terumbu karang, restorasi habitat, dan perlindungan spesies yang terancam punah.

Sementara itu, kesadaran masyarakat ditingkatkan melalui kampanye edukasi dan program pelatihan. Melibatkan masyarakat dalam pengelolaan perikanan dapat membantu mengurangi praktik penangkapan ikan yang merusak dan memastikan kelangsungan sumber daya ikan.

Meskipun telah dilakukan upaya yang signifikan, tantangan untuk mengatasi overfishing masih besar. Diperlukan komitmen yang kuat dari semua pihak, termasuk pemerintah, nelayan, ilmuwan, dan masyarakat umum, untuk menerapkan praktik penangkapan ikan yang berkelanjutan dan menjaga kelestarian sumber daya ikan.***

Baca juga: Terumbu Karang Kesakitan: Krisis Iklim Menjadi Salah Satu Faktor Kritisnya Ekosistem Laut

Editor: J. F. Sofyan

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Penerapan Kampung Ikan Berbasis Teknologi Hatchery dalam Optimalisasi Percepatan Kemandirian Pangan Perikanan Nasional

Salah satu kisah sukses teknologi hatchery adalah hatchery skala rumah tangga (HSRT) yang terdapat dibagian utara Bali.

Teknologi ini dikembangkan oleh Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol Bali dan dengan pesat diterapkan oleh nelayan – nelayan setempat yang awalnya ingin mengadakan diversifikasi usaha dari perikanan budidaya secara tradisional ke perikanan budidaya skala industri seperti tambak dan keramba jaring apung.

Tanggapan