Garis Pantai Banyuwangi, Laboratorium Alam Kelautan Berkelas Dunia

Enam puluh lima tahun lalu, tepatnya pada tanggal 13 Desember 1957, melalui sebuah deklarasi yang kita kenal sebagai “Deklarasi Djuanda”, Perdana Menteri Indonesia pada saat itu, Djuanda Kartawidjaja, menyatakan kepada dunia bahwa laut Indonesia adalah termasuk laut sekitar, di antara dan di dalam kepulauan Indonesia menjadi satu kesatuan wilayah NKRI.

Akibatnya luas wilayah Republik Indonesia berganda 2,5 kali lipat dari 2.027.087 km² menjadi 5.193.250 km² dengan pengecualian Irian Jaya yang walaupun wilayah Indonesia tetapi waktu itu belum diakui secara internasional.

Setelah melalui perjuangan yang panjang, deklarasi ini pada tahun 1982 akhirnya dapat diterima dan ditetapkan dalam konvensi hukum laut PBB ke-III Tahun 1982 (United Nations Convention On The Law of The Sea/UNCLOS 1982). Selanjutnya deklarasi ini dipertegas kembali dengan UU Nomor 17 Tahun 1985 tentang pengesahan UNCLOS 1982 bahwa Indonesia adalah negara kepulauan.

Dari dasar itulah Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia. Jumlah pulaunya lebih dari 17 ribu dan panjang garis pantai mencapai 81 ribu kilometer, membentang dari Sabang hingga Merauke.

Tak heran jika sebagian besar wilayah Indonesia adalah kawasan pesisir. Sebuah kawasan dengan sumber daya alam yang melimpah dan tidak ada tandingannya. Salah satu contohnya adalah Kabupaten Banyuwangi dengan panjang garis pantai kabupaten yang berada paling ujung timur Pulau Jawa ini mencapai 175 kilometer dan salah satu yang terpanjang di Indonesia.

Dengan panjangnya garis pantai Kabupaten Banyuwangi ini, tersimpan berbagai fenomena baik berkaitan dengan perubahan iklim di masa lampau, gunungapi purba selatan jawa berumur 30 juta tahun, pembentukan ekosistem kars (kompleks batu gamping), surga bagi penyu dunia, peristiwa mitigasi tsunami berbasis kearifan lokal, serta kawasan ekosistem esensial mangrove sebagai penahan abrasi dan tsunami. Sebuah laboratorium alam yang lengkap yang layak dijadikan sebagai pusat riset dan edukasi berskala dunia.

Pantai Teluk Hijau
Pantai yang warna hijaunya berasal dari batuan dengan dominasi mineral klorit. / Foto: Abdillah Baraas

Menurut laporan Panel antar Pemerintah Tentang Perubahan Iklim (IPCC) tahun 2021, pemanasan global saat ini telah mengalami kenaikan sebesar 1,1°C sejak 1850 dan diperkirakan akan mencapai 1,5°C dalam 20 tahun ke depan.

Dampak pemanasan global tersebut menyebabkan kerugian ekonomi yang besar di berbagai sektor seperti pertanian, perikanan, pariwisata, dan kesehatan.

Laut adalah salah satu perekam perubahan iklim yang notabene hal ini merupakan sebuah siklus yang akan terus terulang entah pada masa lampau, saat kita hidup atau cucu-cucu kita di kemudian hari.

Foraminifera atau dikenal foram merupakan organisme bersel satu dari kelompok Protista yang memiliki cangkang untuk melindungi bagian tubuh lunaknya. Foram ditemukan di semua kolom air laut dari bagian intertidal hingga laut dalam dan dari lautan tropis hingga lautan di wilayah kutub.

Foram sangat melimpah sebagai fosil sejak 540 juta tahun lalu sehingga menjadi salah satu organisme tertua sebagai perekam yang baik mengenai perubahan iklim.  Berkaitan dengan hal ini, Banyuwangi memiliki pantai yang dihuni oleh fosil foraminifera sclhumbergerella floreciana, pantai itu bernama Pantai Parangireng yang terletak di Taman Nasional Alas Purwo.

Di pantai ini terhampar jutaan butir fosil foraminifera tersebut. Organisme ini merekam informasi suhu laut pada saat perkembangannya sehingga pada saat organisme ini mati dan terkubur di dalam sedimen laut, maka rekaman suhu dalam foraminifera tersebut tetap tersimpan di dalam sedimen laut.

Pantai ini merupakan situs geologi dari Geopark Ijen yang sudah menjadi pusat edukasi anak-anak sekolah, kalangan umum maupun perguruan tinggi dari berbagai daerah yang melakukan berbagai riset yang berkelanjutan.

Pantai dengan hamparan jutaan fosil foraminifera. / Foto: Abdillah Baraas

Laboratorium alam yang terletak pada laut Banyuwangi selanjutnya adalah adanya jejak gunungapi purba berumur 30 juta tahun, atau lebih kenal gunungapi purba selatan jawa.

Posisi Banyuwangi yang terletak pada dua lempeng aktif yaitu Indoaustralia dan Eurasia yang pertemuannya ada pada samudera lepas Hindia. Pertemuan dua lempeng ini menyebabkan adanya magma yang dihasilkan dari gesekan antar lempeng tersebut yang kemudian membentuk jajaran gunungapi mulai dari Pantai Sukamade hingga Pantai Plengkung.

Sekarang gunungapi itu telah tiada, tidak terlihat bentuk aslinya, namun jejak letusannya jelas tersingkap di sepanjang pantai selatan Banyuwangi.

Pantai Sukamade yang pasirnya berasal dari erosi Gunung Betiri, Teluk Ijo yang warna hijaunya berasal dari batuan di bawahnya yang banyak mengandung mineral klorit (hijau), Pantai Wedi Ireng yang dihiasi oleh lava berbentuk tiang atau dinamakan keka kolom, Pantai Pulau Merah yang merupakan laboratorium mineralisasi emas dan tembaga, Pantai Grajagan yang merupakan bukti lava yang mendingin hingga membentuk banyak rongga di permukaannya dan juga yang tak kalah menarik adanya gunungapi bawah laut yang menghasilkan lava bantal yang berada di Pantai Parangireng.

Dari banyaknya singkapan ini membuktikan bahwa laut selatan Banyuwangi sangatlah kaya akan peristiwa geologi dan menjadi tempat riset geologi kelautan yang komprehensif dan juga menjadi tempat geowisata yang tidak ada habisnya untuk dieksplorasi.

Pantai selatan dengan hamparan jejak lava gunungapi. / Foto: Abdillah Baraas 

Ketika gunungapi mati sekitar 5 juta tahun yang lalu, tumbuh terumbu karang dengan nyaman tanpa gangguan erupsi gunungapi. Sebagai mahluk hidup, terumbu karang juga mengalami kematian. Setelah mati,mereka menjadi butiran-butiran dan bercampur dengan fosil-fosil hewan kecil khas laut dangkal dan menjadi padatan hingga menjadi batu gamping.

Pantai Pulau Merah yang merupakan pusat erupsi gunungapi purba. / Foto: Abdillah Baraas 

Dengan adanya tumbukan lempeng dengan kecepatan 5-7cm pertahun, perlahan demi perlahan laut dangkal yang didasari oleh batu gamping itu kemudian terangkat dan berubah menjadi teras pantai hingga menjadi bukit- bukit yang ada di sepanjang pantai selatan.

Tak ayal bahwa Banyuwangi memiliki komplek kars terbesar keempat di Jawa Timur yang merekam peristiwa perubahan iklim serta kejadian naik turunnya muka air laut pada masa lampau.

Bukit gamping jejak laut dangkal yang terangkat. / Foto: Abdillah Baraas 

Tak hanya itu, fauna endemik di pantai selatan Banyuwangi juga tak kalah menarik, yaitu adanya 4 jenis penyu langka dari tujuh jenis penyu dunia. Setelah menelusuri panjangnya garis pantai di Banyuwangi, akhirnya penyu- penyu itu memilih Pantai Sukamade menjadi tempat tinggalnya.

Pantai ini merupakan salah satu bagian dari Taman Nasional Meru Betiri dan zona pemanfaatan intensif untuk pengamatan telur penyu dan pelepasan tukik. Selama ribuan tahun, pantai ini dijadikan tempat bertelurnya penyu-penyu raksasa dari kawasan Samudera Indonesia dan Pasifik.

Di dunia saat ini ada 7 spesies penyu yaitu Penyu Belimbing (Dermochelys coriacea), Penyu Slengkrah (Lepidochelys olivacea), Penyu Hijau (Chelonia mydas), Penyu Tempayan (Caretta caretta), Penyu Pipih (Narator depressus), dan Penyu Sisik (Eretmochelys imbricate). Empat jenis di antaranya pernah bertelur di Pantai Sukamade, yaitu Penyu Belimbing, Slengkrah, Sisik, dan Hijau.

Hal ini tidak lain akibat adanya erosi gunungapi purba yang pernah ada di selatan kemudian menjadi pasir yang terbawa sungai hingga menjadikan pasir di sepanjang ini tebal dan nyaman sebagai tempat bertelurnya penyu-penyu. Insting hewan tak pernah salah, mereka bisa memilih tempat yang ideal bagi tumbuh kembang mereka.

Ilustrasi seekor anakan penyu. / Foto: Jody Amiet / Greenpeace

Tak lengkap apabila kita hanya berbicara keindahan alam dari pantai Banyuwangi saja, padahal pantai di Banyuwangi juga sangat berbahaya dengan potensi abrasi dan tsunaminya. Terkait hal ini ada mitigasi berbasis kearifan lokal yang luar biasa namun banyak dipresepsikan berbeda oleh orang-orang saat ini.

Kearifan lokal yang dimaksud adalah legenda Nyi Roro Kidul. Legenda ini berkembang di laut selatan tak terkecuali di laut Banyuwangi yang juga terdapat singgasananya yaitu Pantai Parangkursi.

Selama ini kita menganggap Nyi Roro Kidul adalah hal mistis yang harus kita sembah dan dipuja dengan mengirimkan sajen. Ternyata hal itu salah besar, hal ini terkuak atas penelitian dari LIPI yaitu Eko Yulianto.

Ternyata Nyi Roro Kidul adalah salah satu mitigasi gelombang tsunami dan berbahayanya ombak selatan akibat adanya rip current. Legenda ini bentuk respon orang jaman dahulu kala untuk memitigasi kejadian alam dahsyat yaitu tsunami pada tahun 1600an.

Hal seperti ini lebih mudah diterima oleh orang zaman dahulu daripada bahasa ilmiah cendekiawan pada masa itu. Hal ini tergambar pada beberapa cerita bahwa ada ular besar seperti naga yang mengikuti Nyi Roro Kidul. Ternyata ular itu adalah perumpamaan ombak besar akibat tsunami hebat di kala itu.

Sungguh cara edukasi yang sangat baik di kala itu, namun sayangnya hal ini terputus akibat penghilangan jejak sehingga pada saat sekolah kita tidak pernah mendapatkan ilmu ini.

Dengan mengumpulkan dan mempelajari pengetahuan tradisional, diharapkan membantu analisis kejadian tsunami di masa lalu. Mengetahui tsunami masa lalu, katanya, akan membantu masyarakat sekitar untuk bereaksi secara tepat ketika menghadapi bencana serupa pada masa datang.

Sumber gambar: dongengceritarakyat.com

Sungguh laut di Kabupaten Banyuwangi menyimpan berbagai fenomena yang lengkap dari peristiwa geologi kelautan, perubahan iklim, flora- fauna, kawasan kars (batugamping), dan juga mitigasi bencana tsunami berbasis kearifan lokal.

Hal ini merupakan sebuah kekayaan alam laut yang sangat penting yang menjadi kebanggaan Indonesia yang sangat layak menjadi laboratorium alam yang dinamis dan wajib diketahui generasi saat ini.

Tak heran apabila dari laut ini sangat banyak riset yang terlahir dan banyaknya kunjungan edukasi yang berjalan. Harapannya wilayah ini tetap lestari di tangan kita, kita meminjam alam ini kepada anak cucu kita, maka dari itu anak cucu kita minimal bisa merasakan hal yang sama dengan kita, lebih-lebih bisa menemui alam ini dengan kondisi yang lebih baik dari kita.***

Baca juga: Mitos Aul: Kisah Manusia Berkepala Serigala yang Pernah Menjadi Penjaga Hutan dan Mata Air

Editor: J. F. Sofyan

Artikel Terkait

Tanggapan