Gurita di Pulau Pasi, Asa Pulau Kecil di Selatan Sulawesi
Pulau Pasi, sebuah gugusan pulau-pulau kecil di Kabupaten Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan. Pulau ini barangkali jarang kita dengar atau bahkan tidak pernah sekalipun.
Ya, saking banyaknya pulau-pulau kecil Indonesia sehingga wajar bila namanya tenggelam di antara pulau-pulau lainnya. Sekalipun jarang dibincangkan, namun nyatanya Pulau Pasi memiliki inisiatif berkelanjutan oleh masyarakatnya dalam pengelolaan sumber daya laut.
14 Jam Perjalanan
Pada Juni 2023, atau tepat setahun yang lalu saya bersama bersama beberapa kawan berkunjung ke Pulau Pasi. Berangkat malam dari Makassar dengan menggunakan sepeda motor menuju Pelabuhan Bira, Kabupaten Bulukumba.
Dari sana kami melanjutkan perjalanan dengan menggunakan kapal feri sekitar 3 jam menuju pusat Kabupaten Kepulauan Selayar, Benteng sekitar pukul 06.00. Lalu tidak jauh dari sana, kami menyimpan motor untuk melanjutkan perjalanan menggunakan jolloro’ menuju Pulau Pasi.
Total perjalanan kurang lebih memakan waktu 14 jam lamanya! Cukup melelahkan, namun semua kelelahan itu terbayarkan dengan suasana alam Pulau Pasi yang memiliki pasir putih yang sangat bersih dengan lautnya yang kebiruan
Namun tujuan kami sebenarnya adalah bertemu dengan masyarakat di Pulau Pasi khususnya di Desa Kahu-Kahu. Masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan menerapkan sistem buka tutup gurita.
Inisiatif baru yang diterapkan oleh nelayan Desa Kahu-Kahu. Sistem ini merupakan contoh pertama masyarakat Pulau Pasi dalam mengelola sumber daya lautnya.
Sama halnya dengan sistem buka tutup gurita yang diterapkan di beberapa wilayah pesisir dan pulau kecil, nelayan berinisiatif membuat area tangkap yang ditutup sementara selama kurang lebih selama 3 hingga 4 bulan.
Saya menemui kelompok nelayan yang menerapkan sistem tersebut. Menurutnya, buka tutup gurita menjadi hal asing saat pertama kali diperkenalkan. Nelayan hanya terus menangkap hasil laut tanpa pembatasan area tertentu yang dilarang menangkap.
Sayangnya, hasil tangkapan dalam beberapa tahun ke belakang sudah sangat berubah drastis. Para nelayan yang utamanya menangkap gurita mengaku kesulitan untuk mendapatkan gurita di sekitar wilayah Pulau Pasi.
Gurita menjadi tangkapan dominan bagi nelayan di daerah tersebut. Selain dulunya populasi gurita banyak, harganya yang tinggi di pasar membuat nelayan menjadikannya sebagai tangkapan utama.
Nelayan lantas harus mengeluarkan ongkos yang lebih besar untuk menangkap ke area yang lebih jauh. Namun miris, hasil tangkapan juga tidak sesuai dengan pengeluaran nelayan.
Berdiskusi lebih jauh, saya mendapatkan fakta jika penangkapan secara berlebih yang tidak hanya nelayan lokal namun juga nelayan dari daerah lain menyebabkan stok gurita yang menurun tajam.
Selain itu, terumbu karang yang mati akibat penangkapan yang tidak ramah lingkungan juga menyebabkan hilangnya rumah bagi perkembangbiakan gurita.
Laut Sehat, Nelayan Bahagia
Nelayan awalnya pesimis dapat menerapkan sistem buka tutup gurita di Pulau Pasi. Namun setelah mendapatkan penjelasan yang berkelanjutan dari Yayasan LINI, akhirnya nelayan mencoba untuk menutup 1 area tangkapan seluas 6 hektar yang dimulai pada tahun 2022.
Area penutupan tersebut kemudian ditambahkan lagi yang berada di barat Pulau Pasi atau tepatnya di Pantai Jeneiya. Luasan area tutupan mencapai 42 hektar. Dampak dari penerapan sistem buka tutup gurita memberikan hasil yang positif. Sebelum penerapannya, nelayan hanya mendapatkan rerata 2 kg gurita.
Namun setelah lokasi area penangkapan ditutup selama 4 bulan, rerata setiap nelayan berhasil mendapatkan 3,7 kg. Bagi nelayan, peningkatan hasil tangkapan ini menjadi angin segar setelah tahun-tahun sebelumnya hasil tangkapan kurang memuaskan.
Bahkan pada pembukaan yang kedua di bulan desember tahun 2023 setelah ditutup selama 3 bulan, terjadi lagi peningkatan hasil tangkapan gurita. Data yang dirilis oleh Yayasan LINI, nelayan berhasil mendapatkan rerata 4,3 kg hasil tangkapan.
Artinya terjadi peningkatan hasil tangkapan dari dua contoh buka tutup yang telah diterapkan oleh nelayan di Desa Kahu-Kahu. Nelayan menginisiasi pengawasan secara berkala untuk menjaga menjaga area buka tutup.
Keterlibatan dari pihak keamanan dan dukungan pemerintah setempat semakin menguatkan nelayan untuk terus mempertahankan sistem buka tutup ini.
Hasil tangkapan yang berangsur meningkat juga dapat dilihat dari kondisi laut yang terjaga. Penutupan sementara yang dilakukan terbukti memulihkan kondisi laut di sebelah barat Pulau Pasi.
Terumbu karang dan padang lamun yang menjadi ekosistem penting menyediakan rumah dan nutrisi yang dibutuhkan oleh gurita untuk berkembang.
Bukan hanya gurita yang berkembang, pemantauan yang dilakukan oleh nelayan dan Yayasan LINI mencatat kondisi terumbu karang berada dalam kategori sangat baik dan sedang. Selain itu terdapat 37 jenis ikan karang serta beberapa jenis megabenthos.
Setahun pasca kunjungan yang saya lakukan bersama beberapa kawan nelayan di Desa Kahu-Kahu, Pulau Pasi masih konsisten untuk menerapkan sistem buka tutup gurita. Manfaat yang mereka dapatkan sungguh nyata, ekonominya didapatkan namun juga manfaat secara ekologi juga mengikut.
Sistem buka tutup gurita di Desa Kahu-Kahu menjadi bukti bahwa inisiatif masyarakat di pulau kecil mampu membuat sistem berkelanjutan secara ekonomi dan ekologi.
Inisiatif ini menjadi satu dari banyak daerah yang telah menerapkannya. Perlindungan dari segi aturan harus dilakukan mulai dari pusat hingga daerah. Selain itu peningkatan kapasitas bagi nelayan penting untuk menguatkan inisiatif yang telah dilakukan.
Semoga pengelolaan berkelanjutan ekosistem laut terus digalakkan di banyak daerah di Indonesia!***
Tanggapan