Invasi Sampah Plastik
Pertama kali tayang terbatas di beberapa bioskop Indonesia pada hari Bumi 22 April 2021, film Pulau Plastik disambut antusias oleh berbagai kalangan. Meskipun informasi tentang bahaya plastik sekali pakai telah beredar dimana-mana, akan tetapi penonton tetap dibuat tercengang oleh fakta-fakta pada film dokumenter yang dipandu oleh Robi Navicula tersebut.
Semenjak diberlakukannya larangan penggunaan kantong plastik sekali pakai di berbagai daerah seperti Bali, Kota Bogor, Banjarmasin, Balikpapan hingga Jakarta, mulai muncul kantong-kantong menyerupai plastik yang dianggap ramah Lingkungan.
Namun faktanya, kantong yang diklaim ramah lingkungan tersebut masih mengandung bahan baku bijih plastik sintetis. Hal ini justru mempercepat perubahan dari plastik berukuran besar menjadi mikroplastik yang mencemari lingkungan secara tak kasat mata.
Dilema Greenwashing
Mikroplastik merupakan potongan plastik yang memiliki ukuran kurang dari 5 mm. Mengingat ukurannya yang sangat kecil, mikroplastik berpotensi mengkontaminasi biota perairan hingga masuk ke dalam rantai makanan. Ketika mikroplastik telah masuk ke rantai makanan, maka mikroplastik dapat dengan mudah masuk ke tubuh manusia.
Sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Ecoton (Ecological Observation and Wetlands Conservation), dari 100 sampel feses manusia di Jawa dan Bali seluruhnya positif mengandung mikroplastik.
Meskipun demikian, perhatian masyarakat terhadap mikroplastik masih sangat minim. Imbauan untuk mengurangi penggunaan plastik sekali pakai pun belum diindahkan, terlebih lagi banyak produk-produk plastik yang diklaim ramah lingkungan.
… banyak produk-produk plastik yang diklaim ramah lingkungan.
Saat ini di pasaran beredar berbagai jenis plastik yang mendapat klaim sebagai plastik ramah lingkungan. Jenis plastik yang paling banyak digunakan oleh ritel adalah jenis plastik oxium. Padahal, plastik oxium merupakan plastik konvensional yang ditambahkan aditif katalis (oksida logam, kobalt atau besi) yang memudahkan fragmentasi material plastik dengan syarat pada kondisi mendapatkan radiasi sinar UV dan paparan panas. Jenis plastik ini pun akan lebih berbahaya karena perubahannya menjadi mikroplastik menjadi lebih cepat (2 tahun).
Selain plastik oxium, jenis plastik yang diklaim ramah lingkungan adalah plastik yang berbahan dasar singkong. Padahal apabila ditelaah kembali, plastik berbahan dasar pati singkong yang beredar di pasaran masih menggunakan campuran bijih plastik sintetis. Jadi dalam hal ini tidak ada plastik sekali pakai yang benar-benar ramah lingkungan.
Tidak ada plastik sekali pakai yang benar-benar ramah lingkungan.
Mengancam Satwa Liar
Sebelum Film Pulau Plastik, film dokumenter yang diluncurkan netflix telah lebih dulu meramaikan jagat dunia maya yaitu ‘Seaspiracy’. Menyoroti persoalan plastik dan kepunahan biota laut, film Seaspiracy banyak mengkritik tentang banyaknya Lembaga Swadaya Masyarakat yang lebih banyak menyoroti penggunaan sedotan dan tas kresek dibandingkan jaring penangkap ikan.
Sebagian orang merasa dilema akan hal tersebut dan kepedulian untuk tidak menggunakan plastik sekali pakai pun menjadi berkurang. Hal ini disebabkan, setelah menonton Seaspiracy, masyarakat merasa bahwa mereka tidak lebih berdosa dibandingkan para penangkap ikan yang membiarkan jaringnya dibuang ke laut dan membunuh banyak biota.
Padahal semua sampah plastik yang terbuang ke lingkungan dapat membahayakan seluruh kehidupan yang ada di rantai makanan baik manusia maupun binatang. Berdasarkan ukurannya, plastik dapat dibedakan menjadi megaplastik (> 50 mm), makroplastik (> 25 mm), mesoplastik (5 – 25 mm), mikroplastik (< 5 mm) dan nanoplastik (< 1 mikrometer). Seluruh ukuran plastik tersebut mengancam semua aspek kehidupan ketika terbuang ke lingkungan.
Sebagian yang berukuran besar dapat menjerat biota hingga membunuhnya, sekaligus dapat termakan oleh biota. Sedangkan yang berukuran kecil dapat masuk ke dalam tubuh manusia baik melalui rantai makanan. Keduanya sama-sama membunuh secara cepat maupun perlahan.
Ancaman plastik terhadap satwa liar tidak hanya terjadi pada biota yang hidup di bawah perairan. Sampah plastik juga telah mengancam habitat satwa di berbagai wilayah termasuk di Hutan Lindung Angke Kapuk, Jakarta Utara. Kawasan ini merupakan salah satu wilayah bagi burung migran untuk bertahan hidup ketika migrasi ke Indonesia untuk menghindari cuaca dingin.
Namun ternyata di Indonesia burung-burung tersebut mendapat ancaman serius dengan hilangnyhttps://koran.tempo.co/read/metro/464681/spesies-burung-di-jakarta-terus-berkuranga habitat dan rusaknya habitat akibat sampah plastik. Tidak jarang sampah plastik yang mengotori wilayah tersebut termakan oleh burung. Hal ini tentu saja mengancam keberadaan populasi burung.
Sebagai negara dengan keanekaragaman hayati tertinggi kedua setelah Brazil, seharusnya hal ini menjadi perhatian serius. Seluruh pemangku kebijakan diharapkan dapat bersinergi untuk mengatasi permasalahan sampah plastik sejak dari hulu.
Terlebih bagi produsen berbagai produk yang menghasilkan sampah plastik, memberikan pilihan kepada konsumen dengan menyediakan fasilitas isi ulang dapat menjadi pilihan. Apalagi berdasarkan UU No. 18 Tahun 2008 Pasal 15 disebutkan bahwa “Produsen wajib mengelola kemasan dan/atau barang yang diproduksinya yang tidak dapat atau sulit terurai oleh proses alam”.
Karena pada dasarnya, masyarakat akan menyesuaikan dengan kondisi pasar yang dibentuk oleh pemangku kepentingan. Disamping itu, partisipasi masyarakat untuk lebih bijak dalam penggunaan plastik sekali pakai sangat dibutuhkan sehingga diperlukan lebih banyak regulasi yang tepat dan edukasi untuk menumbuhkan awareness tersebut.
Editor : Annisa Dian Ndari
Tanggapan