Bagaimana Mengatasi Sampah Plastik di Laut? Simak Cara-cara Ini!

Sampah plastik masih menjadi isu lingkungan yang sangat pelik, baik secara global maupun nasional. Laporan Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP) menyebutkan bahwa ada lebih dari 300 juta ton plastik yang diproduksi setiap tahunnya dan setengahnya digunakan untuk membuat barang sekali pakai seperti kantong, gelas, dan sedotan plastik. 

Dari sembilan miliar ton plastik yang pernah diproduksi di dunia, hanya sembilan persen yang sudah didaur ulang. Sisanya, berakhir di tempat pembuangan sampah atau lingkungan (baik daratan maupun lautan). Sementara itu, sampah plastik sudah mencapai 80 persen dari seluruh sampah di lautan.

Di Indonesia, sampah plastik tidak hanya ditemukan di daratan, tapi juga sudah merambah ke wilayah laut yang luasnya mencapai dua pertiga total luas wilayah Indonesia.

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) melaporkan ada sekitar 1,29 juta ton sampah yang dibuang ke sungai dan bermuara di lautan setiap tahunnya. Dari jumlah tersebut, sebanyak 13.000 plastik ditemukan mengapung di setiap kilometer persegi permukaan air laut. Hmm, tidak heran kalau Indonesia menjadi negara kedua di dunia, setelah China, dengan produksi sampah plastik terbanyak di lautan.

Ancaman Sampah Plastik di Laut

Selama 11 tahun, jumlah sampah plastik di Indonesia naik dua kali lipat dengan kemasan dan bungkus makanan atau minuman sebagai penyumbang sampah plastik terbanyak. Sampah ini diperkirakan akan terus bertambah sampai 12 miliar ton pada 2050

Kalau tidak dikelola dengan baik, sampah plastik yang berasal dari darat ini akan bermuara ke laut dan menyebabkan ekosistem laut terganggu. Secara global, diperkirakan lebih dari 100 juta hewan laut mati akibat sampah plastik setiap tahunnya, seperti penyu, paus, kura-kura, penguin, ikan, anjing laut, berang-berang, dan burung, beberapa diantaranya adalah spesies yang dilindungi

Bukan cuma membunuh  satwa laut, sampah plastik juga telah memasuki rantai makanan. Plastik tidak dapat terurai dan berubah bentuk serta ukuran menjadi super kecil atau biasa disebut sebagai mikroplastik, bisa dengan mudahnya tertelan oleh hewan laut. Nah, jika hewan laut tersebut dikonsumsi oleh manusia, maka kandungan berbahaya mikroplastik di dalamnya pun akan ikut masuk ke dalam saluran pencernaan manusia dan memicu berbagai macam gangguan kesehatan.

Apa yang Bisa Kita Lakukan untuk Mengatasinya?

  • Berhenti Menggunakan Plastik Sekali Pakai

Untuk mengatasi sampah plastik, kita bisa mulai dari diri sendiri. Salah satunya dengan menerapkan gaya hidup #PantangPlastik atau menghindari penggunaan plastik sekali pakai dalam kehidupan sehari-hari. Beberapa jenis plastik paling sering digunakan yang bisa kita hindari antara lain adalah botol plastik, kantong plastik, sedotan plastik, dan wadah makanan berbahan plastik atau styrofoam.

  • Lakukan Audit Merek

Pada November 2020, pemerintah menyatakan bahwa upaya kerja sama dengan pihak swasta dalam mengatasi sampah plastik juga telah dilakukan dengan membentuk Organisasi Pengelolaan Sampah Plastik (Plastic Recovery Organization/PRO) yang melibatkan enam perusahaan berikut.

  1. Coca Cola Indonesia 
  2. Danone Indonesia
  3. PT Indofood Makmur Tbk.
  4. PT Nestlé Indonesia
  5. PT Tetra Pak Indonesia
  6. PT Unilever Indonesia Tbk. 

Sayangnya, upaya dari masing-masing perusahaan belum terlihat maksimal. Misalnya, langkah Coca-Cola dalam membangun fasilitas daur ulang untuk menghasilkan polyethylene terephthalate (PET) tidak sejalan dengan visi global Coca-Cola “world without waste”. Sebagai penyumbang sampah plastik terbesar ketiga di dunia selama 2018–2019, Coca-Cola seharusnya lebih memprioritaskan pengurangan pemakaian plastik sekali pakai daripada sekadar membangun fasilitas daur ulang.

Sementara itu, komitmen yang diambil PT Nestlé Indonesia dalam mengatasi krisis sampah plastik juga belum bisa dikatakan progresif karena masih berfokus pada daur ulang. Pada 2019, Nestlé Indonesia mengumumkan komitmen penggunaan sedotan kertas untuk produk minumannya. Pada 2020, perusahaan tersebut berkomitmen untuk mulai beralih dari plastik baru (virgin plastic) ke plastik daur ulang yang aman bagi produk pangan.

Alih-alih hanya berfokus pada sistem daur ulang, perusahaan-perusahaan tersebut seharusnya memberikan solusi nyata dengan menerapkan ekonomi sirkular melalui konsep isi ulang (refill) dan penggunaan kembali (reuse).

Untuk itu, kita sebagai masyarakat yang peduli terhadap isu krisis sampah ini dapat melakukan audit merek, yaitu mengumpulkan merek apa saja yang meninggalkan jejak sampah terbanyak di lingkungan kita dan mendesak perusahaan-perusahaan tersebut untuk bertanggung jawab atas pencemaran plastik mereka dengan cara berinovasi dan meninggalkan plastik sekali pakai. Temukan cara melakukan audit merek sendiri di sini.

Selain memasukkan agenda audit merek dalam kegiatan bersih-bersih di lingkungan sekitarmu, kamu juga bisa bergabung dengan #BreakFreeFromPlastic, yaitu gerakan global yang bertujuan untuk mewujudkan masa depan dunia yang bebas dari polusi sampah plastik

Desak Solusi Nyata dari Pemerintah

Larangan penggunaan plastik sekali pakai mulai menjadi solusi bagi pemerintah untuk mengatasi krisis sampah plastik di Indonesia. Per 1 Juli 2020, Pemprov DKI Jakarta telah melarang penggunaan kantong plastik. Sebelumnya, sudah ada enam kota di Indonesia yang menerapkan larangan tersebut, yaitu:

  • Banjarmasin (2016). Langkah Pemerintah Kota Banjarmasin dalam mengambil kebijakan pelarangan penggunaan kantong plastik yang tertuang dalam Perwali Nomor 18 Tahun 2016, kini sudah diikuti oleh beberapa kota dan kabupaten lainnya. Kebijakan ini juga bahkan menjadikan Banjarmasin sebagai kota pertama di Asia Pasifik yang memberlakukan larangan tersebut. Hasilnya, sampah plastik di Banjarmasin berkurang sebanyak 22 persen pada 2020.
  • Denpasar (2017). Asosiasi Industri Olefin, Aromatik, dan Plastik Indonesia (Inaplas) menyebutkan bahwa pengiriman produk plastik ke Bali turun sebanyak 30–40 persen sejak Januari hingga awal Juni 2019. Penurunan ini terjadi setelah Gubernur Bali menerbitkan Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 97 Tahun 2018 tentang Pembatasan Timbulan Sampah Plastik Sekali Pakai.
  • Balikpapan (2018). Pemerintah Kota Balikpapan telah memberlakukan larangan penggunaan plastik lewat Peraturan Wali Kota (Perwali) Nomor 8 Tahun 2018 tentang Pengurangan Penggunaan Kantong Plastik. Hasilnya, sampah plastik berkurang sebanyak 56 ton setiap bulannya.
  • Bogor (2018). Aturan terkait larangan penggunaan plastik di Kota Bogor tertuang dalam Perwali Kota Bogor Nomor 61 Tahun 2018 tentang Pengurangan Penggunaan Kantong Plastik yang berlaku secara resmi sejak 1 Desember 2018. Hasilnya, sampah plastik berkurang sebanyak 58 ton setiap bulannya.
  • Bekasi (2018). Banyaknya sampah plastik di Kota Bekasi juga menjadi perhatian pemerintah daerah setempat. Dalam sehari, kota ini bisa menghasilkan sampah plastik hingga 1.800 ton. Oleh karena itu, Pemerintah Bekasi mengeluarkan Perwali Kota Bekasi Nomor 61 Tahun 2018 tentang Pengurangan Penggunaan Kantong Plastik. Namun, hasilnya belum dapat dilaporkan.
  • Semarang (2019). Larangan penggunaan kantong plastik di Kota Semarang tertuang dalam Perwali Semarang Nomor 27 Tahun 2019 tentang Pengendalian Sampah Plastik yang diterbitkan pada Juni 2019. Sama seperti Kota Bekasi, belum ada laporan terkait hasil pemberlakuan larangan  tersebut.

Melihat dari banyaknya jumlah sampah yang berkurang karena larangan penggunaan plastik di keenam kota tersebut, kamu juga bisa lho mengajak pemerintah daerah untuk memberlakukan larangan penggunaan plastik sekali pakai di daerahmu. 

Saatnya #PantangPlastik untuk kehidupan yang lebih baik!

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Tanggapan