Urun Rembuk Isu Sampah Laut di Pesisir Selatan Madura

Sebanyak ratusan juta ton sampah laut dihasilkan di dunia setiap tahunnya. Informasi dan data empiris itu sudah sering disampaikan dalam berbagai seminar, konferensi, maupun sosialisasi pada masyarakat guna menunjukkan ancaman sampah pada kehidupan laut dan masyarakat pesisir pantai.

Sayangnya, seberapa sering pun penelitian dan data-data kuantitatif disajikan, tapi masyarakat tidak peduli. Masyarakat akar rumput, apalagi di desa-desa pesisir, lebih takut tidak bisa makan dan minum, sehingga eksploitasi laut lebih penting daripada menjaga keberlanjutan lautnya.

Perlu diketahui, berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2018 tentang Penanganan Sampah Laut, sampah laut (marine debris) adalah sampah yang berasal dari daratan, badan air, dan pesisir yang mengalir ke laut atau sampah yang berasal dari kegiatan di laut. Di antara komponen terbesar sampah laut adalah plastik (polimer).

Data-data sampah laut itu penting terutama guna menggambarkan kondisi sesungguhnya tentang besaran jumlah sampah laut. Tapi pernahkah kita (dibuat) fokus pada sumber masalah yang terjadi di tengah-tengah masyarakat?

Karenanya, meski sampah laut adalah isu global, penulis ingin membahasnya dalam konteks lokal, khususnya di wilayah pesisir selatan Madura, agar urai persoalan lebih spesifik dan jelas.

Barangkali data-data itu lebih cenderung dikonsumsi oleh kelas sosial menengah ke atas, katakanlah mereka yang menempuh pendidikan tinggi, minimal meningkatkan pengetahuan mereka. Tapi bagaimana dengan masyarakat kelas bawah?

Di desa-desa pesisir Madura, kalangan ini relatif banyak, bahkan sebagian buta aksara/literasi. Oleh mereka, data jumlah sampah laut bak angin lalu. Meski demikian, kenyataannya produksi sampah laut dilakukan oleh siapa pun, tak terkecuali kedua kalangan itu.

Sekedar informasi, penulis tinggal dan merupakan pribumi di salah satu desa pesisir selatan Madura, sehingga turut serta mengamati perilaku dan menggali paradigma masyarakat dalam memproduksi sampah di laut. Tulisan sederhana ini berfokus pada sudut pandang manusia dan perilaku manusia terhadap sampah laut.

Hasil temuan tidak bermaksud menyudutkan pihak siapa pun. Justru, penulis mengambil jarak dan menceritakannya sebagai wujud cinta pada lingkungan, terutama sebagai urun pikir pengembangan kampung halaman sendiri.

Sejauh pengamatan dan rekap cerita dari leluhur, permasalahan ini cenderung bermuara pada dua sumber: 1) mindset masyarakat; dan 2) ketidakhadiran tata kelola sampah yang baik. Masalah ini sudah ada sejak semasa hidup para tetua kami, namun di sebagian desa pesisir belum juga terpecahkan atau berakhir dengan aksi.

Pemandangan sampah yang berserak di pesisir pantai selatan Madura. Foto: Naufan Noodyanto, 2021

Mindset Masyarakat yang Menggerakkan Perilaku untuk Memproduksi Sampah Laut

Penulis pernah menanyakan bahkan menegur warga, mengapa mereka membuang sampah ke laut. Apa yang terjadi setelahnya? Aku, yang negur, (di)salah(kan). Sebagian ngotot bahwa laut memang tempat buang sampah.

Menurut mereka, laut itu luas, masa sih sampah tidak hilang dengan sendirinya? Maksud mereka sampah seperti fenomena alamiah/natural, meski lama tertumpuk, nanti tetap hilang (terurai) juga.

Ada pula jawaban mengelak, masa sih sampah itu tidak menyebar ke tempat/daerah/wilayah lain? Lalu harapan mereka orang-orang di wilayah itu akan memungut atau mengelolanya. Ketika disodorkan data tentang jumlah sampah di lautan, mereka bertahan dengan alasan: “laut itu luas” dan merupakan “area kosong” dari lingkungan manusia, sehingga “bisa diisi sampah”.

Ini, menurut penulis, seperti konsep horror vacui atau kenophobia dalam persepsi visual (psikologi seni rupa), yaitu hasrat ingin mengisi ruang kosong (entire surface of a space) dengan detail. Ruang kosong, dalam hal ini, adalah laut, sementara isian detailnya adalah sampah.

Pun jika ada sampah di tempat lain, menurut mereka, berarti orang-orang di tempat lain juga berpandangan sama dengan mereka, yaitu “laut adalah tempat membuang sampah”. Tindak laku salah dari orang lain justru menjadi cermin bagi mereka untuk mencari pembenaran.

Ini juga didukung pandangan mentradisi/turun temurun, baik bagi penduduk setempat maupun penduduk luar desa yang turut “mengirim” sampah ke laut. Temuan pelbagai penelitian bahwa ikan-ikan atau organisme laut lainnya memakan (mikro)plastik atau sampah lainnya juga berusaha ditepis masyarakat.

Mereka beralasan bahwa masyarakat baik-baik saja sejak dahulu, sejak generasi leluhurnya hidup, sampai sekarang, meski mengonsumsi ikan yang konon dikabarkan begini dan begitu karena terdampak sampah laut. Ini semakin menguatkan keyakinan masyarakat bahwa sampah laut bukan masalah bagi mereka, asal bisa makan, atau dapat penghasilan dari perdagangan komoditi laut.

Bayangkan apa yang terjadi jika semua orang berpandangan demikian? Kondisi laut (pesisir) terkini saja tampak horor, bagaimana kelak di kemudian hari jika tidak ada penanganan?

Tumpukan sampah dan kondisi air laut di pemukiman pesisir pantai selatan Madura. Foto: Naufan Noodyanto, 2021

Kondisi eksisting, pesisir laut selatan Madura dipenuhi tumpukan sampah, mulai dari popok bayi sekali pakai, bungkus plastik, bungkus camilan, ranting kayu, ban bekas, plastik kresek, botol air mineral, kain jahitan, kaleng minuman, baju bekas, kantong plastik, tali rafia, tali tampar perahu, puntung rokok, ban bekas, dan sebagainya.

Sebagian dari sampah-sampah itu menggelantung bak kuntilanak di pohon-pohon mangrove. Air laut sekitarnya pun menghitam, ditambah bau menyengat. Padahal industri produk laut dari desa-desa di pesisir pantai selatan ini sangat luar biasa potensial sebagai penunjang perekonomian Madura.

Kondisi air laut di area tempat pembuangan sampah di pesisir pantai selatan Madura. Foto: Naufan Noodyanto, 2021

Tapi apakah masyarakat sekitar pantai panik? Tidak sadarkah jika suatu waktu berimbas pada bisnis/industri laut mereka kelak? Penulis jumpai mereka tampak santuy, seolah tak ada apa-apa. Barangkali mereka tidak/belum merasa terdampak langsung bahaya sampah laut, baik mengancam kesehatan manusia (sampah masuk ke rantai makanan), akumulasi dan dispersi racun, atau perubahan dan pencemaran lingkungan.

Seperti yang dikampanyekan dalam iklan-iklan layanan masyarakat oleh pemerintah pusat maupun lembaga swadaya masyarakat (LSM/NGO). Bahkan sampah dari rumah tangga terus dibuang di sana setiap harinya. Bukti di depan mata saja tidak mempengaruhi mereka, apalagi data-data angka sampah laut yang berpotensi membahayakan eksistensi mereka.

Apalagi sampai-sampai memikirkan ekosistem biota laut, lingkungan sendiri saja cenderung tidak terlalu diurus. Jangankan sampah di laut, sampah di sekitar lingkungan (darat) mereka saja kadang-kadang tidak mereka pungut.

Hanya karena bukan sampah yang diproduksinya sendiri, ia dibiarkan. Begitu berulang, sehingga sampah itu berakhir terbuang ke laut, baik “terbang” dengan sendirinya atau dibuang secara sengaja oleh orang lain.

Hamparan sampah di antara kapal-kapal nelayan yang berlabuh di pesisir pantai selatan Madura. Foto: Naufan Noodyanto, 2021

Lemahnya Tata Kelola Sampah yang Baik

Di samping soal mindset masyarakat, kadang-kadang di sebagian desa pesisir selatan Madura tidak memiliki tata kelola sampah yang baik, di antaranya:

1) Tidak ada aturan tegas atau larangan buang sampah yang disepakati oleh perangkat desa dan warga setempat;

2) Tidak adanya Tempat Pembuangan Akhir (TPA) terdekat atau Tempat Penampungan Sementara (TPS);

3) Tidak adanya aksi pengelolaan dan pengolahan (recycle) sampah.

Meski regulasi terkait sampah laut sudah diatur dalam Undang-Undang, Peraturan Presiden dan Pemerintah, tidak adanya aturan bersama dalam tataran lokal (kelembagaan adat), pengawasan, serta penegakan hukum, membuat masyarakat tetap meneruskan “tradisi” membuang sampah ke laut.

Ini karena tindak laku tersebut tidak dianggap ilegal, dan sebagaimana dipaparkan di muka, dianggap kebiasaan turun-temurun. Kebiasaan membuang sampah ke laut turut terpaksa dibentuk akibat tiadanya TPS legal/khusus atau jauhnya lokasi TPA dari lingkungan masyarakat setempat.

Masyarakat menjadi malas untuk membuang sampah ke TPA, sehingga ditumpuk di laut. Kampanye tidak buang sampah ke laut pun dirasa tiada guna, tidak mengarahkan kemana sampah dibuang, sebab prasarana (TPS di pemukiman warga) tak ada.

Senyampang dengan itu, tidak adanya sistem pengelolaan, meliputi distribusi (pengangkutan), pengendalian, penanganan, bahkan pengolahan (recycling) sampah, membuat kampanye atau imbauan/sosialisasi “jangan buang sampah ke laut” di tengah-tengah masyarakat (dengan mindset yang diceritakan di atas) hanya jadi celoteh semata, tak berdampak, zero action.

Selagi tidak dikelola dan diolah dengan baik, sampah akan (terus) menumpuk. Ini berkaitan dengan pentingnya pengorganisasian masyarakat, terutama oleh pemerintah desa, untuk melakukan apa dan bagaimana dalam mendukung terciptanya desa pesisir laut yang bersih dari sampah dan sedikit demi sedikit menghapus citra pemukiman pesisir yang (senantiasa) kumuh.

URUN INISIATIF USULAN AKSI

Berpijak dari persoalan di atas, isu sampah laut merupakan persoalan paradigma dan perilaku masyarakat, maka pendekatan sosial-budaya barangkali penting untuk (terus) dilakukan. Aksinya adalah proses belajar (penanganan) panjang guna mengubah mindset dan kebiasaan masyarakat.

Secara garis besar, upaya strategis penanganan masalah sampah laut di desa-desa pesisir pantai selatan Madura sekurang-kurangnya dapat dilakukan dengan berfokus pada dua hal: 1) program berkelanjutan, inisiasi pemerintah desa maupun rakyat (warga); dan 2) kampanye, secara konvensional dan digital.

Hamparan sampah di antara kapal-kapal nelayan yang berlabuh di pesisir pantai selatan Madura. Foto: Naufan Noodyanto, 2021

Program Berkelanjutan Penanganan Sampah Laut sebagai Prioritas

Pemerintah desa-desa di pesisir pantai mesti menjadikan program berkelanjutan penanganan sampah laut menjadi prioritas utama.

Pemerintah desa baiknya (sering) melakukan atau menggaet mitra penelitian dan pengembangan masalah sampah laut di wilayah administratifnya.

Kemitraan penelitian bisa dijalin dengan perguruan tinggi, perusahaan yang biasanya memiliki program Corporate Social Responsibility (CSR), NGO bereputasi, seperti Greenpeace, yang menghimpun relawan, aktivis, dan suporter lingkungan, yang di antaranya menjadikan pengembangan (lingkungan) desa sebagai fokus kajiannya.

Hasil penelitian ini penting guna memetakan kondisi riil dan komprehensif masalah sampah laut di desa yang dimaksud. Dengannya dapat dikembangkan solusi pemecahannya dalam wujud kebijakan strategis sebagai dasar implementasi (teknis), terutama untuk mengakomodasi kepentingan kesejahteraan masyarakat (antroposentris) dan menjaga keberlangsungan kehidupan laut (mengakomodasi ekologis).

Begitu pula, jika ada pengajuan program Kuliah Kerja Nyata (KKN) mahasiswa, baiknya pemerintah desa menawarkan kesepakatan program penanganan sampah laut sebagai proyek utama, disesuaikan dengan kompetensi mahasiswa.

Daripada, selama yang penulis tahu, sejak dahulu, mahasiswa yang tengah menjalani KKN di desa (sini) hanya membuat papan nama jalan desa, yang kadang tidak relevan dengan program desa maupun kompetensi mahasiswa yang bersangkutan.

Selanjutnya, dalam rangka mengatur masyarakat agar turut menjaga kebersihan laut, pemerintah desa perlu melakukan penguatan kelembagaan, pengawasan, serta penegakan hukum yang tegas. Menghadapi (sebagian) masyarakat yang ngotot, pemerintah desa dapat melibatkan pemangku adat (jika ada) atau bermitra dengan aparat hukum, namun tetap mengedepankan sikap-sikap tradisional yang kekeluargaan, humanis, dan berkelanjutan (rutin).

Sesuai masalah di atas, pengadaan sarana dan prasarana sampah juga diperlukan. Pemerintah desa diantaranya perlu membangun fasilitas TPS atau pusat daur ulang sehingga masyarakat tidak membuangnya ke laut. Di samping itu, aktivasi distribusi sampah dari TPS di desa ke TPA, misal melalui penyediaan mobil truk angkut sampah.

Fasilitas ini belakangan juga telah dimulai dan dirasakan manfaatnya. Setidaknya, ini membantu mengurangi sampah rumah tangga harian. Di kabupaten Pamekasan, Madura, misalnya, ini diinisiasi pemerintah daerah (Pemda).

Sampah berserak di pesisir pantai selatan Madura. Foto: Naufan Noodyanto, 2021

Jika diperhatikan kembali, sebagian masyarakat yang mengekploitasi laut tapi enggan memperhatikan kebersihan laut dengan alasan yang penting bisa makan, juga bisa didekati dengan pendekatan manfaat kebudayaan dari segi ekonomi.

Pemerintah desa mendorong, mengajak, dan membiasakan masyarakat, serta menggerakkan kerja kreatif penciptaan seni komunal melalui daur ulang sampah, sehingga sampah bertransformasi menjadi komoditi bernilai, seperti barang kerajinan, apparel, dekorasi, dan masih banyak lainnya.

Darinya, masyarakat merasakan manfaat ekonomi. Jika berhasil, masyarakat akan merasa butuh dan membiasakannya. Hal ini sekaligus mewujudkan prinsip ekonomi sirkular, menerapkan prinsip efisiensi sumber daya yang digunakan. Dengan demikian, sampah tidak berakhir menumpuk di lautan (pesisir).

Singkatnya, pemerintah desa perlu merevitalisasi sistem pengelolaan, meliputi distribusi (pengangkutan), pengendalian, penanganan, bahkan pengolahan (recycling) sampah, terutama guna mengatasi sampah yang telah ada dan tertumpuk (selama ini), serta mengatasi (tambahan) sampah harian.

Lambat laun, penulis yakin, masyarakat akan terbiasa dengan sistem tersebut dan ini akan menjadi gerakan komunal. Pemerintah desa perlu (memulai) mengorganisasi dan memimpin warganya dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan yang lain.

Pada gilirannya, jika isu sampah ini berhasil ditangani, akan berdampak pada meningkatnya kualitas perairan, hasil tangkapan ikan, industri pengolahan hasil laut, kesehatan masyarakat, hingga membangun image positif pemukiman pantai selatan Madura yang bersih dan asri, terutama untuk menyokong industri pariwisata.

Kampanye untuk Mendukung Penanganan Sampah Laut

Soal upaya pengubahan mindset masyarakat, sebagai kerja budaya, kampanye penyadartahuan terhadap sampah laut perlu dilakukan oleh pemerintah (jenjang desa hingga pusat).

Kerja-kerja kampanye konvensional, seperti sosialisasi di tengah-tengah masyarakat, bahkan pelatihan dalam rangka pengendalian, penanganan, bahkan pengolahan sampah senantiasa harus dilakukan secara berkala oleh pemerintah desa dengan mitra terkait.

Jika memungkinkan, kegiatan penanganan sampah ini (dikampayekan) terintegrasi dengan ritual (budaya) dan keagamaan masyarakat. Misalnya pemberian tameng mitos, untuk mencegah laku masyarakat mengotori pesisir dan laut. Dengan demikian, masyarakat menghormati bahkan menyakininya sebagai tradisi, lambat laun menggantikan kebiasaan membuang sampah ke laut.

Pelaksanaan kampanye juga perlu melibatkan berbagai pihak, terutama mereka yang menjadi panutan masyarakat Madura. Di antaranya adalah para pemuka agama Islam atau kiai, sesuai karakter demografis mayoritas masyarakat Madura yang kental dengan kebudayaan Islam dan pesantren.

Ini karena dalam pandangan hierarki sosial Madura, masyarakat biasanya cenderung mengikuti guru (tokoh adat/agama, atau kiai) setelah kedua orang tua, sebagaimana dalam ungkapan tradisional Madura: bhuppa’, bhâbhu’, ghuru, rato (Bahasa Indonesia: Ibu, bapak, guru, raja/pemerintah).

Berdasar konsep ini, dawuh kiai akan diikuti. Maka ceramah dan nasehat keagamaan ekologis (bertopik penjagaan lingkungan) harus sering dihadirkan sebagai materi dan strategi kampanye penyadartahuan (edukasi) masyarakat terhadap masalah lingkungan, khususnya sampah laut.

Sesekali pula, pemerintah pusat atau NGO besar macam Greenpeace perlu turun ke masyarakat tingkat desa pesisir di Madura, dengan turut mengedukasi, agar sedianya masyarakat merasa diperhatikan. Ini strategi baik, karena di kalangan masyarakat desa masih mengelu-elukan kedatangan kalangan tokoh nasional ke Madura.

Pemerintah desa bersama masyarakat juga perlu melakukan kampanye komunikasi visual lewat media cetak, seperti melalui poster-poster, iklan layanan masyarakat, dan sebagainya. Media digital, seperti informasi verbal, desain sticker bertopik “jaga laut”, meme, foto-foto, jingle/musik, dan sebagainya pun dapat dipakai sebagai konten kampanye yang didistribusikan secara mandiri dan berantai oleh warga ke warga lainnya, melalui platform WhatsApp, Instagram, Facebook, Youtube, dan lain-lain.

Kerja demikian diharapkan dapat menggugah pikiran dan empati masyarakat secara luas, efisien, dan cepat. Senyampang itu, masyarakat juga dapat mengawal proses penanganan sampah ini, baik terhadap pemerintah maupun di antara masyarakat sendiri, melalui giat komunikasi visual.

Masyarakat turut mewartakannya, sebagai agen kontrol sosial kolektif, lewat “angkat kamera” maupun penciptaan karya-karya desain komunikasi visual untuk merekam, mengawasi, mengkritik, dan memberi solusi terhadap penanganan sampah.

Editor : Annisa Dian Ndari

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Tanggapan