Sumpah ManuSEA Melawan Sampah, dari Maluku Utara untuk IndoneSEA

Pengaruh plastik dalam perkembangan industri-industri besar di dunia sejak dulu memiliki sejumlah dampak yang konkrit bagi masyarakat dan lingkungan. Sebagai salah satu inovasi industri skala global maupun regional, plastik atau kantong plastik merupakan barang yang sangat membantu masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.

Sejak saat itu, masyarakat mulai terbiasa menggunakan berbagai macam kantong plastik saat pergi ke pasar dan berbelanja berbagai macam kebutuhan. Hal ini dikarenakan, kantong plastik yang beredar di masyarakat mudah dijangkau dengan harga yang relatif murah sehingga penggunaannya kian marak dan sulit dikontrol.

Di satu sisi, ancaman kantong plastik sebagai sampah yang susah terurai tentu berdampak pada ekosistem dan mengancam berbagai organisme, khususnya organisme perairan. Namun masyarakat tetap menggunakan kantong plastik dalam kehidupan sehari- hari meskipun menyadari dampak negatif yang ditimbulkan oleh sampah plastik. Hal ini tentu mengancam tingkat keberlanjutan lingkungan sekitar mengingat permasalahan sampah merupakan tanggung jawab bersama dengan melibatkan seluruh lapisan masyarakat (Sucipto, 2012).

Sampah plastik merupakan salah satu masalah lingkungan, khususnya lingkungan perairan Indonesia. Data dari Kementrian Lingkungan hidup menyebutkan bahwa plastik dari 100 toko atau anggota Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO) mencapai 10,95 juta lembar sampah dalam jangka waktu satu tahun, jumlah ini setara dengan luasan 65,7 hektar kantong plastik.

Tentu permasalahan sampah plastik di Indonesia terutama di perairan menjadi perhatian global belakangan ini, hal ini didasarkan pada pernyataan Bank Dunia bahwa di tahun 2018 kemarin, Indonesia menjadi penghasil sampah plastik terbesar kedua di dunia setelah Republik Rakyat Cina. Indonesia menghasilkan sampah plastik yang terdapat di perairan sebesar 187,2 juta ton (Jambeck, 2015).

Fenomena sampah plastik hingga saat ini kian meningkat dan belum ditangani dengan baik oleh pihak terkait serta rendahnya kesadaran masyarakat memicu kenaikan volume sampah plastik saat ini. Selain itu, bertambahnya jumlah penduduk Indonesia diduga akan meningkatkan volume sampah plastik karena maraknya penggunaan dalam kebutuhan sehari-hari.

Dapat diketahui bahwa total produksi sampah plastik sebesar 15 % dari total produksi sampah nasional dan menempatkan sampah plastik sebagai kontributor terbesar kedua setelah sampah organik. Sampah plastik yang terbanyak adalah jenis kantong plastik atau kantong kresek selain plastik kemasan (Purwaningrum, 2016).

Provinsi Maluku Utara yang dikenal sebagai wilayah kepulauan harus mewaspadai ancaman sampah plastik yang mencemari perairan, adanya penambahan jumlah penduduk hingga rendahnya kesadaran masyarakat dalam menjaga kelestarian lingkungan terutama laut diduga menjadi faktor terbesar dalam kontribusi sampah plastik yang ada saat ini.

Dikutip dari Kumparan, pada bulan Februari 2019 bahwa masyarakat di provinsi Maluku Utara menghasilkan total sampah plastik sebesar 50-80 ton per hari. Hal ini merupakan permasalahan sekaligus tantangan bagi pemerintah terkait serta masyarakat dalam menjaga kelestarian dan keselamatan ekosistem, khususnya ekosistem perairan.

Ancaman Sampah Plastik di Laut

Sampah plastik merupakan barang yang tidak terpakai lagi dan umumnya langsung dibuang jika kondisinya sudah rusak atau sobek, namun beberapa orang masih menggunakannya jika dikelola dengan benar, salah satu sifat dari sampah plastik yakni sangat sulit diuraikan secara alami oleh mikroorganisme dan berdampak sangat buruk bagi ekosistem secara alami, salah satunya ekosistem laut (Hammer et al., 2012).

Provinsi Maluku Utara merupakan wilayah yang padat penduduk dengan luas wilayah sebesar 145.801,10 km², terdiri dari luas lautan 113.796,53 km² atau sebesar 69,08 % dan luas daratan 32.004,57 km² atau 30,92 %.

Jika dilihat dari presentase luas wilayah tersebut, maka wilayah Provinsi Maluku Utara didominasi oleh laut. Terkait dengan hal demikian, maka akibat yang ditimbulkan oleh sampah plastik di perairan karena susah terurai yaitu menimbulkan pencemaran baik terhadap tanah, air tanah hingga berdampak ke perairan secara umum dan organisme didalamnya.

Sampah plastik mengandung racun yang berasal dari partikel yang dikandungnya sehingga ikut dalam rantai makanan dan mengganggu keseimbangan siklus hidup organisme yang terpapar. Kegiatan masyarakat dalam mengelola sampah plastik seperti dibuang ke laut, dibakar hingga ditimbun nyatanya tidak memberikan solusi yang benar terhadap lingkungan sekitar. Hal ini justru mengakibatkan adanya bahan plastik yang masuk kedalam tubuh manusia melalui proses rantai makanan dengan memakan ikan, daging ayam hingga hewan ternak lainnya dan akhirnya mengganggu kesehatan tubuh terutama pada ibu hamil dan anak-anak (Halden, 2010).

Sampah plastik saat ini yang terdapat di seluruh laut dunia diduga sebesar 150 juta ton/tahun dan diprediksi akan meningkat menjadi 250 juta ton pada tahun 2050. Jika negara-negara industri besar dunia tidak mengelola sampah plastik dengan baik maka ditakutkan ekosistem laut akan menjadi imbas dari aktivitas penduduk yang menggunakan bahan plastik atau kantong plastik.

Dengan prinsip tata kelola dalam pengurangan sampah plastik oleh negara- negara industri besar maupun seluruh negara di dunia, diharapkan mampu mengurangi 50% total sampah plastik sehingga menurunkan masukan sampah plastik pada laut dunia (Jambeck et al., 2015).

Tingkat kepadatan sampah plastik di laut sangat beragam dari satu tempat ke tempat lain, hal ini dipengaruhi oleh tingkat aktivitas manusia, kondisi perairan atau cuaca sekitar, titik masuk dan karakteristik fisik dari materi sampah.

Sampah plastik menjadi isu yang sangat krusial karena membutuhkan waktu 200 sampai 1.000 tahun untuk dapat terurai. Tingginya ancaman yang diakibatkan oleh sampah plastik di suatu perairan dapat mempengaruhi keseimbangan ekosistem perairan, baik ekosistem menggenang maupun mengalir bahkan disatu sisi ancaman sampah plastik ini dapat membunuh hewan pengurai di dalam tanah seperti cacing dan sejenisnya, terlepas dari hal demikian masih banyak dampak negatif yang ditimbulkan oleh sampah plastik (Purwaningrum, 2016).

Tingginya volume sampah plastik di wilayah pesisir dan lautan di Provinsi Maluku Utara dapat mengakibatkan dampak negatif terhadap ekosistem laut seperti menutupi dan mengganggu proses fotosintesis terumbu karang, selain itu partikel plastik juga akan menjadi bahan makanan ikan dan mollusca.

Dampak lain yang ditimbulkan oleh sampah plastik yaitu bagiannya yang kecil disebut mikroplastik dapat menjadi bahan yang beracun apabila masuk kedalam tubuh biota laut dan mengganggu kesehatan organisme seperti daging, hati dan lambung ikan. Mengingat asupan protein utama masyarakat di Provinsi Maluku Utara adalah ikan, maka sisa-sisa potongan plastik ini selanjutnya dapat berpindah dari konsumen I ke konsumen ke II dan ke manusia lain melalui proses rantai makanan (Farrell et al., 2013).

Upaya Pengurangan Sampah Plastik

Sampah plastik yang terdapat di laut nyatanya sangat berbahaya serta berdampak negatif terhadap ekosistem laut, biota dan manusia. Mengetahui hal demikian, maka perlunya regulasi dalam hal ini penetrasi kebijakan oleh pemerintah pusat hingga daerah dan penyusunan program-program pencegahan serta penanggulangan sampah dengan melibatkan seluruh lapisan masyarakat.

Hal ini patut dilakukan mengingat peraturan merupakan hal mendasar yang sifatnya mengikat masyarakat untuk melakukan kegiatan dalam mengatasi permasalahan sampah plastik di Provinsi Maluku Utara.

Sinergitas dalam mengurangi sampah pesisir
Sinergitas dalam mengurangi sampah pesisir. / Foto: Penulis

Berikut Perundangan terkait dengan pengelolaan sampah di Indonesia :

  1. Undang-undang nomor 18 tahun 2008 tentang pengelolaan
  2. Peraturan pemerintah nomor 81 tahun 2012 tentang pengelolaan sampah rumah tangga dan sejenis sampah rumah
  3. Peraturan presiden nomor 97 tahun 2017 tentang kebijakan dan strategi nasional pengelolaan
  4. UNEP/AHEG/2018/I/INF/3 tentang penanganan sampah plastik di laut dan mikroplastik; efektifitas strategi dan pendekatan dalam internasional, wilayah dan
  5. Peraturan Presiden nomor 38 tahun 2018 tentang program serta arah dan kebijakan sampah di
  6. Surat Edaran KLHK Nomor SE.5/MEMLHK/PSLB3/PBL.0/10/2019 tentang gerakan nasional pilah sampah dari rumah
  7. Rencana Aksi Nasional Penanganan Sampah Laut Tahun 2018-2025.

Dalam hal ini, peraturan merupakan salah satu upaya perlindungan terhadap keberlanjutan lingkungan. Pembuatan perda dan sanksi kepada pelanggar hukum dapat dilakukan setelah kegiatan sosialisasi secara menyeluruh dalam waktu yang bertahap di tiap-tiap kelompok masyarakat. Hal ini patut dilakukan mengingat di tahun 2014 sebesar 91,82 % masyarakat rumah tangga di provinsi Maluku Utara tidak memilah sampahnya sebelum dibuang (Garnesia, 2018).

Upaya pembersihan sampah di pesisir pantai. / Foto: Penulis

Selain itu perlu adanya sistem manajemen yang kompleks terkait dengan aturan yang dibuat untuk membatasi penyebaran sampah plastik. Adanya upaya pengajaran oleh orang tua, guru dan berbagai komunitas terhadap anak usia dini dan seluruh lapisan masyarakat mengenai penanggulangan sampah dan pengelolaan sampah yang baik sehingga kelestarian lingkungan tetap terjaga.

Gaya hidup masyarakat yang tidak berkelanjutan dan infrastruktur pembuangan sampah yang kurang baik diduga akan menyebabkan jumlah sampah di laut akan meningkat hingga 15 sampai 40% pada tahun 2025.

Oleh karena itu, perlu adanya peningkatan kesadaran masyarakat atau pola pikir yang mengarah kepada pengelolaan sampah plastik serta mengganti penggunaan kantong plastik menjadi bahan kain, keranjang dsb sebagai kantong saat berbelanja dan aktivitas lainnya.

Sehingga kita dapat mengurangi sumber utama penyebaran sampah plastik di daratan dan imbasnya terhadap laut karena selama ini perlu diketahui bahwa sumber utama penyebaran sampah plastik berasal dari daratan sebagai pusat aktifitas masyarakat (Andrades et al., 2016).

Kesimpulan

Dari pembahasan yang disampaikan di bab sebelumnya dapat disimpulkan bahwa sampah plastik merupakan permasalahan yang menjadi isu yang sangat krusial karena mencemari hampir seluruh laut-laut di berbagai negara dan membutuhkan waktu 200 sampai 1.000 tahun untuk terurai secara alami.

Tingginya volume sampah plastik di wilayah pesisir dan lautan di Provinsi Maluku Utara dapat mengakibatkan dampak negatif terhadap ekosistem laut mengganggu kesehatan organisme seperti daging, hati dan lambung ikan.

Berbagai upaya penanggulangan sampah plastik dapat dilakukan dengan langkah awal yakni sosialisasi pengelolaan sampah, pembuatan regulasi atau kebijakan dan sanksi kepada pelanggar hukum serta proses pembiasaan sejak dini kepada anak-anak dalam menjaga kelestarian lingkungan dan seminimal mungkin mengganti bahan plastik dengan bahan kain, keranjang, rotan dsb saat berbelanja atau aktifitas lainnya.***

Baca juga: Laut Bersuara: Memperdengarkan Isu-Isu Penting Laut Di Indonesia

Editor: J. F. Sofyan

Referensi:

Andrades, R., Martins, A.S., L.M. Fardim, J.S. Ferreira & Santos, R.G., 2016. Origin of Marine Debris is Related to Disposable Packs of Ultra-processed Food. Marine pollution bulletin. In press.

Farrell, P. & Nelson, K., 2013. Trophic Level Transfer of Microplastic: Mytilus edulis (L.) to Carcinus maenas (L.). Environ. Pollut. 177 :1-3 Gosyen Publishing

Halden, R.U., 2010. Plastics and Health Risks. Annu. Rev. Public Health. 31:179- 194.

Hammer, J., M.H.S. Kraak & Parsons, J.R., 2012. Plastics in the Marine Environment: The Dark Side of a Modern Gift. Ed: D.M. Whitacre. In: Reviews of Environmental Contamination and Toxicology. 220:1-44. Springer Science+Business Media, LLC.

Jambeck, J.R., R. Geyer, C. Wilcox, T.R. Siegler, M.Perryman, A. Andrady, R. Narayan, &Law, K.L., 2015. Plastic waste inputs fromland into the ocean. Scienc. 347:768-771.

Purwaningrum P, 2016. Upaya Mengurangi Timbulan Sampah Plastikdi Lingkungan. Jurnal Teknik Lingkungan. Vol. 8 No. 2. 141-147

Sucipto,C.D. 2012. Teknologi Pengolahan Daur Ulang Sampah, Yogyakarta:

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Tanggapan