Budaya Baik di Kala Pandemi Covid-19 yang Harus Terus Dilanjutkan demi Kebaikan Manusia dan Alam
Budaya Baik Di Kala Pandemi
“Pendidikan bisa memberi Anda keahlian, tetapi pendidikan budaya mampu memberi Anda martabat.” – Ellen Key (1849-1926)
Di tengah pandemi yang tidak tahu kapan berakhirnya, pemerintah, organisasi-organisasi kesehatan, maupun masyarakat awam saling bekerja sama untuk terus bisa memutus rantai penyebaran virus Covid-19 ini.
Di saat kerja sama terjalin, lalu budaya baik pun tercipta. Ya, budaya baiknya seperti rajin mencuci tangan, menggunakan masker kain yang bisa dipakai berulang kali di setiap kegiatan, tidak menggunakan kendaraan pribadi jika tidak dalam keadaan genting, dan tidak makan makanan yang sehat atau tidak makan daging hewan sembarangan.
Saat budaya baik di atas tercipta, bukan hanya manusia yang mendapat keuntungan, tetapi juga hewan, habitat, dan alam!
Mengapa begitu?
Ok, mungkin dengan budaya rajin mencuci tangan hanya berdampak pada kesehatan manusia semata.
Namun dengan menggunakan masker yang bisa dipakai berulang kali justru bisa menyelamatkan lingkungan.
Bagaimana bisa?
Dengan menggunakan masker kain yang dapat dipakai secara berulang berarti akan mengurangi sampah masker sekali pakai. Sampah masker sendiri kebanyakan berakhir menjadi sampah yang tidak berguna dan berpotensi mencemari lingkungan, seperti yang di kutip dari Republika.co.id:
Sementara itu, Direktur Eksekutif Enviromental Conservation Organization (Ecoton), Prigi Arisandi, mengatakan, masker sekali pakai yang dijual di pasaran umumnya terbuat dari bahan sintetis. Hal ini membuat masker masuk kategori sampah residu dan berpotensi menimbulkan pencemaran lingkungan.
Lalu ada budaya baik lainnya yang dapat menyelamatkan manusia dan lingkungan, yaitu tidak menggunakan kendaraan pribadi kalau tidak dalam keadaan genting. Seperti yang kita tahu bahwa gas pembakaran dari kendaraan adalah salah satu penyebab terbesar polusi udara, seperti yang dilansir dari Liputan6.com:
Bahwa,
Tingginya jumlah kendaraan bermotor di perkotaan menyebabkan masyarakatnya memiliki konsekuensi terpapar polutan berbahaya, dari gas emisi kendaraan maupun partikal debu di jalan,” tutur Agus dalam diskusi bersama NexcareTM di Jakarta, Senin (5/8/2019).
Sumber terbesar polusi udara 80 persen sumber polusi udara luar ruangan, kendaraan bermotor… jelasnya.
Dari budaya baik kita yang tidak menggunakan kendaraan pribadi justru berdampak baik juga pada alam lho! Salah satunya yaitu kualitas udara yang semakin membaik, contohnya yaitu seperti yang dikutip dari BBC Indonesia:
Ketika banyak industri, jejaring transportasi dan perusahaan tutup, jumlah emisi karbon di udara turun drastis.
Dibandingkan dengan kurun waktu yang sama pada tahun ini di New York, tingkat polusi udara berkurang nyaris sebanyak 50%.
Di China, tingkat emisi berkurang 25% di awal tahun, ketika orang-orang diperintahkan untuk tinggal di rumah. Pabrik-pabrik tutup dan penggunaan batu bara di enam pembangkit listrik terbesar China merosot hingga 40%. Proporsi hari-hari dengan “kualitas udara baik” naik 11,4% dibandingkan waktu yang sama pada tahun lalu di 337 kota di seluruh China, menurut Kementerian Ekologi dan Lingkungan.
Di Eropa, pencitraan satelit menunjukkan emisi nitrogen dioksida (NO2) memudar di atas Italia Utara.
Jelas bukan?
Banyak berita melaporkan penurunan tingkat polusi yang cukup signifikan di setiap negara, bukankah itu hal yang baik? Bukankah itu bisa menjadi budaya yang harus terus kita lanjutkan ketika pandemi ini berakhir? Supaya kita dan anak cucu kita kelak akan merasakan sejuk dan bersihnya udara juga terhindar dari berbegai jenis penyakit mematikan yang diakibatkan dari polusi emisi.
Selanjutnya ada budaya baik yang paling berpengaruh atas keselamatan manusia terlebih lingkungan. Ya! Budaya tidak makan daging hewan sembarangan!
Seperti yang kita tahu banyak hipotesis yang menyebutkan bahwa dugaan kuat awal mula penyebaran Covid-19 berasal dari hewan kalelawar. Bukan hanya virus Covid-19 yang dugaannya berasal dari hewan. Sudah banyak kasus-kasus yang sudah terjadi yang diduga kuat penyebaran virusnya dari hewan ke manusia atau dalam bahasa ilmiah disebut Zoonosis.
Adapun kasus-kasusnya antara lain:
Pada 1918, dunia dilanda oleh pandemi influenza yang menginfeksi sepertiga populasi dunia dalam hitungan bulan dan membunuh 50 juta orang. Virus flu H1N1 yang menjadi wabah ini berasal dari unggas. Lantas, pandemi flu lantas kembali terjadi pada 2009.
Virus H1N1 jenis baru yang disebut (H1N1)pdm09 ini diduga bersumber dari babi. Dalam waktu setahun, virus ini menginfeksi 60,8 juta orang di Amerika Serikat dan menyebabkan 151,700 – 575,400 kematian secara global. (sumber: Kompas.com).
Juga ada kasus wabah Ebola yang diberitakan oleh Liputan6.com dan dilansir dari National Geographic pada Sabtu (3/1/2015):
“Ebola pertama kali ditemukan di Guinea Tenggara pada Desember 2013 silam.
Dari data yang dikumpulkan ini muncul hipotesis baru, bahwa perantara virus Ebola adalah kelelawar buah. Hipotesisnya, manusia terkena Ebola setelah memakan buah yang telah digigit kelelawar.
Penelitian pun akhirnya sampai pada hipotesis paling baru, yaitu kelelawar lolibelo lah yang menjadi perantara virus Ebola, Meskipun begitu, hipotesis ini masih terus diuji kebenarannya sampai saat ini, sampai peneliti benar-benar mengetahui hubungan antara virus Ebola dengan lolibelo. “
Ini membuktikan bahwa mengkonsumsi hewan secara sembarangan terlebih seperti kelelawar yang selayaknya kita tidak konsumsi akan mengakibatkan berbagai permasalahan seperti permasalahan kesehatan manusia dan permasalahan keseimbangan ekosistem.
Foto oleh Alex Strachan dari Pixabay.
Ada banyak hewan yang terselamatkan yang dihasilkan dari budaya baik kita yang tidak memakan daging hewan sembarangan, seperti salah satu contohnya yaitu hewan Trenggiling yang di mana dilansir dari CNN Indonesia: “Setelah virus corona menjadi pandemi, jumlah penjualan daging trenggiling merosot tajam.”
Jelas bukan?
Paparan di atas membuktikan bahwa budaya baik kita bisa menyelamatkan kita sendiri maupun alam!
Jadi, apakah kita mau terus membudayakan hal baik ini demi kita dan anak cucu kita nanti?
Editor: AN.
Catatan Editor: Foto utama oleh CDC dari Pexels.com.
Tanggapan