Cerita Dari Pantai Kuta Di Kala Pandemi Melanda Bali
Ada yang berbeda dari Pantai Kuta di kala Pandemi. Pantai yang dulu selalu ramai dipenuhi pengunjung kini tampak sunyi. Tak ada lagi tawa canda pengunjung atau teriakan dari pejuang pedagang asongan, bahkan suara bising dari kendaraan bermotor pun seolah lenyap ditelan debur ombak yang hangat.
Tak hanya terjadi di Kuta, seluruh pantai di Bali pun mengalami hal yang sama. Namun pantai Kuta adalah ikon pariwisata Bali, sehingga sepinya pantai ini menjadi anomali khususnya bagi masyarakatnya sendiri, termasuk saya pribadi.
Saya begitu pangling dengan perubahan suasananya ketika menyempatkan ke sana pada awal tahun ini. Belum pernah saya melihat Kuta sesepi ini. Kuta yang identik dengan keramaian dan gemerlap sepanjang malam kini bak kota mati. Jarang ada lagi bule atau wisatawan lokal yang lalu lalang menikmati suasana pantai atau menghabiskan waktu dengan berbelanja di salah satu pertokoan yang ada.
Suasananya begitu gelap sebab seluruh hotel, restoran, dan pertokoan di sepanjang jalan hampir semuanya tutup sehingga tak ada pencahayaan seperti hari biasanya. Sungguh sebuah ironi, tempat yang terkenal dengan hiburan dan gemerlap dunia malamnya kini benar – benar suram, tak berdaya dihantam oleh badai pandemi.
Pantai Kuta sebelum pandemi
Sumber : republika.com
Pantai Kuta saat pandemi
Sumber : republika.com
Sejak virus covid – 19 masuk ke Indonesia pengunjung di Pantai Kuta terus menurun. Kebijakan pemerintah untuk menutup penerbangan lokal maupun internasional membuat pariwisata di tempat ini seolah mati suri. Pantai yang biasanya menerima 3000 – 5000 pengunjung tiap harinya kini benar – benar sepi.
Banyak ruko di sekitar pantai yang kini dipasangi tulisan “DIKONTRAKKAN” bahkan dijual karena pemilik sebelumnya gulung tikar. Meski begitu masih ada satu dua toko yang mencoba tetap buka dan bertahan meski entah sampai kapan. Pandemi benar – benar meluluh lantakkan perputaran ekonomi tempat ini.
Pertokoan sekitar Kuta yang tutup
Sumber : regional.kompas.com
Sejak awal 1970 – an Pantai Kuta memang menjadi destinasi utama para wisatawan yang datang ke Bali. Hingga muncul ungkapan “Belum ke Bali namanya jika belum mengunjungi Kuta”. Pantai yang dulunya menjadi lokasi pelabuhan bagi para pedagang lokal dan saudagar Eropa ini memang memiliki pesona yang sulit terbantahkan.
Dengan garis pantai sepanjang 5 km yang langsung berhadapan dengan Samudera Hindia, pantai ini jelas dapat memanjakan mata para wisatawan yang datang. Hamparan pasir putih, ombak yang tak begitu besar, dan pemandangan matahari tenggelam adalah suguhan utama yang sungguh sayang untuk dilewatkan.
Lokasinya yang dekat dari Bandara Internasional Ngurah Rai, akses jalan yang mudah dijangkau, serta beragam fasilitas seperti penginapan, restoran, hingga berbagai hiburan di sekelilingnya membuat pantai ini menjadi pilihan wisata paling utama dari turis lokal maupun mancanegara.
Bahkan seiring berjalannya waktu Kuta tak hanya identik dengan pantainya saja namun dunia gemerlapnya yang semakin malam semakin menunjukkan hingar bingar. Dengan popularitasnya yang mendunia, pengelolaan pemda setempat yang cukup baik, serta keberadaan investor yang tak hentinya melakukan pembangunan infrastruktur di sekitar pantai, tak pelak banyak warga lokal maupun pendatang yang menggantungkan mata pencahariannya dari sektor pariwisata di tempat ini.
Di tengah hiruk pikuk aktivitas pariwisata dan perekonomian di Pantai Kuta, rupanya ada hal menarik yang sering dilewatkan orang yang mampir ke sana. Sejak bulan Juni tahun 2010 para wisatawan yang datang ke Pantai Kuta tentu dapat melihat patung penyu besar yang berada di depan pantai ini.
Bukan hanya sekedar hiasan, patung tersebut juga sebagai penanda berdirinya Kuta Beach Sea Tutle Conservation, pusat konservasi penyu laut di Pantai Kuta. Rupanya Pantai Kuta tak hanya menjadi tempat favorit bagi para wisatawan yang berkunjung, sejak dulu pantai ini juga dipercaya para penyu jenis lekang dan hijau sebagai lokasi pendaratan dan bertelur.
Patung penyu di Pantai Kuta
Sumber : Tribun Bali
Perlu diketahui penyu lekang dan hijau termasuk jenis penyu langka dari Indonesia yang keberadaannya dilindungi oleh undang – undang. Sehingga kedatangan penyu ini ke Pantai Kuta seolah makin menasbihkan pantai ini sebagai pantai nomor 1 di Bali. Sebab bukan saja ramah bagi para manusia namun pantai ini juga ramah bagi para satwa langka seperti penyu dan biota laut lainya.
Kuta Beach Sea Tutle Conservation diharapkan dapat menjadi tempat konservasi untuk melindungi penyu langka sekaligus menjadi daya tarik baru bagi para wisatawan. Di tempat ini para wisatawan khususnya anak – anak dapat belajar tentang seluk beluk kehidupan penyu serta dapat melihat tukik atau anak penyu yang baru lahir.
Menariknya setiap tahun pada bulan April – Oktober akan ada pelepasan tukik ke laut yang dapat diikuti pula oleh pengunjung. Namun dikarenakan adanya pandemi yang menyebabkan Pantai Kuta ditutup untuk umum, maka pada tahun 2020 lalu acara pelepasan tukik di bulan Juni hanya dilakukan oleh petugas dan relawan balai konservasi.
Pelepasan Tukik di Pantai Kuta
Sumber : republika.com
Sayangnya dengan segala keindahan alam dan berbagai hiburan yang mudah dijumpai, rupanya Pantai Kuta menyimpan masalah pelik yang tak kunjung tertangani. Tak hanya penyu lekang dan hijau saja yang tiap tahunnya mendarat di pantai ini, tiap tahun khususnya di bulan Desember – April pantai Kuta juga menerima “tamu” berupa ratusan ton sampah yang terbawa arus hingga ke tepi pantai.
Bahkan tepat pada pergantian tahun baru di bulan Januari 2021 ini sekitar 80 ton sampah berhasil dikumpulkan selama 3 hari. Untuk mengangkut sampah sebanyak itu diperlukan hingga 40 truk. Volume sampah tiap tahunnya memang berbeda, namun tahun 2020 lalu diperkirakan volume sampah yang berhasil dikumpulkan dari Pantai Kuta sekitar 1000 ton. Meskipun terdengar sangat fantastis rupanya angka tersebut telah turun dari tahun sebelumnya, sebab pada tahun 2019 volume sampah yang berhasil dikumpulkan adalah sebanyak 4000 ton!
Tentu menjadi pertanyaan besar bagi kita semua, sampah sebanyak itu berasal dari mana saja? Seorang peneliti asal Bali rupanya tertarik untuk meneliti permasalahan sampah yang terjadi di Pantai Kuta. Pada tahun 2014 di bulan Maret – Oktober, seorang peneliti dari Centre of Remote Sensing and Ocean Sciences, Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Udayana Bali bernama Dr. I Gede Hendrawan memimpin sebuah penelitian untuk mengetahui dari manakah semua sampah di Pantai Kuta ini berasal.
Ia melakukan survei di kawasan non perairan di sekitar Pantai Kuta. Hasilnya, sampah yang berada di Pantai Kuta 52% berasal dari aktivitas di darat, 14% dari aktivitas di laut, dan 34% berasal dari aktifitas secara umum baik darat maupun laut, di mana 75% dari timbunan sampah ini adalah sampah plastik.
Sampah di Pantai Kuta
Sumber : liputan6.com
Masalah ini jelas bukan masalah sepele yang bisa kita abaikan begitu saja. Penggunaan plastik yang tak terkontrol nyatanya menimbulkan banyak masalah dan berdampak buruk bagi lingkungan. Banyak kasus ditemukan sampah – sampah yang menggunung berakhir dalam perut hewan seperti paus, penyu, sapi, hingga burung.
Bahkan tak jarang dalam timbunan sampah yang terbawa ke pantai Kuta ditemukan bangkai penyu di dalamnya. Sungguh ironis, saat Pantai Kuta menjadi tempat konservasi penyu, nyatanya di tempat itu pula banyak bangkai penyu ditemukan.
Apalagi ditambah dengan kebiasaan sebagian masyarakat Indonesia yang gemar membuang sampah sembarangan. Sampah yang di buang di aliran air seperti got dan sungai dapat membuat aliran air menjadi mampet dan berakibat pada menyebarnya penyakit menular. Bila terbawa arus air pun akhirnya berujung ke laut dan akhirnya tersapu ombak kembali ke tepi pantai.
Pembatasan penggunaan kantong plastik memang mulai gencar digalakkan di beberapa daerah di Indonesia tak terkecuali Bali. Awal tahun 2020 lalu semua pusat perbelanjaan baik besar maupun kecil di Bali dilarang untuk memberikan kantong plastik bagi pelanggannya.
Namun hanya beberapa bulan toko – toko kecil kembali menyediakan kantong plastik saat berbelanja. Swalayan dan toko – toko besar mulai beralih pada kantong plastik ramah lingkungan yang diklaim lebih mudah hancur sehingga tak mencemari tanah.
Nyatanya tetap perlu waktu 2 tahun bagi sebuah kantong plastik ramah lingkungan untuk hancur. Itu pun hancur menjadi serpihan yang sangat kecil dan tak semuanya mampu diserap oleh tanah. Sehingga pemakaian kantong plastik ramah lingkungan bukanlah solusi utama untuk menangani masalah sampah.
Timbunan sampah yang ada di Pantai Kuta harusnya menjadi alarm bagi kita semua khususnya warga Bali untuk segera berintrospeksi dan berbenah diri agar kejadian yang sama tidak terulang kembali. Kuta yang selama ini dikenal menjadi ikon pariwisata Bali yang mendunia karena keindahan pantainya dapat berubah menjadi ikon tempat pembuangan sampah di Bali bila masalah ini tak segera tertangani.
Mari bersama – sama kita kembalikan Pantai Kuta yang bersih, indah, dan lestari. Agar keindahan Pantai Kuta juga dapat dinikmati oleh anak cucu kita di kemudian hari.
Editor : Annisa Dian Ndari
Tanggapan