Cerita Penyesalan Sang Pemburu dan Rusaknya Ekosistem Mangrove
Dahulu kala, hiduplah seorang pemburu yang sangat kejam dan tidak neko-neko. Pemburu itu, biasa dipanggil dengan Kang Jam. Bersama dengan kelompoknya yang berjumlah lima orang, mereka tinggal di markasnya yang terletak di pesisir pantai.
Hampir semua binatang pesisir mereka buru. Selain di kenal dengan pemburu yang handal mereka juga dikenal sebagai sindikat yang kejam nan kasar.
Mereka ditakuti seantero wilayah pesisir. Bang Jam seringkali merampas paksa harta penduduk setempat dan menjualnya ke pasar gelap. Biawak, ular, penyu, dan buaya merupakan sedikit dari ratusan binatang mangrove yang terbunuh.
Pagi itu, Kang Jam dan anak buahnya, berniat berburu lagi ke hutan mangrove yang tak jauh dari markas mereka.
“Aku ingin sekali menghabisi semua binatang yang ada di hutan mangrove yang penuh dengan nyamuk dan berbau amis itu. Jadi sekarang aku ingin kalian semua bersiap-siap, membawa semua peralatan berburu kita, karena hari ini kita akan menghabisi seluruh penduduk di wilayah itu,” perintah Kang Jam dengan ekspresi bengis.
“Siap bos besar, jenis apa yang kita buru lebih dulu?”
“Kita mulai dari bangsa biawak dulu, kemudian kita lanjutkan dengan burung-burung, dan ular. Lalu kita istirahat di laut sebelah sana, selanjutnya kita akan berburu penyu,” perintahnya.
“Siap laksanakan perintah.”
“Malam ini kita langsung jual hasil buruan ke pasar gelap.”
“Beres bos.”
Tidak lama setelah mendengar perintah dari Kang Jam, dengan membabi buta, hutan mangrove yang tak bertuan itu dilucuti dengan belasan peluru yang saling bersahutan. Biawak, burung, buaya, dan binatang khas dalam kebun mangrove lainnya ikut mati terbunuh oleh ulah tidak berkeprikemanusiaan itu. Tidak puas berburu binatang yang ada di mangrove, Kang Jam dan komplotannya itu turut menebang pohon untuk dijual.
Dalam sekejap para pemburu kejam itu telah berhasil menikmati, mengkuliti dan menjual semua hasil perburuannya itu ke pasar gelap.
Sementara itu di kerajaan mangrove, seluruh penghuninya mereka mulai mengadakan rapat besar untuk membahas kekhawatiran mereka. Perburuan yang tidak berprikemanusiaan itu sungguh telah meninggalkan luka yang mendalam bagi para penghuni di hutan mangrove.
Dari sudut ruang rapat terdengar buaya terus menangis. Bagaimana tidak, Ayah dan Ibunya telah diburu dan dikuliti didepan mata kepalanya sendiri, adik-adiknya yang masih kecil dan tak berdosa pun ikut menjadi korban dari para pemburu kejam itu. Ia hanya mampu menahan tangis dan lukanya sembari bersembunyi dibalik semak belukar. Buaya berharap suatu hari nanti para manusia tak berhati itu akan menerima balasa setimpal dari Tuhan.
Bertahun-tahun lamanya perburuan sadis itu terus berlanjut, populasi penghuni hutan mangrove terus menurun drastis. Sehingga semuanya habis tidak tersisa.
Waktu terus berlalu, menyisakan kenangan pahit bagi penghuni hutan mangrove. Kang Jam yang semakin hari semakin tua mulai ditinggalkan oleh anak buahnya yang sudah berumah tangga. Sesekali ia berkunjung ke tempat-tempat yang dulunya ia habisi tanpa hati, mencari sedikit rezeki hanya untuk sesuap nasi.
Ia mulai kesulitan mendapatkan makanan, hutan mangrove kosong tak berpenghuni, bak rumah hantu yang begitu seram.
Kekekaran, harta yang melimpah hasil merompak, tubuh yang sehat, mulai pupus dimakan usia. Kini, Kang Jam bukan lagi si Perompak Kejam, si Pembunuh Berdarah Dingin, si Kuat nan Kekar.
Ia hanyalah seorang pesakitan yang tinggal seorang diri di gubuk tua tak jauh dari hutan mangrove. Belum lagi abrasi yang kerap terjadi didaerah ia tinggal meninggalkan kekhawatiran yang mendalam baginya.
Sambil terduduk di tepi hutan mangrove, Kang Jam lama termenung. Menyesali setiap perbuatannya di masa lalu. Berharap waktu dapat kembali berputar ke masa lalu dan dia berjanji akan memperbaiki semuanya.
Namun harapannya hanyalah harapan kosong yang anak kecil pun tahu itu mustahil terjadi. Tuhan Maha Melihat dan Tuhan Maha Adil.
Rintihan-rintihan dari penghuni mangrove yang terzalimi telah dibayar lunas oleh Tuhan. Apa yang dirasakan Kang Jam sekarang merupakan buah dari apa yang ia tanam.
Pada hakikatnya, saat manusia membuat kerusakan di muka bumi ini, mereka hanya sedang menghancurkan dirinya sendiri.
Baca juga: Avicennia, si Api-Api Tak Cemberut Lagi
Editor: J. F. Sofyan
Tanggapan