Politik Ikan Tuna di Dunia
Ikan tuna (Thunnus sp) merupakan jenis ikan yang berdaya jelajah jauh (highly migratory species) bahkan melintasi batas-batas negara sehingga banyak negara yang berkepentingan. Terlebih ikan tuna merupakan produk perikanan paling populer di dunia.
Populernya ikan tuna sebagai ikan dengan kandungan nutrisi sangat tinggi dan dianggap makanan premium menjadikan tuna memiliki nilai ekonomi yang tinggi.
World Record Academy tahun 2013 mencatat rekor dunia untuk harga satu ekor tuna senilai 24 Miliar rupiah yang tercatat untuk seekor tuna sirip biru selatan (Thunnus maccoyii) yang memiliki berat 222 kg saat pelelangan di pasar ikan Tsukiji, Jepang pada 5 Januari 2014.
Di sisi lain perburuan massal terhadap tuna menimbulkan kekhawatiran terhadap kelestariannya. Oleh karena itu dibentuklah organisasi-organisasi pengelolaan perikanan regional lintas negara atau Regional Fisheries Management Organization (RFMO) seperti Indian Ocean Tuna Commission (IOTC), The Western and Central Pacific Fisheries Commission (WCPFC), The Commission for the Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT), The International Commission for the Conservation of Atlantic Tunas (ICCAT) dan lain-lain.
Menyadari perlunya pelestarian tuna sehingga Banyak negara mulai membuat aturan dan prinsip-prinsip pengelolaan perikanan yang berkelanjutan. Di sisi lain peningkatan kesadaran tersebut justru memunculkan peluang bisnis baru yaitu bisnis sertifikasi ramah lingkungan atau dikenal dengan skema ekolabel.
Skema ekolabel berkembang sebagai mekanisme pasar yang mengatur rantai nilai suatu produksi ramah lingkungan dari hulu ke hilir dengan insentif harga premium bagi produsen yang memproduksinya.
Melalui skema ekolabel tersebut diatur hanya untuk produk yang telah disertifikasi dapat masuk ke jaringan retail global. Di pasar perikanan dunia pola ini menjadi tren.
Penerapan sepihak ekolabel oleh jaringan ritel global menjadi hambatan bagi negara berkembang jika dilihat dari sisi perdagangan meskipun bisnis sertifikasi ekolabel bersifat sukarela.
Pemberlakuan ketentuan ketat terhadap produk perikanan dari sisi bebas praktik penangkapan yang ilegal dan destruktif (IUUF) maupun sisi keselamatan konsumsi telah diberlakukan negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan anggota Uni Eropa
Tahun 2011, FAO guidelines on Ecolabelling of Marine Capture Fisheries sebagai rambu untuk ekolabel telah diterbitkan oleh Organisasi Pangan Dunia (FAO). Namun pada pengaturan bisnisnya belum ada yang mengikat.
Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) yang bersifat mengikat anggotanya juga belum mengatur tentang bisnis sertifikasi swasta atau private labelling ini. Akibatnya, bisnis sertifikasi ekolabel perikanan semakin menguat dan berpeluang membangun sistem kartel baru.
Terungkapnya praktik perbudakan dan IUUF yang dilakukan oleh PT Pusaka Benjina Resources yang beroperasi di Benjina, Maluku Utara beberapa waktu lalu benar-benar menyentakkan perhatian internasional. Perusahaan tersebut ternyata terafiliasi dengan perusahaan pengolahan tuna terbesar di dunia yaitu Thai Union Frozen Food (TUFF).
Perusahaan asal Thailand ini termasuk perusahaan terbesar perikanan tuna di dunia. Mampu memasok ikan hingga masuk pasar retail di Amerika Serikat seperti Kroger, Walmart, Safeway hingga jasa distribusi makanan Sysco.
TUFF merupakan pemegang berbagai merk produk konsumsi global seperti Chicken of The Sea, Bumble Bee, John West dan lain-lain. Artinya produk TUUF melenggang bebas di pasar Amerika Serikat dan bersertifikat ekolabel perikanan.
Perlu menjadi perhatian yang serius mengenai skema ekolabel ini agar tidak menjadi salah kaprah dan menjadi bisnis baru. Kasus perbudakan di atas kapal perikanan masih terjadi hingga saat ini karena minimnya pengawasan di lapangan.
Indonesia harus berani dan mampu untuk benar-benar mendorong kerja sama lintas negara di Asia Tenggara dalam menanggulangi praktik IUUF dan keberpihakan pada masyarakat nelayan dan pekerja di atas kapal (ABK).***
Tanggapan