Warga Pulau Wawonii Menolak Tambang, Cara-Cara Ini Selalu Dipakai Pihak Perusahaan untuk Melancarkan Pengerukan Nikel
Pulau Wawonii merupakan pulau yang banyak dihuni Etnis atau suku yang bernama Wawonii. Berada di Sulawesi Tenggara. Pulau ini berhadapan dengan Laut Banda mmemiliki luas pulau 867,58 kilometer persegi.
Mayoritas masyarakatnya bekerja sebagai petani dan nelayan. Pertanian warga didominasi oleh kelapa kopra, cengkeh, dan jambu mete.
Sejak tahun 2013, wilayah ini resmi menjadi kabupaten baru, setelah sebelumnya merupakan wilayah Kabupaten Konawe. Setelah memisahkan diri dari Kabupaten Konawe, Wawonii resmi berganti nama menjadi Kabupaten Konawe Kepulauan, yang terdiri atas tujuh kecamatan. Ibu kota kabupaten terletak di Langara.
Tambang di Wawonii
Ada enam izin usaha pertambangan (IUP) di Pulau Wawonii yang tidak dicabut. Jumlah ini sudah berkurang, sebelumnya ada 15 IUP. Sebagian telah dicabut Pemprov Sulawesi Tenggara setelah masyarakat Pulau Wawonii dan mahasiswa berunjuk rasa di Kendari, menuntut pencabutan semua izin tambang di Pulau Wawonii.
PT Gema Kreasi Perdana (GKP) adalah salah satu dari enam perusahaan dengan izin pertambangan belum dicabut. Perusahaan ini memiliki dua IUP terletak di Wawonii Barat, Tengah, dan Wawonii Tenggara.
Dua IUP terbit 14 November 2008 dan berakhir 14 November 2028, dengan luas masing-masing 954 hektar dengan galian mineral nikel.
Perusahaan ini ditolak mayoritas masyarakat. Namun, perusahaan berusaha bertahan dan menggunakan beragam cara agar bisa menambang di Pulau Wawonii, termasuk upaya paksa seperti menggusur lahan masyarakat untuk pembangunan jalan tambang (hauling).
Penggusuran lahan dilakukan setelah gagal menggoda masyarakat untuk melepas lahan dengan ganti lahan selangit. Penggusuran lahan terjadi di Roko-Roko Raya, Wawonii Tenggara.
Lahan yang tergusur sudah dikuasai masyarakat turun temurun selama puluhan tahun. Warga bayar pajak bumi dan bangunan (PBB) setiap tahun, bahkan memiliki sertifikat sebagai bukti kepemilikan hak. Lahan yang tergusur juga produktif, dengan tanaman seperti kelapa dan mente.
Penggusuran dan Kriminalisasi, Mobilisasi Pro Tambang, hingga Aparat Kepolisian yang Seolah Selalu Berpihak ke Perusahaan
Pada 22 Agustus 2019 telah terjadi penggusuran lahan atas kepemilikan warga bernama La Amin, ini terjadi di malam hari. Penggusuran terjadi setelah gagal membujuk La Amin untuk melepas lahannya.
Pada 3 Maret 2022 terjadi kembali penggusuran lahan milik masyarakat. Masyarakat yang menolak dihadapkan dengan masyarakat pro tambang yang dimobilisasi perusahaan.
Aparat Kepolisian dan TNI juga hadir di lokasi, namun terlihat berpihak pada perusahaan tambang. Banyak perempuan yang menolak tambang pingsan karena ditarik dan terinjak saat mereka mencoba menghalau alat berat yang mau menggusur lahan warga.
Dalam kasus Wawonii, masyarakat nampak berjuang sendiri, tak ada dukungan pemerintahan daerah, mulai dari level terendah seperti kepala desa sampai bupati
Upaya yang biasa dilakukan oleh pihak perusahaan tambang:
- Perusahaan menggunakan Pasal 162 UU Pertambangan Mineral dan Batubara untuk melakukan kriminalisasi kepada warga yang menolak tambang.
- Pasal 333 ayat (1) KUHP “Barangsiapa dengan sengaja dan melawan hukum merampas kemerdekaan seseorang atau meneruskan perampasan kemerdekaan yang demikian, diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun.”
- Kriminalisasi ini menciptakan ketakutan. Sebagian masyarakat mengungsi, takut ditangkap dan ditahan. Selain itu, masyarakat terpecah, dan dibuat konflik satu sama lain, terpolarisasi: pro dan kontra.
Aspek Hukum yang Dilanggar Pihak Perusahaan PT GKP
Pertama, perusahaan ini menambang di pulau kecil yang sebetullnya terlarang menurut undang-undang. Merujuk Undang-Undang Nomor 1/2014 tentang perubahan atas UU Nomor 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, pemanfaatan pulau kecil tidak diprioritaskan untuk aktivitas pertambangan.
Kedua, merujuk dokumen Perda No 9/2018 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Sulawesi Tenggara 2018-2038. Pulau Wawonii tidak untuk pertambangan. Dalam perda ini, Pulau Wawonii beserta perairan di sekitar untuk pemanfaatan umum, yaitu perikanan tangkap.
Ketiga, izin tambang PT GKP dan seluruh perusahaan tambang di Konawe Kepulauan terbit ketika Konawe Kepulauan masih jadi wilayah administrasi Kabupaten Konawe. Seluruh proses penerbitan izin tambang tidak diketahui warga, berlangsung dalam ruang tertutup dan diduga penuh dengan praktik koruptif.
Terakhir, PT GKP telah melakukan perampasan lahan dengan menggusur lahan masyarakat untuk membuat jalan tambang. Padahal, lahan-lahan itu adalah lahan pertanian yang sudah dikuasai turun-temurun dan dibayar pajak setiap tahun.***
Baca juga: Demi Nikel dan Kendaraan Listrik, Kemelut Tailing di Dasar Laut
Sumber: Jatam, Mongabay
Tanggapan