Demi Nikel dan Kendaraan Listrik, Kemelut Tailing di Dasar Laut

Perhatian masyarakat dunia terhadap perubahan iklim mendorong pelaku industri untuk mengubah kebijakan serta memunculkan produk alternatif yang digadang-gadang sebagai pilihan berkelanjutan bagi keberlangsungan kehidupan di planet Bumi.

Meskipun demikian, segala usaha yang dilakukan umat manusia sebagai upaya pengadaan produk industri ‘hijau’ atau ‘berkelanjutan’ tidak akan terlepas dari proses ekstraksi bahan mentah sebagai bahan baku utama gerigi roda industri agar dapat terus berjalan.

Kendaraan listrik merupakan salah satu pilihan moda transportasi yang dianggap lebih ramah lingkungan serta tidak mennghasilkan gas emisi rumah kaca. Namun seperti moda industri lainnya, industri kendaraan listrik masih memiliki ketergantungan pada ekstraksi sumber daya mentah sebagai penunjang produksi komponen vital kendaraan.

Salah satu komponen utama dari kendaraan listrik yang membuatnya dianggap lebih ramah lingkungan adalah keberadaan baterai sebagai sumber energi utama penggerak motor kendaraan listrik.

Kemunculan kendaraan listrik serta peningkatan tren ‘kendaraan ramah lingkungan’ di masyarakat menimbulkan kenaikan permintaan produk yang secara konsekuen meningkatkan permintaan akan bahan mentah untuk kebutuhan produksi kendaraan listrik.

Indonesia sebagai negara dengan kekayaan alam melimpah memiliki salah satu sumber daya alam yang umum digunakan sebagai bahan baku utama dari baterai kendaraan lisrik berupa logam nikel. Dilansir dari laman Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia, ketersediaan sumber daya nikel di Indonesia adalah sebanyak 11,7 miliar ton dengan cadangan sebanyak 4,5 miliar yang 90% diantaranya berada di Sulawesi dan Maluku.

Dilansir dari CNBC Indonesia dalam artikel yang berjudul Permintaan Nikel Bakal TInggi Hingga 2030, Harganya Nanjak! menyebutkan bahwa permintaan nikel dunia akan meningkat pada tahun 2030 hingga mencapai 6.2 juta ton pertahun seiring dengan perkembangan transisi energi terbarukan dan target emisi global lebih rendah.

Kebutuhan akan nikel mendorong pembukaan lahan sebagai konsesi pertambangan nikel pada berbagai kawasan di wilayah Sulawesi dan Maluku. Data yang diperoleh dari Kementerian ESDM menunjukkan bahwa Indonesia memiliki tambang nikel seluas 520,877.07 ha dengan sebaran di Provinsi Maluku, Maluku Utara, Papua, Papua Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Tenggara.

Alih fungsi kawasan hutan menjadi konsesi pertambangan nikel serta dampak negatif dari limbah pertambangan memunculkan perdebatan baru mengenai kendaraan listrik sebagai alternatif otomotif ramah lingkungan.

Dinamika Limbah Pertambangan Nikel    

Tailing merupakan sebutan yang umum ditujukan pada limbah cair yang tersuspensi oleh sedimen hasil ekstraksi bijih logam untuk menghasilkan logam dengan tingkat kemurnian lebih tinggi.

Pada produksi nikel, tailing dihasilkan sebagai limbah dari proses pengluruhan nikel dari bijih limonit dengan kemurnian rendah melalui berbagai pendekatan metode.

Salah satu metode ekstraksi terbaru yang digunakan pada pertambangan nikel di Indonesia adalah dengan metode High-Pressure Acid Leach Technology atau HPAL yang memiliki prinsip berupa peluruhan logam nikel dan cobalt dari bijih limonit menggunakan asam sulfat bertekanan tinggi.

Pengolahan nikel pasca peluruhan adalah melalui dua fase presipitasi, pelarutan, filter dan washing, serta berbagai proses purifikasi, evaporasi, dan kristalisasi dalam siklus proses industri pasca penambangan untuk menghasilkan NiSO4.7H2O sebagai produk dan tailing sebagai limbah.

Arikel dengan judul High Pressure Acid Leaching: A Newly Introduced Technology In Indonesia menyebutkan bahwa tailing sebagai produk sisa dari aktifitas penambangan nikel diketahui memiliki kandungan logam nikel sebanyak 0.114%, kobalt sebanyak 0.014%, Al sebanyak 2.97%, Ca sebanyak 2.86%, Mn sebanyak 0.76%, Cu sebanyak 0.002%, Fe sebanyak 38.6%, Mg sebanyak 0.74%, S sebanyak 5.38%, Zn sebanyak 0.01%, Cr sebanyak 0.94% serta  SiO2 sebanyak 6.6% sebelum dinetralkan.

Penetralan tailing dilakukan dengan basis pengikatan senyawa reaktif pada limbah menjadi senyawa turunan dengan reaktifitas lebih rendah serta penyesuaian pH pada kisaran nilai sebesar 8.1 hingga 8.5.

Pembuangan limbah tailing dengan model DSTP atau Deep Sea Tailing Placement merupakan salah satu pendekatan dari sistem pengolahan limbah hasil penambangan yang dilakukan dengan menempatkan limbah tailing di dasar laut.

Penggunaan DSTP sebagai model pengelolaan limbah tailing haruslah mempertimbangkan aspek lingkungan yang dapat terdampak secara langsung oleh DSTP. Artikel tersebut tidak mencantumkan hasil pengujian serta pembahasan dampak lingkungan terhadap variabel hasil pengujian toxicity leach p (TCLP), lethal concentration (LC50), sampai dengan sub-chronic test terhadap ekosistem lautan dan pesisir sekitar.

Tambang, Limbah, dan Ancaman Lingkungan Hidup

            Dampak limbah pertambangan dirasakan langsung oleh penduduk setempat yang mendiami kawasan Pulau Obi. Dilansir dari Mongabay dalam artikel berjudul Moncer Baterai Kendaraan Listrik, Suram bagi Laut dan Nelayan Pulau Obi [1] pada paruh akhir tahun 2021 buangan limbah hasil pengolahan nikel berupa sedimentasi lumpur menjadi agen kontaminan kawasan sungai dan laut hingga mengakibatkan perubahan warna air menjadi merah kecoklatan.

Limpahan sedimentasi lumpur ke badan air secara konsekuen mengakibatkan penduduk setempat yang bermatapencaharian sebagai nelayan mengalami penurunan hasil tangkapan ikan hingga memaksa mereka melaut lebih jauh atau bahkan beralih profesi menjadi buruh pabrik.

Kesaksian warga setempat yang juga dimuat dalam artikel tersebut menyatakan bahwa sebelum keberadaan tambang dan pembukaan smelter mencari ikan di laut untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga tergolong relatif lebih mudah daripada kondisi pasca pembukaan area konsesi tambang, ditambah dengan penurunan kualitas air hingga berubah merah dikala hujan turun.

Dilansir dari artikel berjudul Perempuan Obi bertahan di tengah gusuran industri nikel: ‘Torang dibuat mati perlahan-lahan’ juga menyebutkan limbah tailing telah mencemari sungai Toduku yang memiliki peran utama sebagai sumber air untuk makan, minum, dan berbagai keperluan rumah tangga lainnya sehingga tidak lagi layak untuk dikonsumsi.

Sungai tercemar. / Foto: Mongabay Indonesia

Harita Group yang membawahi PT Trimegah Bangun Persada dan PT Gane Permai Sentosa selaku pengelola area pertambangan nikel di Pulau Obi menampik adanya permasalahan lingkungan sebagai akibat dari operasi tambang nikel di kawasan tersebut.

Dilansir dari artikel resmi dari laman Trimegah Bangun Persada (TBP) Nickel berjudul Witnessing Harita Nickel’s Wastewater Treatment in Obi Island mengkonfirmasi adanya buangan air sisa limbah ke sungai Todoku yang pada akhirnya mengalir ke laut. Namun perusahaan menyatakan bahwa air limbah tersebut sudah mengalami penanganganan dan proses sedientasi pada cerukan buatan sebelum dialirkan ke sungai.

Harita Group juga menyatakan bahwa limbah yang dibuang ke sungai telah memenuhi ketentuan KLHK melalui Peraturan Menteri nomor 5 tahun 2014 serta menyebut bahwa sumber air yang berada di Kawasi masih layak minum dengan parameter pH sebesar 8.1, Total Dissolved Solid (TDS) sebesar 0.195 g/L serta kadar oksigen terlarut sebesar 8.27 mg/L.

Perusahaan juga menyebut sungai yang berwarna kecoklatan adalah sebagai akibat pantulan sedimen dasar sungai dan menyatakan bahwa airnya sendiri jernih dan mengalir ke laut. Fenomena buangan tailing dan perbedaan kesaksian dari keduabelah pihak berbeda memunculkan keraguan terhadap pengelolaan limbah pertambangan nikel, namun penyempitan ruang hidup dan segenap permasalahan lingkungan yang dialami oleh warga sekitar Pulau Obi merupakan akibat pasti dari pembukaan konsesi tambang di wilayah mereka.

Permasalahan Lingkungan

Artikel ilmiah dengan judul Heavy Metal (Ni, Fe) Concentrationin Water and Histopathological of Marine Fish in the Obi Island, Indonesia menunjukkan bahwa kadar nitrat, ortophosphat, ammonia, besi (Fe), dan nikel (Ni) dalam sampel air dari 4 lokasi berbeda di Pulau Obi menunjukkan kadar melebihi ambang batas aman yang diatur dalam Kep-51/MenKLH/2004 dan USEPA, 1986.

Selain itu juga diketahui bahwa nilai salinitas dan kadar oksigen terlarut dalam air tersebut berada dibawah ambang batas ketetapan yang telah ditentukan sebelumnya. Perolehan hasil lainnya dalam artikel ilmiah tersebut adalah keberadaan penecamaran logam berat sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan hati, pembuluh darah, otot, usus, serta ovarium pada sampel ikan yang diperoleh dari 4 lokasi sampel air diambil.

Temuan tersebut menunjukkan korelasi antara limpahan limbah tambang dengan kandungan logam berat terhadap kondisi fisiologis ikan, dimana bukan tidak mungkin ikan tersebut akan dikonsumsi oleh warga setempat hingga mengakibatkan kerusakan organ sebagai dampak dari akumulasi logam berat di dalam tubuh.

Fenomena ini didukung oleh temuan yang dimuat dalam artikel ilmiah berjudul Ecological Impacts Of Large-Scale Disposal Of Mining Waste In The Deep Sea menunjukkan dampak tailing pada ekosistem bawah laut pulau Lihir dan Misima di Papuan New Guninea.

Penelitian tersebut menemukan bahwa pembuangan tailing dengan metode DSTP mengakibatkan penurunan keanekaragaman organisme kawasan laut tersebut serta dijumpai adanya perubahan komposisi organisme pada tingkatan takson yang lebih tinggi.

Tailing juga mengakibatkan penurunan fauna bentik, metazoan meiofauna, dan makrofauna pada cakupan wilayah seluas 20 km dari titik awal pembuangan serta mempengaruhi komunitas organisme bawah laut hingga kedalaman 2000 meter.

Penelitian di kawasan tersebut juga menemukan bahwa rekolonisasi kawasan oleh organisme dapat terjadi dalam rentang waktu 3 tiga tahun, meskipun demikian pemulihan kawasan tersebut terkendala oleh keberadaan sedimen sisa tailing yang tidak stabil mengakibatkan proses pemulihan kawasan tersebut menjadi lebih lama.

Upaya Penanganan Limbah

Artikel lain berjudul Biodiversity reduction on contaminated sediments in the sea: contamination or sediment mobility? menyebutkan bahwa penanganan berkelanjutan dapat mengurangi dampak negatif tailing di dasar laut terhadap ekosistem di dalamnya.

Penanganan tersebut meliputi pelepasan tailing dengan kontaminan yang tidak dapat mempengaruhi aspek biologis organisme, penempatan dilakukan pada lokasi yang memliki kestabilan tinggi, serta pemantauan berkala sebelum, saat, dan setelah penempatan tailing.

Penempatan tailing dengan mempertimbangkan aspek kimiawi, fisik, dan biologis kawasan setempat memungkinkan rekolonisasi organisme dan pemulihan kawasan pasca kegiatan penambangan.

Fenomena rekolonisasi dan pemulihan kawasan pasca pembungan limbah tailing dapat diamati pada contoh kasus Batu Hijau Copper And Gold Mine di Sumbawa yang dimuat dalam artikel ilmiah berjudul Recolonisation Of Mine Tailing By Meiofauna In Mesocosm And Microcosm Experiments.

Artikel tersebut menyebutkan bahwa rekolonisasi tailing oleh meiofauna terjadi 40 hari tailing dari bijih yang baru ditambang serta 65 hari setelah penimbunan. Pengujian tersebut menunjukkan endapan tailing mengalami odel rekolonisasi yang menyerupai kontrol setelah 97 hari pengujian.

Selain itu, juga diketahui bahwa rekolonisasi pada tailing tidak bergantung pada penimbunan sedimen dasar laut secara alami. Meskipun demikian perlu diketahui bahwa karakter tailing satu tambang dengan tambang lainnya dapat memiliki perbedaan karakter fisik dan kimiawi signifikan akibat perbedaan model ekstraksi bijih serta penanganan tailing pasca penambangan, sehingga diperlukan kajian menyeluruh dan independen terhadap dampak pembuangan tailing di dasar laut terhadap kemelimpahan biota di dalamnya serta dampak buangan tailing dasar laut terhadap kehidupan warga pesisir.

Penanganan limbah tailing tentunya tidak terlepas dari peran pemerintah selaku pemangku kebijakan dengan keterlibatan secara langsung terhadap regulasi serta peraturan yang mengikat aktivitas pertambangan.

Penegakan undang-undang tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, analisa dampak lingkungan (AMDAL), penanganan limbah B3, kebersihan, baku mutu, pengendalian pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup, serta keanekaragaman hayati secara poraktif oleh berbagai lapisan masyarakat serta penegak hukum.

Pengawasan terhadap undang-undang yang berlaku oleh masyarakat juga perlu dilakukan untuk mencegah adanya ketumpangtindihan hukum serta ketimpangan sosial. Pengawasan tersebut dapat juga dilakukan dengan judicial review terhadap pasal bermasalah seperti UU Minerba No. 3 Tahun 2020, Pasal 162 UU Minerba No. 3 Tahun 2020, UU Minerba Pasal 96 huruf b, serta 128A Naskah UU Cipta Kerja No. 11 Tahun 2020 yang berpotensi menimbulkan kerugian bagi masyarakat setempat.

Kemunculan limbah sebagai akibat langsung dari pembukaan konsesi lahan tambang memerlukan penanganan khusus dengan menggandeng berbagai pihak dari kelompok  akademisi, aktivis lingkungan, pemerintah, warga setempat, investor, serta perusahaan untuk memaksimalkan penyelesaian dampak tailing dari aspek lingkungan, sosial, dan ekonomi.***

Baca juga: Double Burden, Tambang Pasir Laut Galesong Kabupaten Takalar

Editor: J. F. Sofyan

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Tanggapan