Kesan Pertama Memandang Belitong, Ada yang Biru Selain Laut | Ekspedisi Pembela Lautan 2023
Musim angin timur dengan udara yang terik, saya bersama kawan-kawan Ocean Defender Indonesia dan Greenpeace Indonesia pergi menjelajah Pulau Belitung (Belitong) dalam balutan Ekspedisi Pembela Lautan 2023.
Bukan suatu hal yang baru diketahui masyarakat luas, Pulau Belitung adalah pulau yang kaya akan mineral. Tak heran saat kami pergi dari Jakarta melalui jalur udara, kami disuguhkan dengan pemandangan lubang-lubang tambang yang sangat luas. Selain itu, disuguhkan juga pemandangan perkebunan sawit.
Pemandangan yang memukau di pelupuk mata, seakan membentuk relief bumi dengan kolam-kolam berwarna biru yang mengesankan warna yang indah.
Namun bagi saya, pandangan mata tidak sedalam dengan pandangan hati dan pikiran. Terlalu banyak pertanyaan di atas pemandangan lubang-lubang dan kolam air berwarna biru itu.
Kami tiba di Bandara Tanjung Pandan (24/9/2023), setelah 1 jam saja kami terbang dari Bandara Soetta, Tangerang. Dilanjutkan dengan moda transportasi darat (mobil).
Hari pertama kami melakukan perjalanan ini, Kami memulai dengan tancap gas dari Bandara untuk melewati jalan raya yang mulus, melewati pemukiman Belitong, melewati rumah-rumah, dan suasana pepohonan di kiri dan kanan jalan yang dilalui. Tujuan pertama yang kami sambangi adalah kantor Badan Pengelola Geopark Belitong.
Sekitar 25 menit perjalanan, kami tiba di kantor Geopark Belitung. Saya dan tim hendak menggali lebih dalam informasi soal Pulau Belitung.
Kami masuk ke sebuah kantor yang sepanjang dindingnya penuh dengan poster seputar informasi geologi Pulau Belitung.
Kami mendapat banyak informasi mulai dari sejarah peradaban, geologi, biologi, hingga hubungannya dengan kehidupan masyarakat khususnya Pulau Belitung.
Prof Roedy, salah satu peneliti yang kami temui di kantor Geoprak Belitung mengutarakan bahwa Pulau Belitung adalah pulau kecil yang terpisah dari daratan pulau besar seperti Sumatera yang diberkahi, begitu banyak ragam mulai dari geologi, biologi, hingga budayanya.
Menurut Prof Roedy, aktivitas pertambangan timah yang menimbulkan sedimentasi, partikel-partikel hasil dari kegiatan tambang itu justru mengganggu pola alam. Ketika dia mengubah pola bentuk itu pasti akan mengubah pola kehidupan yang akan berkaitan juga dengan antropologi.
Saya mencatat hal menarik untuk kita perhatikan bersama. Pak Tino, yang juga salah satu orang yang menyambut kami di kantor Geopark Belitung, menyoroti dampak jangka panjang dari pertambangan timah di Belitung ini.
Menurut Pak Tino, selain dampak terhadap lingkungan, laut, dan alam, hal yang perlu kita perhatikan bersama adalah pada akhirnya dampak buruk ini kembali ke manusia. Misalnya terhadap aspek mental dan medis masyarakat yang terlibat dalam aktivitas pertambangan.
“Di Belitung Timur misalnya, kami punya SLB (Sekolah Luar Biasa) setiap tahun semakin megah, nah ini ada apa? Ada muridnya tambah banyak, tambah banyak. Ada yang mengalami keterbelakangan mental, autis, kemudian yang tumbuh kerdil,” ujarnya.
“Tambang juga tidak hanya melibatkan pria, tetapi juga perempuan, ibu-ibu. Ketika mereka menambang, bikin terowongan-terowongan, itu kan mereka berendam. Mereka rentan terpapar radioaktif, debu silika, dan itu bagian sistem reproduksinya terndam pula kan dan kontak langsung dengan radioaktif dan itu akan berdampak jangka panjang. Karena timah ini kan juga membungkus bahan-bahan lain atau beriringan dengan mineral-mineral lainnya yang mengandung radioaktif. Ketika mereka berkontak langsung dalam jangka panjang, 15 – 30 tahun, nah berpengaruhnya ya mulai sekarang-sekarang kita rasakan, namun belum ada kecurigaan dari pemerintah daerah. Tetapi kami melihat data rujukan pasien kanker dari Belitung ke Jakarta itu luar biasa sekali,” ujarnya.
“Contoh dampak terhadap keanekaragamann hayati, misalnya capung. Ketika capung tercemar logam berat dia tidak bisa terbang untuk kawin. Di Belitung kita sempat kelihangan capung itu lama, karena mereka tercemar logam berat,” ujarnya.
Saya cukup merinding mendengarnya, belum lagi jika kita berbicara siapa sebenarnya pemain-pemain tambang ini, dan siapa saja nama besar penyokong dibaliknya, dan bagaimana secara keuntungan yang didapat daerah dan masyarakat kecil. Apakah benar keuntungannya terdistribusi secara adil? Atau hanya segelintir orang saja yang meraup keuntungan? Atau bahkan ternyata negara lain yang mengambil keuntungan?
Singkat cerita, obrolan panjang Tim Ekspedisi Pembela Lautan 2023 bersama kawan-kawan dari Belitong Geopark harus kami sudahi karena waktu semakin larut dan tidak terasa. Kami bersyukur mendapat kenalan baru di Belitong yang sangat paham dari sisi keilmuan geologi.
Setelah mengabadikan momen pertemuan dengan foto bersama, lantas kami pamit untuk menuju ke tempat istirahat, mempersiapkan energi untuk kegiatan di hari selanjutnya. ***
Tanggapan