Laut Pulau Belitung “Sakit”! Siapa yang Harus Mengobati?

Perkenalkan! Aku Fadhil, aku adalah pemuda yang sangat menyukai kegiatan di alam bebas. Rasa suka itu sudah dipupuk sedari dulu, ketika aku masih kecil dan kakekku masih hidup.

Aku sering menelusuri sawah-sawah dan hutan yang terletak di pinggiran Bogor bersama kakek hingga menjelang gelap, lalu pulang sambil diteriaki nenek dan ibuku “KENAPA BARU PULANG?!”.

Aku bersama kakek dan keluargaku juga sering bertamasya ke pantai di daerah Banten. Membuat cintaku pada lautan semakin menggebu-gebu. Masa-masa itu adalah masa yang sangat indah, aku hanya menikmati cantiknya ibu pertiwiku tanpa mengetahui seberapa serius penyakit yang diidapnya.

Kesukaanku akan alam bebas yang dipupuk sedari kecil tumbuh mengakar ke jantungku, memunculkan benih-benih cinta ke hati dan organ tubuhku hingga membuatku menyadari bahwa kecintaanku pada alam hanyalah omong kosong belaka jika tanpa implementasi atas cinta ini.

Kemudian beberapa bulan lalu aku bergabung bersama Ocean Defender yang menjadi salah satu unit aksi di Greenpeace Indonesia. Berharap lewat organisasi ini aku dapat mengimplementasikan kecintaanku pada alam bebas, terutama kepada laut.

Ekspedisi Pembela Lautan 2023, Ocean Defender
Ekspedisi Pembela Lautan 2023, Ocean Defender di Pulau Belitung. / Foto: Jibriel Firman / Greenpeace

Pada 26 September 2023, aku terpilih bersama 8 orang tim Ocean Defender untuk menelusuri Pulau Belitung. Memori tentang film Laskar Pelangi yang menyuguhkan keindahan alam berupa laut dan beragam lanskap pantai belitung seketika berubah digantikan memori baru tentang penyakit yang diidap oleh Pulau Belitung sesaat sebelum landing di bandara H.A.S Hanandjoeddin Belitung.

Bagaimana tidak? Kami disuguhi langsung penyakit Pulau Belitung, yaitu lubang-lubang bekas tambang yang berada di bawah pesawat kami, Membuatku berpikir “bagaimana ekosistem di Pulau Belitung dapat bertahan?“.

Lubang-lubang bekas tambang yang ditinggalkan begitu saja
Lubang bekas tambang di Belitung Timur. / Foto: Jibriel Firman / Greenpeace

Pulau Belitung memiliki penyakit yang amat serius, yaitu “tambang”. Pertambangan yang begitu masif dan tidak terkontrol dapat menyebabkan kerusakan yang panjang dan luas.

Kerusakan lahan akibat pertambangan dapat terjadi selama kegiatan pertambangan maupun pasca pertambangan. Dampak yang ditimbulkan akan berbeda pada setiap jenis pertambangan, tergantung pada metode dan teknologi yang digunakan (Direktorat Sumber Daya Mineral dan Pertambangan, 2003).

Kebanyakan kerusakan lahan yang terjadi disebabkan oleh perusahaan tambang yang menyimpang dari ketentuan yang berlaku dan adanya penambangan tanpa izin (PETI) yang melakukan proses penambangan secara liar dan tidak ramah lingkungan (Kementerian Lingkungan Hidup, 2002). 

Semakin besar skala kegiatan pertambangan, makin besar pula areal dampak yang ditimbulkan. Perubahan lingkungan akibat kegiatan pertambangan dapat bersifat permanen, atau tidak dapat dikembalikan kepada keadaan semula (Dyahwanti, 2007).

Saat ini ada sekitar 12.000 kolam bekas tambang timah atau sekitar 20.078,1 Hektare lahan kritis. Mirisnya lagi, pertambangan ini sudah terjadi selama ratusan tahun dan masih berlangsung hingga kamu membaca tulisan ini.

Kuat-kuatkan hatimu, berikut ini adalah beberapa dampak atau gejala yang muncul akibat “penyakit” tambang ini:

1. Kerusakan Hutan Hujan Tropis

Pulau Belitung memiliki sejumlah hutan hujan tropis yang penting dalam menjaga ekosistem pulau dan melindungi keanekaragaman hayati. Aktivitas tambang telah mengakibatkan deforestasi yang signifikan.

Penebangan pohon untuk membebaskan lahan tambang telah merusak ekosistem hutan, mengurangi habitat satwa liar, dan mengancam beberapa spesies endemik yang mendiami pulau ini, seperti Pelilean (Tarsius Bancanus Saltator).

2. Air Tanah Terkontaminasi

Aktivitas pertambangan memerlukan penggunaan bahan kimia yang berpotensi mencemari air tanah. Limbah tambang beracun dapat meresap ke dalam tanah dan mencemari sumber air tanah yang digunakan oleh masyarakat setempat. Ini dapat mengancam kesehatan masyarakat dan keberlanjutan sumber air minum.

3. Erosi Pantai

Penambangan pasir dan batu di pesisir Pulau Belitung dapat menyebabkan erosi pantai yang signifikan. Ini berdampak negatif pada ekosistem pesisir dan dapat meningkatkan risiko banjir.

Pantai yang semula berpasir putih indah berubah menjadi pemandangan yang rusak akibat aktivitas tambang. Pada 2017, Belitung pernah terendam banjir besar pertama kalinya yang berlangsung cukup lama.

Voice Of America, Belitung flood (17/07/2017)
Berita banjir paling parah di Pulau Bellitung. / Gambar: Tangkapan layar situs Voa

4. Polusi Udara

Operasi tambang juga menghasilkan polusi udara. Debu dan partikel berbahaya yang dilepaskan ke udara dapat meracuni lingkungan dan memengaruhi kesehatan manusia. Terutama, para pekerja tambang dan penduduk sekitar area tambang terpapar risiko tinggi terhadap dampak polusi udara ini.

5. Kehancuran Lanskap

Pulau Belitung terkenal dengan formasi batuan granit yang indah. Namun, aktivitas tambang telah merusak lanskap batuan yang unik ini. Bukit-bukit granit yang sebelumnya megah sekarang tergali dan terkelupas, secara automatis mengikis keindahan alam pulau.

6. Gangguan Sosial dan Budaya

Tambang juga memiliki dampak sosial dan budaya yang signifikan. Aktivitas tambang seringkali mengakibatkan perpindahan penduduk lokal, kerusakan terhadap warisan budaya, dan pergeseran ekonomi lokal.

Masyarakat adat dan budaya setempat terancam oleh transformasi ekonomi dan budaya yang diinduksi oleh tambang. Selain itu, hampir disetiap tempat yang menjadi area pertambangan, sering terjadi konfllik sosial di antara masyarakat sekitar sendiri. Biasanya, terkait konflik pro dan kontra tambang. Bahkan pada beberapa kasus, sudah menjadi rahasia umum bahwa konflik horizontal (di antara masyarakat akar rumput) sengaja diciptakan oleh pihak-pihak pebisnis untuk memuluskan bisnisnya.

7. Kehancuran Ekosistem Laut

Pertambangan di Belitung belakangan ini masif terjadi di perairan, baik itu sungai maupun laut. Penambang menggunakan kapal keruk (dredging) dan kapal isap (suction dredging). Hal ini dapat merusak ekosistem di laut dan sungai karena kapal ini dapat mengeruk dan mengisap hingga 50 meter di bawah permukaan laut yang menyebabkan hancurnya ekosistem padang lamun, terumbu karang, dan area-area penting lainnnya yang menjadi habitat bagi biota-biota laut.

Penambang timah di Belitung
Penambang timah di laut Pulau Belitung. / Foto: Yudi Amsoni / Masyarakat dan Aktivis di Pulau Belitung

Berarti, sudah separah apa penyakit yang diderita Pulau Belitung? Kalau diibaratkan dengan penyakit kanker, maka Pulau Belitung sudah memasuki stadium 3. Artinya, masih ada harapan bagi Pulau Belitung untuk dilindungi.

Apa Tindakan Mendesak untuk Mengobati Pulau Belitung?

Kanker seperti ini biasanya akan ditangani dengan kombinasi beberapa jenis terapi, seperti operasi, kemoterapi, radioterapi, terapi hormon, dan sebagainya tergantung jenis kankernya sendiri. Kalau “Penyakit” tambang? Siapa yang harus menyembuhkan? Bagaimana cara menyembuhkannya?

Jawaban klisenya adalah “kita semua”. Namun ternyata beberapa solusi untuk menyembukan penyakit ini adalah lewat beragam regulasi dari pemerintahan. Berikut ini adalah “obat” dari penyakit tambang yang harus segera dijalankan dengan serius oleh pemerintah.

1. Penegakan hukum yang tidak pandang bulu. Pemerintah tidak boleh membiarkan tambang-tambang ilegal beroperasi, dan harus segera ditindak.

2. Pemberian izin tidak boleh serampangan. Pemerintah harus memikirkan jangka panjang dan memberikan syarat hingga aturan ketat untuk perizinan soal pertambangan.

3. Upaya konservasi dan restorasi sebagai solusi pemulihan. Untuk mengatasi kerusakan lingkungan akibat tambang di Pulau Belitung, diperlukan tindakan yang tegas dan berkelanjutan kepada pelaku pertambangan atas kewajiban pemulihannya.

4. Pengawasan ketat. Diperlukan pengawasan yang ketat terhadap perusahaan tambang dan pematuhan terhadap peraturan lingkungan yang ketat.

5. Diversifikasi ekonomi. Masyarakat setempat harus didorong untuk mencari alternatif ekonomi selain pertambangan yang ekstraktif. Pemerintah harus mampu memberdayakan ekonomi regeneratif kepada masyarakat seperti pariwisata, pertanian, dan perikanan dengan kaidah-kaidah yang berkelanjutan.

6. Pendidikan dan kesadaran lingkungan: Pendidikan dan kesadaran lingkungan harus ditingkatkan, baik di kalangan masyarakat setempat maupun pekerja tambang, untuk memahami pentingnya pelestarian lingkungan.

Tindakan Masyarakat yang Jauh dari Area Pertambangan

Lalu, kita sebagai masyarakat yang tidak hidup langsung di area pertambangan, apa aja sih yang bisa kita lakukan?

Masyarakat umum dapat memainkan peran penting dalam mengatasi dampak tambang di Pulau Belitung dengan mengambil langkah-langkah sebagai berikut:

1. Kesadaran dan Partisipasi untuk Lingkungan

Tingkatkan kesadaran masyarakat tentang dampak buruk pertambangan terhadap lingkungan dan kehidupan sehari-hari . Ini dapat dilakukan melalui kampanye informasi, seminar, dan program pendidikan lingkungan.

Ajak masyarakat untuk terlibat dalam upaya pemantauan lingkungan dan pelaporan dampak negatif tambang. Masyarakat dapat membantu dalam mengidentifikasi masalah dan melaporkannya kepada otoritas yang berwenang.

2. Pemantauan Lingkungan dan Sebarkan Informasi

Bergabung atau berpartisipasi dengan kelompok-kelompok lingkungan setempat atau LSM yang berfokus pada pelestarian lingkungan. Ini dapat memberikan dukungan dan kekuatan kolektif untuk mengawasi aktivitas tambang dan melestarikan lingkungan sebagai “pengobatan” dari penyakit tambang.

3. Mendukung Ekonomi Berkelanjutan

Mendukung peguatan ekonomi sektor pertanian, perikanan, pariwisata berkelanjutan, dan lainnya yang memiliki sifat regeneratif.

Mendukung dan mengonsumsi produk-produk lokal dan bisnis kecil di Pulau Belitung untuk membantu pertumbuhan ekonomi lokal yang berkelanjutan dan merata.

4. Partisipasi dalam Pembuatan Kebijakan

Masyarakat dapat berpartisipasi dalam proses pembuatan kebijakan terkait tambang dan lingkungan, baik melalui konsultasi publik, pertemuan, atau dengan memberikan masukan kepada pemerintah setempat.

5. Aktivitas Pelestarian Lingkungan

Masyarakat dapat terlibat dalam tindakan-tindakan yang berkesadaran lingkungan seperti gaya hidup hijau (tidak kosumtif, tidak berlebihan), penanaman pohon, membersihkan pantai, dan program-program pelestarian alam lainnya.

Jika ada sumber daya alam yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari, pastikan penggunaannya berkelanjutan dan tidak merusak lingkungan.

Ikut berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan yang diadakan oleh organisasi atau kelompok lingkungan yang ada di sekitar kita.

Pulau Belitung adalah harta karun alam yang perlu dilindungi dengan baik. Kerusakan lingkungan akibat tambang di pulau ini adalah masalah yang memerlukan perhatian serius dari pemerintah, perusahaan tambang, dan masyarakat untuk menjaga keindahan dan keberlanjutan Pulau Belitung.***

Baca juga: Serial Cerita Ekspedisi Pembela Lautan 2023

Editor: J. F. Sofyan

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Tanggapan