Melawan “Destructive Fishing” di Perairan Indonesia

Kekayaan alam Indonesia khususnya laut bukan saja menjadi kebanggaan semata, tetapi memunculkan kekhawatiran terhadap ancapan destructive fishing yang dilakukan oleh banyak orang.

Kejadian ini terus menerus terjadi setiap tahunnya, dilansir dari “Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP)” kurang lebih sebanyak 33 kasus destructive fishing terjadi di 5 bulan awal sepanjang 2019, diantaranya berlokasi di Lombok Timur (NTB), Kupang (NTT), Kapoposang, Luwuk (Sulsel), Raja Ampat (Papua Barat), Lampung, Kalimantan Selatan, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat.

Umumnya destructive fishing yang dilakukan oleh oknum masyarakat yakni menggunakan bahan peledak (bom ikan), dan penggunaan bahan beracun untuk menangkap ikan. Sehingga penggunaan bahan-bahan berbahaya tersebut mengakibatkan kerusakan terumbu karang dan ekosistem di sekitarnya, serta menyebabkan kematian berbagai jenis dan ukuran yang ada di perairan tersebut.

Dampak yang ditimbulkan akibat destructive fishing tidak kalah dibandingkan dampak akibat illegal fishing. Sebagai contoh, penggunaan bom dan racun ikan dengan target ikan-ikan karang mengakibatkan kerusakan dan kematian terumbu karang di sekitarnya.

damage
Terumbu karang rusak. / Foto: Ria Qorina Lubis / Greenpeace

Menurut catatan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) melalui Pusat Penelitian Oseanografi (P2O) menyatakan bahwa penelitian dan pemantauan terumbu karang terhadap 1.067 site di seluruh Indonesia  menunjukkan bahwa terumbu karang dalam kategori jelek sebanyak 386 site (36.18%), kategori cukup sebanyak 366 site (34.3%), kategori baik sebanyak  245 site (22.96%) dan kategori sangat baik sebesar 70 site (6.56%).

Secara umum, terumbu karang dalam kategori baik dan cukup mengalami tren penurunan, namun sebaliknya kategori sangat baik dan jelek mengalami peningkatan apabila dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

Sementara itu, berdasarkan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan menyebutkan bahwa setiap orang dilarang memiliki, menguasasi, membawa, dan/atau menggunakan alat penangkapan ikan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan di kapal penangkap ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia. Apabila diketahui dan didapatkan cukup bukti terdapat oknum masyarakat yang melakukan kegiatan penangkapan ikan dengan cara merusak, maka dapat dikenakan sanksi pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Rp. 2 milyar.

Hal ini sangat berbahaya bagi keberlangsungan jutaan ekosistem yang ada di laut, sebuah mahakarya Tuhan Yang Maha Esa yang sangat berharga.

Kebutuhan demi kebutuhan memanglah harus dipenuhi oleh setiap makhluk hidup, termasuk manusia. Akan tetapi perlu juga pemahaman bahwa perlu adanya sikap yang bijak dalam memperlakukan sesuatu yang ada di muka bumi ini.

Termasuk cara kita mengolah sesuatu, salah satunya dalam memanfaatkan sumber daya alam yang ada di bumi ini. Penting bagi setiap manusia untuk saling mengingatkan seksama terhadap sikap dan perilaku yang buruk.

Termasuk cara untuk menangkap ikan yang baik, jika melihat kasus yang terjadi rasanya kita sudah punya banyak gambaran mengenai latar belakang penyebabnya. Regulasi yang diterapkan haruslah tegas ketika jalur sosialisasi sudah tidaklah penting bagi mereka.

Regulasi harus siap membelenggu mereka, khususnya orang-orang yang yang bersikeras melakukan destructive fishing secara sengaja padahal mereka sudah berkali-kali diberikan pemahaman tentang itu.

Mungkin sedikit berbeda kasusnya ketika berjumpa dengan kalangan orang yang melakukannya dengan esensi kebutuhan sehari-hari atau bisa dikatakan sebagai nelayan kecil.

Penting adanya sosialisasi untuk pemahaman tentang sebab akibat dari perlakuan yang dapat merusak ekosistem yang ada. Sosialisasi juga dapat dilakukan berdasarkan pemetaan wilayah dengan karakteristik yang pasti berbeda-beda.

Masyarakat Indonesia adalah masyarakat berbudaya, bukan tidak mungkin apabila memaksimalkan pendekatan pada masyarakat sesuai dengan karakteristik wilayahnya akan memberikan dampak positif terhadap hasil yang dilakukan.

Ketika hukum ada dan ditegakan tetapi tidak membuat hal itu berubah, artinya ada sesuatu yang harus kita cari untuk sebagai bahan dalam penyelesaian masalah ini. Hukum memang ada dan menjadi pedoman dalam berprilaku agar tidak ada sikap yang merugikan lingkungan sekitar.

Aktivis Greenpeace menyampaikan pesan untuk perlindungan laut. / Foto: Awaludinnoer / Greenpeace

Untuk menyelesaikan problematika terhadap destructive fishing memang memerlukan konsistensi yang kuat, adanya pendampingan jangka panjang pada wilayah-wilayah tersebut, sehingga kerjasama yang dibangun oleh pemerintah atau organisasi-organisasi lingkungan dapat berjalan efektif dan terus di monitoring progresnya.

Kegiatan penyelamatan ekoskistem bawah laut tersebut sejalan dengan apa yang dilakukan oleh Greenpeace Indonesia sebagai organisasi kampanye penyelamatan alam.

Melalui Ocean Defender (Pembela Lautan) yang bekerja sama dengan MSDC (Marine Science Diving Club) Universitas Hasanuddin, selanjutnya melakukan pengamatan dan dokumentasi bawah laut tepatnya di wilayah kepulauan Spermonde, Sulawesi Selatan yang disajikan dalam bentuk diskusi publik terkait ”Peran Terumbu Karang dan Ancaman yang Dihadapi Bagi Keberlanjutan Ekosistem Laut,” di Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin pada 02 September 2019 lalu.

Berdasarkan pengamatannya, Ocean Defender Greenpeace Indonesia mengatakan bahwa kerusakan disebabkan oleh bom dan bius. Bahkan pada saat mereka sedang melakukan penyelaman terdengar suara dentuman bom ikan sebanyak 3 kali. Selain itu menurut Syahputrie Ramadhanie selaku Koordinator Ekspedisi Pembela Lautan “Kesehatan terumbu karang di kawasan Spermonde maupun di berbagai daerah lain di Indonesia, harus menjadi perhatian serius pemerintah, karena perannya sangat strategis bagi kehidupan pesisir,”

Spermonde / Damage
 Pengamatan kerusakan terumbu karang. / Foto: Ria Qorina Lubis / Greenpeace

Melihat upaya yang telah dilakukan, memang perlu adanya pengawasan yang sangat ketat tanpa memberikan celah sedikitpun untuk orang dapat berbuat destructive fishing.

Sosialisasi serta edukasi secara berjangka juga perlu dilakukan untuk membangun kesadaran dan rasa memiliki lebih.

Selanjutnya membentuk kerjasama yang kuat dengan masyarakat serta menciptakan pendapatan lebih untuk mendorong ekonomi masyarakat tanpa harus melakukan destructive fishing yang menjadi landasan sebagai kebutuhan dalam segi kuantitas.

Melalui program-program positif yang dilakukan oleh siapapun dapat disisipkan rantai dasar sebagai gambaran darimana asal ikan-ikan yang kita makan, dan bagaimana proses penangkapan ikan tersebut dilakukan. Sehinga dirasa akan memberikan pemahaman pada masyarakat bahwa apa yang kita konsumsi adalah sesuatu yang tidak mengorbankan kehidupan lain dari ekosistem disekitarnya.***

Baca juga: Ekspedisi Pembela Lautan 2019: Sulawesi Selatan Darurat ‘Destructive Fishing’

Editor: J. F. Sofyan

Artikel Terkait

Tanggapan