Perjuangan Relawan Tim Cegah Api Indonesia Padamkan Kebakaran Hutan
Halo teman pembela lautan perkenalkan nama saya Doni Iswandi, panggilanan akrab saya Kidong. Saya berasal dari kota Pekanbaru. Pada kesempatan kali ini saya ingin bercerita sebuah pengalaman saya pada saat bergabung menjadi bagian dari tim cegah api Greenpeace sejak 2016.
Kota Pekanbaru merupakan kota terbesar di Propinsi Riau, kota ini dikelilingi oleh hutan dan perkebunan sawit. Karena kota-ku cukup jauh dari laut tentu saya tidak akan bercerita mengenai polusi di laut melainkan kebakaran hutan dan polusi asapnya yang berdampak pada kesehatan kita dan juga keberlangsungan hidup satwa liar .
Pekanbaru merupakan kota besar dan menjadi sentra ekonomi di Pulau Sumatra dengan tingkat pertumbuhan dan urbanisasi yang pesat. Hal ini memicu berkembangnya berbagai macam industri skala besar dan menjadikan Pekanbaru sebagai salah satu kota dagang .
Pada saat itu terjadi bencana asap terburuk tahun 2015 situasi krisis kebakaran hutan dan lahan yang selalu terjadi setiap tahun ini membuat Greenpeace bergerak untuk membentuk Tim Cegah Api di tahun 2016. Terdiri dari 25 orang yang tidak hanya dari Riau tapi juga ada dari Kalimantan dan Jakarta .
Awal bergabung kerena saya merasa senang bersosialisasi, bergaul dengan orang banyak dan juga saya suka berorganisasi hingga akhirnya saya bertemu dengan seorang kawan yang juga dari Greenpeace kemudian mengajak saya menjadi salah satu dari tim cegah api greenpeace Indonesia .
Kebetulan saya juga merasa khawatir dengan kondisi Pekanbaru yang selalu berkabut asap. Saya merasa perlu untuk mengambil bagian dari perubahan ini. Motivasi saya untuk melindungi hutan Indonesia agar anak cucu saya nanti bisa menikmati dan bisa menghirup udara yang bersih, bukan mengirup racun dari asap hutan yang terbakar.
Setelah melalui proses perekrutan, Tim Cegah Api telah menjalani banyak pelatihan mulai dari pelatihan tentang pencegahan api di lahan gambut, investigasi potensi kebakaran, edukasi pencegahan kebakaran, pengawasan terhadap pengelolaan lahan gambut, kemudian pelatihan turun ke lapangan untuk memadamkan si jago merah.
Kami juga bekerja sama dengan masyarakat di area terdampak untuk melakukan pemetaan, mengawasi lahan dan pemantauan titik api. Kami juga bekerja untuk mengenalkan teknik pencegahan kebakaran kepada warga di pemukiman, murid sekolah, lingkungan konsesi, juga banyak kegiatan lainnya.
Kesan pertama saya pada saat memadamkan api sangat senang karena bisa langsung turun ke lapangan karena biasanya hanya bisa melihat dari tv dan media sosial. Hal ini membuat saya merasa bertambah manfaat karena banyak wawasan, pengalaman dan juga persaudaraan karena telah membantu sesama .
Walaupun Keadaan di lokasi membuat saya miris dan sedih. Ditambah kondisinya termasuk sangat berbahaya jadi kita harus melakukan prosedur dan menggunakan alat pelindung diri yang aman untuk memasuki titik api. Kondisi di lokasi cukup sulit karena tidak ada akses jalan buat kendaraan, kita harus memasuki tempat itu dengan cara berjalan kaki ,dan menggotong peralatan pemadam kebakaran .
Peralatan yang dibawa untuk ke lapangan cukup lengkap, selain perlengkapan pemadaman, ada juga logistik untuk kebutuhan kami seperti bahan makanan, minuman dan juga obat-obatan. Hal yang paling penting yaitu kami harus tetap menggunakan PPE (Personnel Protective Equipment) .
Cerita selama disana yang cukup menyentuh saya melihat langsung rumah warga terbakar dan hati ini terasa sedih dan marah dengan oknum yang tidak bertangung jawab, yang membuka lahan dengan cara membakar. Hutan merupakan sumber kehidupan warga telah di bakar, di tambah warga harus menanggung akibat kerugian secara materi, fisik dan juga mental akibat krisis tersebut
Semoga tidak ada kebakaran hutan lagi, semoga oknum – oknum yang tidak bertanggung jawab yang membakar hutan di hukum setimpal dengan tidak memilih siapa dia. Pemerintah harus lebih transparan menyampaikan proses penegakkan hukum kasus kebakaran hutan dan lahan terhadap perusahaan.
Saya Kidong dan saya mengajak kamu semua untuk membantu mewujudkan hutan Indonesia tanpa api !
Co-Writer dan Editor: Annisa Dian Ndari
Tanggapan