Dari Gelombang Eksploitasi ke Pelukan Keadilan

kapal ikan dikerubungi burung camar

Jakarta memulai hari itu dengan langit mendung yang menggelayut di atas Gedung Mahkamah Konstitusi. Di dalam bangunan megah itu, dengan pilar-pilar marmer yang berdiri tegap, sebuah keputusan besar akan dilahirkan. Keputusan yang akan membawa perubahan besar bagi ribuan pelaut migran Indonesia.

Suasana di ruang sidang terasa tegang. Hakim Ketua Mahkamah Konstitusi, Suhartoyo, berdiri di mimbar dengan sorot mata yang penuh ketegasan. “Menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” katanya dengan nada yang menggema. Kata-kata itu disambut keheningan sesaat, sebelum tepuk tangan meriah menggema dari barisan pendukung pelaut migran yang hadir.

Keputusan ini menyangkut Pasar 4 ayat 1 huruf C Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI). Dalam pertimbangannya, Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa hak-hak pelaut migran baik awak kapal niaga maupun perikanan untuk diakui sebagai pekerja migran yang berhak atas perlindungan negara adalah bagian dari konstitusi. Dalil yang diajukan para pemohon, yang meminta pengelompokan pekerja migran menjadi berbasis darat dan laut, dianggap tidak beralasan menurut hukum.

Harimuddin, S,H., Kuasa hukum Tim Advokasi Pelaut Migran Indonesia (TAPMI), menyampaikan apresiasinya usai sidang. “Kami mengapresiasi  Mahkamah Konstitusi yang telah melakukan pertimbangan menyeluruh dan menunjukkan keberpihakan terhadap perlindungan hak asasi manusia pelaut migran,” katanya dengan senyum lega. TAPMI, yang terdiri dari enam serikat pekerja dan tiga kelompok masyarakat sipil, telah lama memperjuangkan hak-hak pelaut migran.

Di sisi lain, Juwarih Sekretaris Jenderal Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), tak dapat menyembunyikan rasa puasnya. “Putusan ini menandai berakhirnya dualisme dan ego sektoral yang selama ini mengorbankan pelaut migran. Kini, kedudukan  mereka sebagai pekerja migran diakui secara tegas, baik dalam hukum nasional maupun internasional, “ujarnya penuh semangat.

Keputusan ini juga membawa angin segar bagi Leonard Simanjuntak, Country Director Greenpeace Indonesia. “Kami mengapresiasi langkah besar ini. Keputusan ini mempertegas komitmen negara dalam melindungi pelaut migran, yang sering menjadi pahlawan tak terlihat di balik kebutuhan global,”ujarnya. Abdi Suhufan dari Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia juga menambahkan, “Pemerintah harus segera menindaklanjuti keputusan ini dengan menyusun regulasi dan program perlindungan yang holistik.”

Namun, di balik sorak sorai kemenangan itu, kenyataan pahit masih menghantui ribuan pekerja migran Indonesia yang tersebar di berbagai penjuru dunia. Data dari organisasi buruh internasional mengungkapkan bahwa lebih dari 4,5 juta pekerja migran Indonesia, termasuk pelaut, telah meninggalkan tanah air untuk mencari penghidupan lebih baik. Sayangnya, sebagian besar dari mereka terjebak dalam situasi eksploitasi. Mereka dipaksa bekerja berjam-jam tanpa upah layak, tinggal di bawah kondisi yang tidak manusiawi, dan kerap menghadapi kekerasan fisik maupun psikologi dari bos-bos mereka di negara-negara tempat mereka bekerja.

Seorang pelaut bernama Luqman (nama samaran), yang pernah bekerja di kapal penangkap ikan milik perusahaan asing, menceritakan kisahnya dengan nada penuh luka. “kami bekerja hingga 18 jam sehari tanpa istirahat, makanan sering kali tidak cukup, dan gaji kami ditahan selama berbulan-bulan. Banyak teman-teman saya yang jatuh sakit, bahkan ada yang meninggal di tengah laut karena tidak ada akses kesehatan, “ujarnya. Luqman adalah satu dari ribuan pekerja migran yang berhasil pulang ke tanah air setelah mengalami perbudakan modern di luar negeri.

Cerita seperti ini tidak jarang ditemukan. Dalam laporan terbaru, organisasi hak asasi manusia menyebutkan bahwa perusahaan-perusahaan asing sering memanfaatkan celah hukum untuk mengeksploitasi pekerja migran, termasuk pelaut. Mereka direkrut dengan janji pekerjaan yang menjanjikan, hanya untuk menemukan kenyataan pahit begitu mereka tiba di negara tujuan. Tanpa perlindungan hukum yang memadai, para pekerja ini terjebak dalam lingkaran eksploitasi yang sulit untuk keluar. 

Muhammad Adna Tianotak, Ketua Umum Serikat Pekerja Pelaut Borneo Bersatu, menyerukan perlunya pengawasan ketat terhadap agen-agen perekrutan yang kerap menjadi pintu masuk eksploitasi ini.” Selamat kepada kawan-kawan pelaut ini! kini adalah saatnya kita mengawal hasil putusan ini demi masa depan pelaut Indonesia yang lebih bermartabat,”tegasnya. Ia juga mengingatkan tentang perlunya pengawasan ketat terhadap manning agency nakal yang selama ini merugikan para pelaut.

Syofyan, Sekretaris Jenderal Serikat Awak Kapal Transportasi Indonesia (SAKTI), menekankan pentingnya ratifikasi dan implementasi konvensi internasional seperti ILO C-188 dan MLC 2006. “Kita perlu kebijakan yang konkret, mulai dari tingkat nasional hingga desa, agar pelaut migran terlindungi di setiap tahap migrasi,” katanya dengan penuh harap.

Di penghujung hari, Gedung Mahkamah Konstitusi yang megah menjadi saksi perjalanan baru bagi para pelaut migran Indonesia. Hari itu bukan sekedar kemenangan di atas kerja hukum, tetapi juga simbol harapan baru. Harapan untuk masa depan yang lebih adil, di mana para pelaut yang mengarungi lautan luas tak lagi berjalan sendiri. Mereka kini berdiri di bawah perlingdungan hukum yang kokoh, sebagai pahlawan yang diakui dan di hormati.

Semoga kita semua mampu menjadi pengawal keadilan, pembawa harapan dan pendukung perubahan. Sebagaimana lautan luas yang tak pernah berhenti mengalir, semangat kita untuk memperjuangkan hak dan martabat manusia pun tak boleh padam. Jangan sekadar menjadi saksi, jadilah bagian dari perjuangan, meski hanya dengan menjaga diri dair bujuk rayu yang menjerat.

Artikel Terkait

Tanggapan