Laut yang Terluka: Potret Krisis Sampah Plastik di Pulau Pari

Saat perahu kayu yang kutumpangi perlahan mendekati dermaga Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta.  Pemandangan yang menantang imajinasiku terbentang di depan mata. Laut biru yang seharusnya memantulkan keindahan langit tampak ternoda oleh gumpalan-gumpalan sampah plastik yang mengapung, bergulung mengikuti arus. Botol, Kantong plastik, hingga potongan-potongan kecil serpihan styrofoam bertebaran seakan berlomba menghuni perairan ini.

Aku menghela napas panjang, merasakan perih di hati. Pikiran pun melayang pada sebuah diskusi yang pernah kudengar. Seorang peneliti, Muhammad Reza Cordova namanya, pernah menyebut bahwa Indonesia kehilangan hingga Rp225 triliun setiap tahun akibat kebocoran sampah plastik ke laut. Pernyataanya tergiang-ngiang di di kepalaku, menambah beban rasa bersalah yang kini kurasakan sebagai bagian dari manusia yang ikut andil dalam kerusakan ini.

Saat aku berjalan menyusuri pantai Pulau Pari, langkahku terhenti di depan sekelompok relawan yang sibuk mengumpulkan sampah dari garis pantai. Kantong-kantong plastik besar mereka penuh oleh serpihan botol, potongan kantong plastik, dan berbagai jenis limbah lainnya. Aku menyapa salah satu dari mereka, seorang laki-laki muda dengan topi jerami dan wajah penuh semangat.

“Kami di sini setiap akhir pekan,” katanya sambil mengangkat karung berisi plastik. “Ini cara kecil kami untuk membantu. Tapi jujur saja, ini belum cukup.”

foto udara pulau pantai pulau pari
Salah satu sudut pantai di Pulau Pari, Kepulauan Seribu (Foto: Pramod Kanakath via Getty Images)

Aku teringat perkataan dari seorang teman bahwa masyarakat sudah mengambil langkah dengan membawa kantong belanja guna ulang, memilah sampah, dan mengadakan kegiatan bersih sungai dan pantai. Tapi suara kecil di benakku berbisik bahwa perjuangan ini bukan hanya tanggung jawab masyarakat.

Tahun 2020 seharusnya menjadi awal perubahan besar, waktu di mana produsen wajib melaporkan rencana mereka untuk mengurangi timbulan sampah plastik, sesuai dengan Permen LHK No. P.75/2019. Sayangnya, kenyataan sering kali jauh dari harapan. Hingga 2021, hanya 23 produsen yang menyerahkan peta jalan mereka ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Bahkan, laporan tersebut tidak bisa diakses publik.

“Aneh,ya?” ujar laki-laki itu sambil menyeka keringat di dahinya. “Kami di sini berusaha keras untuk membersihkan pantai, tapi mereka, yang memproduksi sampah ini, malah lambat sekali bertindak.”

Aku mengangguk, merasakan ketidakadilan yang ia rasakan. Dalam laporan Greenpeace, disebutkan bahwa 55% produsen sebagai pihak yang paling bertanggung jawab untuk mengurangi penggunaan kemasan sekali pakai. Sepuluh tahun ke depan adalah waktu yang diberikan untuk mencapai target pengurangan sampah sebesar 30%. Namun, setiap detik yang berlalu adalah saat di mana sampah terus membanjiri lingkungan.

Kami berdiri sejenak, menatap tumpukan sampah yang baru saja terkumpul.

“Apa yang kita lakukan ini mungkin kecil, “lanjutnya, “tapi kalau produsen mau mengambil porsi tanggung jawab mereka, kita punya peluang lebih besar untuk menyelamatkan lingkungan ini. ”

Langit mulai memerah ketika aku dan relawan lainnya selesai mengumpulkan sampah pantai Pulau Pari. Tumpukan plastik yang kami kumpulkan terasa seperti kemenangan kecil di tengah pertempuran besar yang jauh dari selesai. Namun, pikiran tentang apa yang tidak terlihat-mikroplastik-membuatku bergidik.

tumpukan sampah plastik di laut
Ilustrasi sampah plastik di laut (Foto: cgdeaws-images)

Reza pernah berkata bahwa sampah plastik yang terus bocor ke laut ini bukan hanya merusak ekosistem, tetapi juga mengancam hidup kita. Ketika plastik terurai menjadi mikroplastik di bawah sinar matahari, mereka tidak hilang begitu saja. Sebaliknya, partikel kecil ini menyelinap ke dalam rantai makanan, dari plankton hingga ikan, dan akhirnya, ke tubuh manusia.

Sambil duduk di atas pasar, aku memandangi laut yang tampak tenang. Tetapi di bawah permukaan, ada cerita lain yang mengkhawatirkan. Dalam enam tahun terakhir, negara ini telah kehilangan Rp2.000 triliun karena pencemaran plastik. Jumlah yang tidak hanya mencerminkan kerugian ekonomi, tetapi juga hilangnya kesempatan bagi generasi mendatang untuk menikmati laut yang bersih.

Nelayan kehilangan mata pencaharian karena ikan-ikan terkontaminasi. Bahkan sektor kesehatan harus menanggung beban besar untuk mengatasi dampak dari pencemaran ini. Mikroplastik, yang terlihat tak berbahaya karena ukurannya yang kecil, adalah musuh diam-diam yang kini menyelinap ke dalam kehidupan kita.

Seorang nelayan tua mendekat, duduk di sebelahku. “Dulu, laut adalah sumber hidup kami,” katanya pelan, matanya menatap ke cakrawala. “Sekarang, aku bahkan takut makan ikan yang kutangkap sendiri.”

Kata-katanya menusuk hati. Aku mencoba membayangkan dunia di mana laut kembali jernih, di mana anak-anak bisa bermain di pantai tanpa takut terkena limbah, di mana ikan-ikan berenang bebas tanpa terkontaminasi plastik.

Tetapi untuk menuju ke sana, semua pihak harus bertindak. Tidak hanya masyarakat yang memilah sampah atau membersihkan pantai, tetapi juga produsen yang harus bertanggung jawab atas limbah yang mereka ciptakan. Jika kita tidak segera berubah, kerugian Rp2.000 triliun ini hanya akan menjadi awal dari krisis yang lebih besar.

Aku berdiri, melihat ke arah relawan yang sibuk memasukkan kantong-kantong sampah ke perahu. “Laut ini, pantai ini, kita semua punya tanggung jawab untuk menjaganya,” bisikku, lebih kepada diriku sendiri. Karena pada akhirnya, apa yang kita lakukan hari ini menentukan apakah laut akan tetap menjadi sumber kehidupan, atau berubah menjadi kuburan bagi masa depan kita.

Artikel Terkait

Tanggapan