Luka Menganga di Laut Timor: Refleksi dari Sammy tentang Tumpahan Minyak Montara

tumpahan minyak di permukaan laut

Dulu, saat saya masih duduk di bangku kelas 2 SMP, saya dan kakak saya pernah menonton sebuah film yang mengisahkan petualangan seekor penyu bernama Sammy. Dalam film itu, Sammy mengarungi lautan selama 50 tahun. Saya yang masih kecil hanya menangkap garis besar ceritanya, yaitu tentang perjuangan hidup dan pentingnya persahabatan.

Beberapa waktu lalu, kenangan tentang film itu tiba-tiba muncul kembali saat saya sedang membuat soal ujian akhir semester (UAS) Biologi untuk murid-murid saya. Saat menyusun materi tentang bakteri, saya teringat akan bioremediasi, yaitu salah satu aplikasi bioteknologi yang sangat bermanfaat untuk konservasi lingkungan. Bioremediasi memanfaatkan bakteri untuk mengatasi pencemaran lingkungan, termasuk mengatasi tumpahan minyak di laut. Saya pun membuat soal Higher Order Thinking Skills (HOTS) tentang bioremediasi. Saat itulah, tiba-tiba saya teringat sebuah adegan dalam film Sammy yang saya tonton sewaktu SMP.

Cuplikan adegan Sammy’s Adventures: A Turtle’s Tale. Copyright: StudioCanal / Amazon Prime

Dalam adegan itu, Sammy dan teman-temannya sedang asyik bermain di laut yang jernih. Namun, tiba-tiba suasana berubah drastis ketika dasar laut tertutup cairan hitam pekat, yaitu tumpahan minyak dari kapal tanker. Adegan itu kini terasa sangat bermakna bagi saya, karena saya menyadari betapa besar kerusakan ekosistem laut yang diakibatkan oleh tumpahan minyak.

Setiap tanggal 8 Juni, kita memperingati Hari Laut Sedunia. Momen ini sangat penting untuk menyadarkan kita semua tentang pentingnya menjaga laut. Hari Laut Sedunia bertujuan untuk meningkatkan kepedulian dan pemahaman masyarakat tentang peran penting laut dalam kehidupan kita (Direktorat Pendayagunaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, 2022). Namun, sudahkah tujuan mulia ini tercapai?

Mari kita lihat salah satu contoh kasus tumpahan minyak yang terjadi di Indonesia. Pada 21 Agustus 2009, sebuah anjungan pengeboran minyak milik PTTEP Australasia di Laut Timor meledak dan terbakar. Lokasinya hanya berjarak 250 km dari Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur. Akibatnya, minyak mentah dan gas hidrokarbon tumpah ke laut dan atmosfer.

Ledakan anjungan minyak Montara ini mencemari laut dengan sekitar 400 barel atau 23 juta liter minyak selama 74 hari, dari Agustus hingga November (VOA, 2022). Tragedi ini menyebabkan kerugian besar bagi lingkungan dan masyarakat sekitar. Lebih dari 100.000 mata pencaharian warga NTT, terutama petani rumput laut dan nelayan yang berjumlah 15.481 orang, hancur. Berbagai penyakit muncul dan menyerang masyarakat pesisir, bahkan menyebabkan kematian. Puluhan ribu hektar terumbu karang di perairan Laut Timor juga rusak parah (Kaha, 2022).

Untuk mengatasi masalah ini, Pemerintah Australia melalui Australia Maritime Safety Authority (AMSA) menggunakan bubuk kimia beracun, yaitu dispersant Corexit 9872 A, untuk menenggelamkan sisa tumpahan minyak ke dasar laut. Namun, tindakan ini justru menyebabkan banyak ikan kecil dan besar mati, termasuk di wilayah perairan Indonesia dalam waktu 24 jam (Arvirianty, 2019).

Perusahaan minyak mengakui kelalaian mereka, tetapi selalu membantah bahwa minyak mencapai perairan Indonesia atau menyebabkan kerusakan seperti itu. Mereka berdalih bahwa jika minyak mencapai pantai Indonesia, minyak tersebut akan terurai secara alami dan tidak akan berbahaya bagi rumput laut. Mereka juga merasa tidak bertanggung jawab atas kerugian yang dialami petani rumput laut di Indonesia (Barker, 2021).

Pencemaran minyak di Laut Timor terjadi akibat meledaknya anjungan minyak Montara pada 21 Agustus 2009. ANTARA/Istimewa

Masyarakat setempat sudah berulang kali meminta pemerintah Indonesia untuk bertindak. Namun, selama sepuluh tahun, hanya ada banyak diskusi tanpa tindakan hukum atau upaya mediasi ganti rugi yang berarti. Karena pemerintah tidak mengambil tindakan yang cukup, sekelompok petani rumput laut akhirnya mengajukan gugatan terhadap PTTEP di pengadilan Australia, didampingi oleh tim pengacara dari Maurice Blackburn. Gugatan ini didaftarkan pada 3 Agustus 2016, dan persidangan dimulai pada Juni 2019. Nilai ganti rugi yang mereka tuntut adalah 200 juta dollar Australia atau sekitar Rp 1,9 triliun (VOA, 2019).

Setelah melalui proses persidangan yang panjang, akhirnya Pengadilan Federal Australia di Sydney memenangkan gugatan 15.481 petani rumput laut dan nelayan NTT pada 19 Maret 2021. Hakim menyatakan bahwa tumpahan minyak dari PTTEP Australasia telah menyebabkan kerugian material, kematian, dan kerusakan mata pencaharian para petani rumput laut dan nelayan. Pada 21 November 2022, PTTEP akhirnya bersedia memberikan ganti rugi sesuai dengan keputusan pengadilan (Rosary, 2022).

Kasus tumpahan minyak di Laut Timor ini hanyalah salah satu dari sekian banyak kasus yang terjadi di perairan dunia. Tumpahan minyak terjadi dalam berbagai cara, seperti ledakan sumur minyak, kecelakaan kapal tanker, atau tumpahan minyak saat pengisian bahan bakar kapal. Ribuan tumpahan minyak terjadi di perairan dunia setiap tahun, tidak hanya di perairan Amerika Serikat, tetapi juga di Indonesia. (Data dari ITOPF (2022) menunjukkan jumlah tumpahan minyak dari insiden kapal tanker di seluruh dunia sejak tahun 1970 hingga 2021)

Minyak memang merupakan sumber daya alam yang sangat penting dan dibutuhkan saat ini. Hampir seluruh aktivitas manusia menggunakan minyak sebagai bahan dasar. Namun, jika kasus tumpahan minyak terus terjadi setiap tahun, apa yang akan terjadi pada ekosistem perairan kita di masa depan? Kasus tumpahan minyak di wilayah Timor membutuhkan waktu yang sangat lama untuk memulihkan kondisi laut.

Artikel Terkait

Tanggapan