Desa Selat Nasik: Permata Tersembunyi Di Balik Besarnya Pulau Belitung

Ingatannya masih melekat dalam otakku.
Kala itu cuaca mendung, awan terlihat berwarna abu tua menandakan hujan deras akan segera mengguyuri seluruh pulau. Hari Rabu tanggal 7 Oktober 2020, itu saat pertamaku menginjakkan kaki di Desa Selat Nasik, sebuah desa di pulau kecil (yang katanya) tempat nenek moyangku berasal. Aku hanya bermodalkan cerita yang baru kudengar dari ayahku, di usia 21 tahun akhirnya aku memutuskan untuk mencari tahu tentang asal usul keluarga dan tempat yang menjadi akar diriku.
Kapal pengangkut logistik yang juga dialihfungsikan menjadi kapal penumpang menyebrang dengan durasi kurang lebih 30 menit dari Pelabuhan Penyebrangan Penggantongan ke Pelabuhan Tanjung Nyato di Desa Petaling. Petualangan belum usai, aku dengan carrier kesayanganku masih harus menempuh perjalanan sekitar 20 menit dengan kendaraan roda dua. Jalanan yang disusuri sangat sepi, di sebelah kiri dan kanan hamparan aspal yang mulus ini banyak pepohonan rindang yang nyaris terlihat seperti hutan. Disambut oleh Tugu Perjuangan Rakyat Mendanau 1945, tandanya aku sudah memijak wilayah Desa Selat Nasik dan monumen tersebut menjadi bukti perjuangan para warganya dahulu kala dalam mengusir penjajah.
Ternyata desa kecil ini tidak hanya dibalut nostalgia dan kisah perjuangan para leluhurnya namun kekayaan kehidupan bawah lautnya juga sungguh bersih, asli, dan nyaris suci. Air lautnya sangat jernih hingga aku yang berada di atas perahu motor tempel itu bisa melihat beraneka ragam terumbu karang dengan semburan warna yang sungguh indah. Bentuk terumbu karang yang terlihat mulai dari bentuk bercabang sampai masif. Menurut Sjafrie (2007), ekosistem terumbu karang di Kecamatan Selat Nasik masih tergolong dalam kondisi baik dengan persentase lifeform sekitar 46,9 sampai 91,5%. Bersama dengan kecantikan terumbu karang itu terdapat makhluk laut lainnya yang hidup dengan harmoni; ikan-ikan karang, kepiting, belut laut, bintang laut, bahkan teripang yang langka ditemui itu.
Matahari pagi dengan tersipu malu merekah dari ufuk timur, menandakan hari akan segera dimulai. Seorang bapak paruh baya berdarah Maluku yang sudah tinggal di Desa Selat Nasik selama 40-an tahun itu bangun tidur dan menyantap roti goreng dan teh manis hangat sebagai sarapan yang sudah disiapkan oleh istrinya. Angin dari arah laut dinginnya menusuk sampai ke tulang namun semangat pagi itu tetap membara karena dorongan mulia yakni mencari penghidupan sebagai seorang nelayan. Pak Imam merupakan salah satu dari nelayan alat tangkap bubu yang sudah lama menetap di Desa Selat Nasik. Laut Selat, begitu sebutannya bagi warga lokal, sudah menjadi hamparan air asin yang sudah akrab dengan warganya. Nafas sebagian besar nelayan Selat ada disitu.

Saking kecilnya desa ini, satu orang yang kutemui pasti mengenal satu orang yang lainnya dan satu orang itu pasti punya hubungan darah dengan satu orang lainnya. Sesama warga hidup berdamai dan saling membantu bila ada kesulitan. Kala itu aku bermalam di salah satu rumah warga yang letaknya berseberangan dengan dermaga tempat kapal-kapal kecil berlabuh. Aku yang sebelum itu belum pernah bersua dengan satupun dari mereka langsung dianggap bak keluarga, disambut dengan ramah juga dengan jamuan terbaik. Tak pernah terpikirkan olehku kesediaan warga dalam menerima tamu yang sungguh santun. Mereka memastikan tamu rewelnya ini merasa senang dan betah tinggal disana.
Tak terasa satu bulan berlalu, sudah terlihat terbakar kulitku karena hampir tiap hari ikut Pak Imam melaut untuk mengoperasikan bubu tambunnya. Alat snorkelling aku pakai untuk sedikit icip-icip freediving seraya Pak Imam membawa kapalnya ke tengah Laut Selat yang asri ini, bertambah lagi makin gosong kulitku. Tiada penyesalan, kuanggap kulit hangus ini sebagai cenderamata kalau aku pernah menjadi bagian kecil dari Desa Selat Nasik yang terus kukenang hingga tua nanti.
Malam ini sambil terbaring dengan mata setengah terpejam, jariku terus meluncur di layar ponsel. Foto-foto lamaku di Selat Nasik muncul satu persatu, membawa kenangan yang rasanya begitu dekat namun hanya akan menjadi bayangan masa lalu. Senyumku menatap langit biru, angin laut yang berhembus membawa aroma asin yang menyenangkan, sore yang dihabiskan di pantai, kini menyisakan jejak-jejak kenangan yang tak bisa dilupakan. Kini, segala sesuatu tentang Selat Nasik terasa seperti memori yang memudar, mengingatkanku pada sesuatu yang tidak akan kembali.
Tanggapan