Catatan Akhir Tahun: Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Sumatera Barat

Tahun 2020 merupakan tahun yang berat bagi seluruh masyarakat Indonesia dan dunia, tidak terkecuali masyarakat Sumatera Barat. Ditengah Pandemi Covid 19 yang mengubah segala sisi kehidupan termasuk cara kita berinteraksi, cara melakukan pekerjaan yang melibatkan orang lain, cara kita merespon persoalan yang muncul ditengah masyarakat yang terdampak pembangunan dan kegiatan investasi yang merampas ruang hidup rakyat.

Selain itu lahirnya beberapa kebijakan ditingkat nasional seperti UU Minerba dan UU Cipta Kerja yang prosesnya dipandang jauh dari nilai-nilai demokratis, dipaksakan dan dianggap hanya akan menguntungkan kelompok tertentu dan merugikan masyarakat dan lingkungan ikut memperkelam perjalanan di tahun 2020.

Untuk mendokumentasikan semua ketimpangan pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan di Sumatera Barat termasuk soal penegakan hukum dan perlindungan hak asasi manusia di Sumatera Barat tahun 2020, kami dari WALHI Sumatera Barat, LBH Padang, PBHI Wilayah Sumatera Barat,KPA Winalsa dan OranguFriends Padang mencoba menuliskannya dalam Catatan Akhir Tahun Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Sumatera Barat Tahun 2020.

Bencana Ekologis dan Lemahnya Pelindungan Lingkungan                                         

WALHI Sumatera Barat mencatat sepanjang tahun  2020  telah terjadi 780 bencana ekologis  yang terjadi di Sumatera Barat. Bencana ekologis terjadi akibat menurunnya daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup yang disebabkan oleh alih fungsi dan pembukaan kawasan hutan, kerusakan daerah aliran sungai dan hilangnya daerah resepan air baik di hulu ataupun dihilir.

Peningkatan curah hujan yang tidak bisa kita lepaskan dari dampak perubahan iklim juga memperburuk situasi dan memicu bencana yang lebih besar. Jenis bencana ekologis yang terjadi adalah banjir, banjir bandang, tanah longsor serta abrasi pantai. Beberapa wilayah yang sering mengalami bencana ekologis tahun 2020 di Sumatera Barat adalah Kabupaten Pesisir Selatan, Kabupaten Solok Selatan, Kabupaten Agam, Kabupaten 50 Kota  dan Kota Padang.

Jika dilihat dari pemanfaatan Sumber Daya Alam di Sumatera Barat yang sangat mengkhawatirkan dan lemahnya kontrol dari pemerintah sehingga memicu persoalan lingkungan dan bencana ekologis. Salah satunya adalah aktivitas pertambangan seperti, di Kecamatan Bungus Teluk Kabung Kota Padang yang mengakibatkantanah  longsor sehingga jalan lintas Padang-Painan tidak bisa dilalui.

(Tambang Batu Bara di Sawahlunto, Sumatera Barat)

Rusaknya wilayah kelola masyarakat seperti sawah yang terjadi di Kecamatan IV Jurai dan Nagari Air Haji Tenggara Kecamatan Linggo Sari Baganti  kabupaten Pesisir Selatan yang disebabkan oleh aktifitas tambang galian C yang mengancam pemukiman warga dan fasilitas umum.

Di Kabupaten 50 Kota, aktifitas Tambang Batuan di Koto Alam dan Manggilang juga menjadi catatan lemahnya pengawasan dan penegakan hukum yang dilakukan oleh pemerintah sehingga kegiatan tambang yang merusak dan memicu bencana ini masih tetap dibiarkan dan terus beroperasi.

Di sepanjang Daerah Aliran Sungai Batanghari mulai dari hulunya di Kabupaten Solok Selatan, Sijunjung dan Dharmasraya terlihat aktifitas Pemanfaatan Sumber Daya secara berlebihan seperti tambang emas dan  batuan  berjalan secara legal maupun illegal dengan minimnya pengawasan dan penegakan hukum.

KPA Winalsa melihat pengelolaan Kabupaten Solok Selatan yg memiliki potensi sumber daya alam yang berlimpah di negeri yang dikenal dengan sebutan  “Negeri Berlantai Emas” dengan banyaknya aktivitas tambang  logam mulia, biji besi  dan perkebunan skala besar tidak menjamin Solok Selatan menjadi sejahtera ,ini dijelaskan dalam meningkatnya angka kemiskinan dan pelanggaran peraturan terkait lingkungan hidup yg dilakukan oleh para pengusaha legal dan ilegal.

Dari segi tata kelola ruang Solok Selatan masih sangat jauh dari kata peduli lingkungan dibuktikan dari data 35 izin pertambangan mineral seluas 314.353 ha di Solok Selatan yang tidak memperhatikan aspek keselamatan rakyat dan lingkungan ditambah dengan masih dimasukkan rencana Pembangunan Jalan Kambang (Pesisir Selatan) – Muara Labuh (Solok Selatan) dalam revisi Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Solok Selatan 2020 yang nantinya akan menganggu kawasan konservasi Taman Nasional Kerinci Sebalat (TNLKS).

Penetapan RTRW Provinsi Sumatera Barat belum sesuai dengan kondisi dan keadaan wilayah maupun daerah setempat hal tersebut nampak dari beberapa daerah contohnya Kecamatan Pangkalan Koto Baru Kabupten 50 Kota dan Kecamatan Linggo Sari Baganti Kabupaten Pesisir Selatan dimana pada dua Kecamatan tersebut merupakan daerah rawan bencana namun dalam RTRW ditetapkan sebagai wilayah pertambangan khususnya Galian C, padahal wilayah tersebut merupakan wilayah rawan bencana banjir bandang dan tanah longsor.

Menyikapi hal tersebut masyarakat telah melakukan penolakan namun sampai saat ini belum sikap baik yang sesuai dengan harapan masyarakat bahkan terkesan dianggap angin lalu dan izin pertambangan tetap diterbitkan oleh pemerintah. Hal ini menunjukan bahwa wilayah zona merah bencana tidak menjadi prioritas bagi pemerintah untuk dilindungi sehingga masyarakat yang berada diwilayah tersebut semakin terancam keselamatannya.

Konflik Lahan dan Sumber Daya Alam

Analisis WALHI Sumatera Barat berdasarkan data Dinas ESDM Provinsi Sumatera Barat, saat ini terdapat sebanyak 72 IUP Minerba terdiri dari Batubara, Emas, Pasir Besi, Galena, Mangan dan Timah Hitam. Data IUP ini saat di overlay dengan data Kawasan hutan berdasarkan SK 35 Tahun 2013 terdapat 20.349,69 hektar Izin Usaha Pertambangan berada dalam kawasan hutan.

Overlay data Perkebunan Kelapa Sawit yang dibagikan di website Kementerian ATR/BPN RI terdapat  50 izin Perkebunan Kelapa Sawit di Sumatera Barat dengan total luasan 151.561,06 Hektar dari total luasan tersebut sebanyak 3.851 Hektar berada dalam kawasan hutan. Keberadaan IUP dan Perkebunan Kelapa sawit yang tidak hanya dalam kawasan hutan namun juga berada disekitar pemukiman dan tanah ulayat memicu konflik yang tidak kunjung selesai.

Berbicara soal konflik lahan dan sumber daya alam di Sumatera Barat, bukanlah merupakan hal baru. Konflik masyarakat terkait dengan Perkebunan Kelapa sawit misalnya telah berjalan lebih dari 20 tahun dibeberapa wilayah di Sumatera Barat. Dalam Studi Palm Oil Conflict And Access To Justice In Indonesia (POCAJI) untuk Provinsi Sumatera Barat yang dilakukan oleh Universitas Andalas, KITLV Leiden, Universitas Wageningen dan WALHI Sumatera Barat tercatat 25 konflik yang terkait dengan perkebunan kelapa sawit.

Konflik tersebut meliputi penyerobatan lahan, permasalahan skema plasma, perkebunan melanggar hukum, kompensasi yang tidak memadai dan kondisi tenaga kerja dalam perkebunan kelapa sawit masih terjadi walaupun masyarakat melakukan upaya perlawanan melalui demonstrasi, dengar pendapat dan konferensi pers, pendudukan lahan dan blockade, penyerangan properti dan panen paksa serta melakukan pemetaan lahan yang berkonflik.

Salah satu konflik yang sangat menonjol saat ini adalah terkait dengan konflik masyarakat Nagari Bidar Alam dan Nagari Ranah Pantai Cermin dengan PT. RAP di Kabupaten Solok Selatan.Upaya masyarakat mengambil kembali lahan yang bekonflik dengan perusahaan berujung pada aksi-aksi yang mengancam keselamatan masyarakat, konflik ini juga memicu terjadinya tindakan yang berujung penjara dengan dipidananya salah seorang warga yang berkonflik dengan perusahaan.

LBH Padang melihat persoalan terkait dengan konflik di Kabupaten Solok Selatan ini pengabaian secara terstruktur dan masif terhadap hak atas tanah masyarakat. Bayangkan saja, masyarakat yang awalnya bekerjasama dengan perusahaan RAP kemudian tidak pernah mendapatkan pembagian hasil yang jelas. Bahkan menurut informasi yang diterima masyarakat harus menanggung utang pembangunan kebun sawit dan semua hasil usaha dikuasai penuh oleh perusahaan tanpa adanya transparansi dan akuntabilitas terhadap masyarakat.

Bahkan perusahaan diduga menghadapkan masyarakat dengan BRIMOB untuk merepresi masyarakat Bidar Alam. Disisi lain, pemerintah daerah tidak tegas dalam penyelesaian permasalahan ini. Padahal PT RAP saat ini  tidak memiliki izin lagi dan bahkan tidak membayar pajak kepada pemerintah. Situasi pelik ini diperparah dengan datangnya pandemi Covid-19 hingga warga terpaksa mereklaming lahan mereka dan memanen sawit yang berada diatas tanah mereka untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Kedepan situasi ini dapat dimanfaatkan  oleh perusahaan untuk mengkriminalisasi masyarakat Bidar Alam. Tentunya kepemimpinan Bupati terpilih harus memprioritaskan penyelesaian permasalahan ini agar masyarakat mendapatkan keadilan atas kerjasama mereka dengan PT RAP.

Pembangunan Jalan Toll Padang – Pekanbaru juga memicu persoalan terkait dengan pengadaan lahan, material pembangunan dan rencana pembangunan terowongan di Kabupaten 50 Kota. Gugatan masyarakat yang terdampak jalan toll di Kabupaten Padang Pariaman dimenangkan oleh masyarakat yang mengharuskan jalur jalan toll harus digeser dari titik yang sebelumnya.

Masyarakat di 5 nagari di Kabupaten 50 Kota yang merasa dirugikan dengan rencana pembangunan jalan toll ini juga menuntut pemindahan jalur jalan toll dari lahan pemukiman dan lahan pangan produktif warga ke lokasi lain yang tidak merugikan masyarakat terlalu besar. Hal ini menunjukan jika rencana pembangunan infrastruktur di Sumatera Barat belum melibatkan masyarakat dalam perencanaan kegiatan.

Selain konflik perkebunan kelapa sawit dan pembangunan jalan toll Padang – Pekanbaru, konflik masyarakat yang terdampak aktivitas pertambangan batubara di Kota Sawahlunto juga menjadi perhatian di tahun 2020 ini. Kegiatan pertambangan yang tidak memperhatikan keselamatan lingkungan, pekerja dan masyarakat disekitar wilayah pertambangan terus mencetak duka tahun 2019 – 2020 tercatat ada sebanyak 9 orang meninggal dunia dan 12 orang luka berat, semua itu akibat kecelakaan kerja dalam lubang tambang dalam batubara.

Konflik masyarakat terkait dengan aktivitas pertambangan yang mengacam pemukiman warga yang mengancam 70 KK warga Desa Sikalang karena aktivitas tambang dalam tersebut mengarah kebawah pemukiman warga.Sampai saat ini tidak ada tindakan tegas pemerintah terhadap pemilik pertambangan dan upaya penyelesaian yang diharapkan masyarakat.

PBHI Wilayah Sumatera Barat yang mendampingi masyarakat Desa Sikalang memandang, Pemerintah daerah dan aparat penegak hukum belum serius dalam proses penegakan Hukum dan pemenuhan HAM masyarakat Desa Sikalang terhitung sudah lebih dari 1 (satu) tahun hingga sampai saat ini.

Dugaan pelanggaran tersebut kami temukan setelah melakukan tinjauan lapangan bersama untuk melihat aktifitas kegiatan pertambangan yang dilaporkan masyarakat di Wilayah Izin  Usaha Pertambangan (WIUP), banyak ditemukan dugaan pelanggaran hukum baik sektor pertambangan maupun sektor lingkungan. pada waktu itu kegiatan difasilitasi oleh DPRD provinsi Sumatera Barat dengan melibatkan Pemerintah daerah Sumatera Barat dan Aparat Penegak Hukum serta Pelaku Kegiatan Pertambangan.

Persoalan lain yang juga menjadi perhatian terkait dengan masyarakat terdampak oleh aktifitas usaha yang mengabaikan keselamatan masyarakat adalah terkait dengan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbahan bakar batubara, di Desa Sijantang Kecamatan Talawi Koto Sawahlunto yang berada disekitar PLTU Ombilin, harus pasrah menerima siraman dari debu sisa pembakaran batubara yang merusak lingkungan dan menurunkan kualitas kesehatan warga sepanjang tahun ini.

Keberadaan PLTU Teluk Sirih Kota Padang juga dikeluhkan karena mengganggu wilayah tangkap nelayan tradisional setempat. Selain itu perusahaan tidak memiliki alat pengaman yang baik untuk intake air dari laut ke fasilitas PLTU yang mengakibatkan  hilangnyanyawa seseorang akibat terhisap intake PLTU Teluk Sirih pada April 2020.Persoalan tidak adanya saringan pada pipa hisap PLTU Teluk Sirih juga menyedot belasan penyu yang hidup diwilayah ini kedalam bak penampungan PLTU Teluk Sirih.

Selain konflik lahan dan sumber daya alam, yang  menjadi perhatian kita tahun 2020 adalah terkait dengan konflik satwa. Orangufriends Friends Padang mencatat sepanjang tahun 2020 terdapat lebih dari 5 Konflik satwa yang terjadi di Sumatera Barat, Konflik satwa ini terjadi karena dipicu oleh deforestasi (alih fungsi lahan) habitat satwa menjadi bermacam peruntukkan lain. Mulai dari perkebunan, proyek pembangunan pemerintah, hingga perumahan.Kondisi ini mengakibatkan beberapa kelompok satwa menjadi semakin terdesak.

Peluang dan Tantangan Perebutan dan Pengamanan Wilayah Kelola Masyarakat

Keberadaan UU dan Peraturan Pemerintah yang mempermudah dan memberi karpet merah penguasaan sumber daya alam kepada investor, tentu saja akan mempersempit wilayah kelola masyarakat. Namun beberapa kebijakan terkait dengan Perhutanan Sosial dan Reforma Agraria masih menjadi peluang bagi masyarakat untuk mengamankan wilayah kelolanya dari ancaman investasi.

Perhutanan social memberikan akses kelola hutan kepada masyarakat yang berada di sekitar dan didalam kawasan hutan. Sementara reforma agrarian memberikan kepastian hukum bagi masyrakat terhadap tanahnya dengan sertifkat tanah. WALHI Sumatera Barat mendampingi 5 Nagari di Sumatera Barat tersebar di Kab. Solok Selatan, Kab. Lima Puluh Kota, Kab. Pesisir selatan dengan skema hutan nagari dan hutan kemasyarakatan. 

Lebih dari 6000 ha Kawasan hutan yang sudah WALHI dampingi masyarakat dalam pengusulan perhutanan sosial. Namun sekarang, masih ada kendala pasca diperolehnya izin perhutanan sosial. Harusnya pasca perizinan pemerintah selaku pemberi izin harus mendampingi pengembangan usaha dari potensi hasil hutan yang ada. Pemerintah tidak bisa memandang pasca penetapan izin, lembaga/kelompok masyarkat tersebut dibiarkan dan tidak didampingi.

Salah satu capaian baik WALHI Sumbar misalnya, kelompok pengelola hutan kita damping sampai  pengembangan usaha produk hasil hutan, salah satunya produk sirup pala dari hutan Nagari Kapujan, produk olahan, produk olahan ikan dari Hutan kemsayrakat di Nagari Tanjung Pauah Kab, 50 Kota.

Selain itu, WALHI Sumbar melihat skema hutan adat sangat sulit untuk diperoleh. Buktinya di Sumatera Barat tidak ada satupun hutan adat yang diberikan kepada masyarakat adat. Padahal usulan hutan adat sudah di usulkan di Mentawai dan Kab. Tanah Datar. WALHI menilai skema hutan adat sulit diterapkan karena tidak adanya itikad baik pemerintah meberikan hak tanah/hutan kepada masyarakat adat, adanya kepentingan politik juga menjadi dasar kenapa sulitnya ditetapkan hutan adat di Sumatera Barat.

Rekomendasi

Selanjutnya Kami WALHI Sumatera Barat – LBH Padang – PBHI Wilayah Sumatera Barat – KPA Winalsa – OranguFriends Padang, dipenghujung tahun 2020. Untuk keberlangsungan lingkungan hidup dan masyarakat di Sumatera Barat kami merekomendasikan :

  1. Kepada Bapak Presiden Republik Indonesia dan menteri-menterinya dalam perencanaan Investasi dan pembangunan infrastruktur selalu memperhatikan kehidupan masyarakat dan mengedepankan kepentingan masyarakat dari pada kepentingan investor.
  2. Kepada Gubernur Sumatera Barat dan Jajarannya dalam memberikan izin usaha dan pembangunan harus memperhatikan keselamatan dan perlindungan wilayah kelola masyarakat.
  3. Kepada Gubernur Sumatera Barat dan Jajarannya agar melakukan pengawasan dan penindakan terhadap setiap pelanggaran izin usaha yang telah dikeluarkan sesuai dengan aturan hukum.
  4. Kepada aparat penegak hukum agar menjalankan fungsi dan perannya sebagai penegak hukum sesuai dengan aturan hukum.

Ditulis oleh :

WALHI Sumatera Barat – LBH Padang – PBHI Wilayah Sumatera Barat – KPA Winalsa – OranguFriends Padang

31 Desember 2020.

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Tanggapan