Sarang “Pelangi” di Pulau Rambut

Pagi itu saya terbangun dengan cuaca yang kurang bersahabat. Pada hari itu, saya dan teman saya, Putrie selaku relawan Ocean Defender di Greenpeace akan mengikuti rangkaian acara Birding Trip yang diselenggarakan oleh organisasi Burung Indonesia di Pulau Rambut.

Pulau Rambut merupakan pulau tak berpenghuni dengan luas 90 hektar yang bertempat di Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Konon pulau ini merupakan habitat dari kurang lebih 50 macam spesies burung di daerah Pulau Jawa dengan jumlah sekitar 20.000 ekor burung.

Pada tahun 1936, Pulau Rambut dijadikan sebagai cagar alam di bawah pemerintahan Hindia Belanda. Hingga akhirnya pada tahun 1999, Pulau Rambut dijadikan sebagai kawasan suaka margasatwa yang resmi dikelola oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam DKI Jakarta (BKSDA DKI Jakarta).

Kami memulai perjalanan dari Plaza Semanggi menuju ke Tanjung Pasir sebelum akhirnya melanjutkan perjalanan dengan menggunakan kapal nelayan. Sesampainya di sana, kami disambut dengan pemandangan sampah yang berserakan di sepanjang pantai Tanjung Pasir.

Hal ini mungkin disebabkan dengan masyarakat yang berjualan di sekitar pantai. Minimnya kesadaran masyarakat dalam mengurangi limbah plastik membuat pantai yang seharusnya bersih menjadi tidak enak dipandang.

WhatsApp Image 2019-01-25 at 12.04.23.jpeg

Cuaca yang tak kunjung membaik membuat kami harus menunda perjalanan karena angin yang terlalu kencang dan hujan yang mulai turun dengan derasnya. Sembari menunggu, kami memperkenalkan diri satu-persatu.

Beberapa di antara peserta yang akan mengikuti rangkaian acara Birding Trip ini, ternyata merupakan orang-orang yang sudah sering melakukan penelitian di Pulau Rambut sehingga mereka tidak asing lagi dengan kegiatan yang akan kami lakukan hari itu.

Pada saat itu, Pak Heri selaku perwakilan dari Burung Indonesia menjelaskan bahwa kami akan melakukan sensus jenis dan jumlah burung air yang akan kami temui selama kami berada di Pulau Rambut nanti.

Saya dan Putrie yang tidak memiliki latar belakang pendidikan di bidang kehutanan atau satwa liar merasa asing dengan penjelasan yang dijabarkan oleh teman-teman Burung Indonesia. Namun teman-teman Burung Indonesia dengan senang hati membantu kami dengan menggunakan binocular untuk melihat jenis burung-burung yang terbang di sekitar pantai.

Setelah ditunda selama kurang lebih satu jam, kami akhirnya berangkat ke Pulau Rambut. Angin yang masih lumayan kencang membuat saya merasa takut jikalau perahu sewaktu-waktu terbalik. Kami menaiki kapal dengan pemandangan laut yang berwarna coklat dan beberapa sampah yang sering terlihat mengambang tak bertuan.

Hal ini tentunya membuat saya semakin kecewa dengan manusia yang masih kurang kesadarannya dalam mengelola sampah. Setelah kurang lebih 30 menit, kami akhirnya sampai di Pulau Rambut dengan selamat. Cuaca pun membaik ditandai dengan munculnya matahari pagi.

Sesampainya di Pulau Rambut, kami berkumpul untuk menemui penjaga pulau yang diketuai oleh Bapak Budi. Beliau menjelaskan sejarah singkat dari Pulau Rambut dan kegiatan yang akan kami lakukan selama kurang lebih 3 jam ke depan, salah satunya adalah kami akan melakukan Asian Waterbird Census yang ke-30.

Setelah dibekali dengan kertas sensus yang akan membantu kami dalam proses penghitungan jumlah burung air, seluruh peserta dibagi menjadi beberapa kelompok dengan setiap kelompok dipimpin oleh orang-orang yang sudah berpengalaman di Pulau Rambut.

Saya dan Putrie memilih untuk masuk ke kelompok yang diketuai oleh Bapak Budi. Tujuan pertama kami adalah mengamati burung dari bird hide yang berada di tengah hutan dan akhirnya dilanjutkan ke menara di mana kami dapat melihat pemandangan pulau secara jelas dari ketinggian.

WhatsApp Image 2019-01-25 at 12.04.21.jpeg

Kami memulai perjalanan dengan memasuki hutan. Dapat dikatakan bahwa hutan tersebut cukup aman untuk dijelajahi karena tidak banyak binatang liar yang membahayakan bagi kami.

Sembari menyusuri hutan, Bapak Budi bercerita mengenai Pulau Rambut dan jenis-jenis burung air yang berbiak di pulau ini. Tak lama kemudian, kami akhirnya sampai di bird hiding.

Para peserta yang sudah membawa kamera dengan lensa yang mumpuni mulai mengambil gambar-gambar burung yang berlalu-lalang di depan kami. Saya dan Putrie mengamati burung-burung dengan bantuan binocular dan juga buku panduan jenis-jenis burung air yang berbiak di Pulau Rambut. Peserta lain pun membantu kami untuk menghafal jenis spesies burung dengan menggunakan bahasa Latinnya.

Pada saat itu juga, saya sempat melihat biawak yang berjalan dengan santainya melewati kami. Satu hal yang membuat saya prihatin adalah penampakan sarang burung yang berwarna-warni. Namun berwarna-warni ini bukan karena ranting pohon atau bunga yang beraneka ragam. Warna ini muncul karena burung-burung air yang berbiak di Pulau Rambut menggunakan plastik dalam membuat sarangnya.

Plastik ini tentunya mereka dapatkan dari tumpukan sampah plastik yang tersebar luas di dekat habitat mereka. Lagi-lagi rasa kurang pedulinya masyarakat terhadap sampah, khususnya sampah plastik, memberikan dampak yang besar bagi flora dan fauna yang tinggal di bumi ini.

30 menit berlalu, kami pun melanjutkan perjalanan ke menara. Tentunya tidak ada eskalator di menara tersebut sehingga kami harus melewati banyaknya anak tangga yang membuat kami kehabisan napas.

Namun rasa lelah itu terbayar dengan pemandangan Pulau Rambut yang sangat indah dari atas menara. Laut terbentang luas dan burung-burung berterbangan, memudahkan kami untuk melakukan sensus burung air.

Satu persatu kami menghitung dan mengamati spesies burung air yang terlihat. Setiap peserta membantu sama lain sehingga sensus yang kami lakukan pun terbilang cukup cepat.

Tak lama setelah itu, kembali saya dibuat sedih dengan penampakan burung bangau Bluwok (Myceria cinerea) yang terbang dengan membawa sampah plastik di paruhnya. Sampah plastik yang berserakan di sekitar pulau menjadi bahan dasar sarang mereka.

WhatsApp Image 2019-01-25 at 12.04.22.jpeg

Saat sensus dan pengamatan telah selesai kami lakukan, kami menyantap hidangan makan siang yang telah disediakan. Sembari mengunyah makan siang, kami saling mengenal satu sama lain dan juga mendiskusikan hasil pengamatan kami. Setelah selesai makan pun, kami melanjutkan diskusi kami sekaligus menyatukan hasil pengamatan kami selama kami berada di Pulau Rambut.

Diskusi berjalan dengan santai dan menyenangkan. Hal-hal yang kami bahas meliputi kondisi habitat burung air di Pulau Rambut, jumlah burung air yang kami lihat berdasarkan spesiesnya, dan juga ancaman yang ada di Pulau Rambut.

Salah satu ancaman yang ada adalah limbah plastik dan limbah domestik. Menurut saya pun hal ini yang harus diperhatikan karena terdapat dua spesies yang terancam punah yang berbiak di Pulau Rambut. Jika permasalahan sampah ini tidak segera diatasi, bukan tidak mungkin jika dua spesies ini punah, salah satunya karena permasalahan sampah ini.

Meskipun Pulau Rambut masih terbilang asri, namun penampakan sampah di pinggir Pulau Rambut membuat saya merasa bahwa pulau tersebut tidak layak dihuni oleh satwa liar yang ada di sana.

Dari yang terlihat, sampah yang berserakan merupakan limbah yang berasal dari manusia. Rasanya sayang jika pulau yang dijuliki dengan sebutan The Heaven of Bird pudar indahnya hanya karena masyarakat yang masih kurang kesadarannya dengan limbah yang mereka hasilkan.

Bukan tidak mungkin kalau satu persatu keelokan alam Indonesia dapat pudar dan menghilang hanya karena minimnya kesadaran masyarakat mengenai limbah dan cara pengolahannya. Maka dari itu, mari kita lebih bijak lagi dalam menggunakan dan mengkonsumsi sesuatu yang limbahnya sulit untuk diolah kembali.

Selain dari itu, kita juga harus membudayakan diri untuk membuang sampah pada tempatnya, tak lupa untuk memilahnya agar dapat didaur ulang sehingga limbah tersebut kembali bermanfaat dan tidak mengotori lingkungan di sekitar kita!

Editor : Annisa Dian N.

WhatsApp Image 2019-01-25 at 12.04.23 (1).jpeg

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Tanggapan

  1. Kita jaga alam, alam jaga kta, begitu sebaliknya. Itu hukum semesta.

    Kalau melihat kondisi alam semesta semakin tidak setimbang. Artinya manusialah yang pertama kali harus mempertanggung jawabkan perilakunya.

    Siapa kita? Jawablah sendiri dalam hatimu dengan jujur. Terima kasih Priska atas tulisannya yang menginspirasi.