Surga Yang Dikorbankan : Catatan Kritis Hari Lingkungan Hidup Sedunia

Tepat pada hari ini, dunia kembali memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia, momen ini merupakan waktu dimana kita harus merefleksikan diri untuk terus menjaga alam sebagai rumah semua makhluk. Namun di Indonesia yang sangat kita cintai ini, negeri yang dikarunia kekayaan alam yang sangat luar biasa, pada hari ini justru terasa pahit. Sebab alih alih kita merayakan keberhasilan menjaga alam, kita justru harus tertunduk malu dengan kenyataan yang ada, lingkungan Indonesia semakin rusak, dan banyak ketidakadilan ekologis yang semakin menjadi jadi.
Luka dalam Nikel
Nikel yang sekarang sedang dibangga banggakan sebagai “logam masa depan”, dan sebagai kunci dunia untuk transisi energi menuju dunia yang bebas karbon. Indonesia sebagai produsen nikel terbesar berdiri di garis depan. Namun mirisnya, ini bukan kisah tentang kemajuan yang berkelanjutan, melainkan kehancuran yang dilegalkan.
Lihat Raja Ampat, tanah surga yang telah lama menjadi simbol kekayaan hayati dan surga terakhir dunia. Sekarang di wilayah ini, eksploitasi pertambangan nikel semakin meluas, bahkan di pulau pulau kecil yang sudah dilindungi Undang Undang No.1 Tahun 2014, tetap saja ter eksploitasi dan sudah diizinkan yang berarti tindakan tersebut sudah legal. Aktivitas tambang PT Gag Nikel, misalnya, telah menanduskan lebih dari 500 hektare hutan di Pulau Gag, merusak ekosistem laut, dan mengancam identitas masyarakat adat yang hidup selaras dengan alam.
Sejak awal ketika perusahaan baru mengantongi izin tambang, masyarakat adat, pemuda lokal, dan aktivis lingkungan selalu menyuarakan penolakan, bahkan hingga sekarang. Menggelar konferensi pers, aksi damai, hingga beraksi di tengah forum elit industri pertambangan sudah dilakukan. Namun apa timbal baliknya? Diabaikan. Bahkan ditahan sementara oleh aparat ketika menyuarakan aspirasi damai mereka.
“Sedimentasi dari tambang menutup karang, membunuh ekosistem laut secara perlahan. Ini kejahatan lingkungan yang dilegalkan oleh izin tamang”, kata Ronisel Mambrasar, pemuda dari Kampung Manyaifun, Raja Ampat.
Bagaimana mungkin sebuah negara yang mengaku sangat menjunjung tinggi hukum dan keadilan, tapi tetap membiarkan tambang beroperasi di pulau kecil, padahal undang undang melarangnya? Mengapa bisa? Hanya satu kata “Kepentingan”. Kepentingan investor, oligarki tambang, dan pemerintah yang mengejar angka ekonomi.
Hijau Di Dunia, Kelabu Di Indonesia
Transisi energi skala global seharusnya menjadi harapan besar bagi bumi yang lebih sehat. Namun, di Indonesia sebagai penopang transisi energi ini berubah menjadi kolonialisme baru yaitu “Kolonialisme Ekologis”. Negara negara maju disana bangga mengendarai mobil listrik tanpa rasa bersalah, sementara masyarakat Papua membayar semuanya dengan kehilangan tanah, udara dan laut yang selama ini menghidupi mereka. Ini bukan pembangunan berkelanjutan, ini pemiskinan yang disusun rapi.
Krisis lingkungan yang ada di Indonesia bukan hanya sekedar soal teknis, tapi ini juga soal keadilan. Mengapa masyarakat yang paling bergantung pada alam justru jad korban industri yang katanya demi “masa depan”? Kenapa hukum untuk melindungi hanya menjadi formalitas yang bisa diabaikan dengan izin dan investasi?
Kita membutuhkan keadilan ekologis. Kita butuh pembangunan yang berpihak pada manusia dan alam, bukan sekedar pasar. Kita perlu mengingatkan terus bahwa keindahan Raja Ampat, Pulau Gag, Pulau Kawe, Pulau Manuran, Pulau Manyaifun, Pulau Batang Pele, Konawe Utara, Konawe Selatan, Lasolo Kepulauan, Morowali, Morowali Utara, Halmahera Tengah, Teluk Weda, Pulau Obi, Halmahera Selatan, Halmahera Timur, Kabaena, Wawonii, Pomalaa, dan Kolaka tidak boleh digadaikan demi pabrik baterai dan statistik pertumbuhan ekonomi.
Menatap Masa Depan
Hari Lingkungan Hidup Sedunia ini menjadi peringatan bahwa tanpa perubahan yang radikal dan berani, Indonesia akan kehilangan segalanya. Surga ini tidak abadi jika terus dikoyak.
Kepada pemerintah, kami bertanya “Apakah nilai ekspor nikel lebih berharga daripada masa depan anak cucu indonesia?”
Kepada dunia, kami berseru “Jangan biarkan transisi energi hijau menjadi bentuk penjajahan baru.”
Dan kepada masyarakat Indonesia, mari jangan tinggal diam. Suara kita, aksi kita, adalah satu satunya harapan agar bumi tak menyerah.
Tanggapan