Mencontoh Sepak Bola, “Kartu Kuning” Jadi Salah Satu Sistem Evaluasi Menuju Perikanan Berkelanjutan
Jika kamu menyukai sepak bola atau bidang olah raga lainnya, kamu pasti tidak asing dengan sistem kartu kuning yang bisa dikeluarkan di tengah pertandingan. Di dunia sepak bola, sistem kartu kuning pertama kali diperkenalkan pada Piala Dunia tahun 1970. Sampai saat ini, kartu kuning sangat berperan untuk menjaga pertandingan berlangsung dengan adil dan sportif.
Sistem Kartu Kuning Pada Sektor Perikanan
Sama seperti di laga sepak bola, kartu kuning pada sektor perikanan menjadi salah satu skema yang diterapkan oleh Europe Commission (EC) dengan memberikan peringatan dan “potensi” sanksi kepada negara-negara non Eropa yang gagal ataupun tidak kooperatif dalam melawan IUU Fishing.
Skema kartu kuning ini penting untuk memastikan produk-produk seafood yang masuk ke pasar negara European Union (EU) bebas dari IUU Fishing yang seringkali dekat dengan permasalahan isu perbudakan modern yang dialami oleh awak kapal perikanan. Tentu saja hal ini juga untuk menjaga akuntabilitas negara-negara EU terhadap isu IUU fishing.
Bagaimana Tahapan Pemberian Kartu Kuning oleh Europe Commission?
Ada 3 tahapan utama dalam skema “Kartu Kuning” ini:
Pertama, Pre-identifikasi. Pada tahapan ini, perwakilan EC akan membuka dialog formal dengan perwakilan negara yang terindentifikasi melakukan pelanggaran pada aktivitas sektor perikanannya.
Perwakilan EC akan melakukan observasi selama kurang lebih 6 bulan di negara tersebut. Jika negara yang diduga dapat menunjukkan progres perbaikan dalam melawan IUU fishing, maka observasi terus dilakukan sampai perwakilan EC memutuskan untuk membatalkan kartu kuning.
Jika negara yang dimaksud gagal atau tidak berhasil melakukan perubahan yang cukup, maka perwakilan EC akan melanjutkan ke tahapan kedua, yaitu pemberian kartu merah. Pada tahap ini, produk-produk hasil laut dari negara penerima kartu merah tidak dapat masuk (banned) ke pasar-pasar negara EU.
Tahapan ketiga adalah black list. Pada tahapan ini tidak hanya melarang produk hasil laut, tetapi juga melarang semua produk hasil tangkapan kapal-kapal yang berbendera negara pelanggar. Tidak hanya itu, perusahaan perikanan EU juga dilarang untuk membuka atau melanjutkan operasional di negara pelanggar.
Tentu saja keputusan untuk pemberian kartu kuning, tidak didasarkan pada perspektif penilaian EU saja. Penilaian yang diambil berdasarkan data dan informasi yang dikumpulkan oleh Regional Fisheries Management Organizations (RFMOs).
Mengapa Europe Commission Memutuskan Untuk Berani “Se-Pick-Up?”
Jika kita mengenal Indonesia sebagai salah satu negara penghasil produk laut terbesar di dunia, Eropa dikenal sebagai importer kedua terbesar untuk produk hasil laut di dunia. Dilansir dari CBI EU, impor hasil olahan laut yang dilakukan oleh negara-negara Eropa mencapai valuasi 19,8 billion USD di tahun 2020.
Menariknya permintaan untuk hasil laut yang berasal dari perikanan berkelanjutan juga terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Berawal dari komitmen yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan Eropa Utara dan Amerika Utara di tahun 2000-an, komitmen ini telah berhasil tumbuh dibanyak negara-negara Eropa khususnya di Eropa Timur dan Eropa Selatan.
Komitmen EU untuk perikanan berkelanjutan-pun telah berhasil menghadirkan kebijakan-kebijakan inovatif untuk melawan IUU fishing di seluruh dunia, salah satunya adalah:
- Pelarangan semua produk perikanan untuk masuk ke pasar negara-negara EU, kecuali produk-produk tersebut telah berhasil tersertifikasi (MSC, ACS, dll) secara legal.
- Pemegang bendera (untuk kapal perikanan), pesisir, pelabuhan, dan negara pasar berkewajiban atas kepatuhan pada instrumen internasional dalam memerangi IUU fishing melalui dialog dan kerja sama.
Kartu Kuning European Commission untuk Thailand
Skema kartu kuning ini tidak hanya menjadi terobosan semata, namun benar-benar diterapkan, loh! Kartu kuning ini pernah diberikan oleh EC kepada Thailand.
Kok bisa? Tentu saja bisa. Thailand menerima kartu kuning dari EC pada April 2015. Hal ini diputuskan setelah EC melakukan dialog formal dengan dan analisis dengan perwakilan Thailand sejak 2011. Beberapa isu yang menjadi sorotan adalah proses pengawasan (monitoring) perikanan, sistem kontrol dan sanksi yang dianggap tidak memerangi IUU fishing dengan benar.
“Our EU rigorous policy on a harmful practice such as illegal fishing, together with our genuine capacity to act, is paying off. I urge Thailand to join the European Union in the fight for sustainable fisheries Failure to take strong action against illegal fishing will carry consequences.”
-Karmenu Vella, European Commissioner for Environment, Maritime Affairs and Fisheries
Tentu saja dengan posisi EU sebagai negara pasar, siapa yang gak ketar-ketir jika produknya di-banned bukan?
Pada 8 Januari 2019, kartu kuning yang diterima oleh Thailand secara resmi dicabut. Hal ini dilakukan setelah pemerintah Thailand membenahi sektor perikanan secara signifikan. Dilansir pada halaman Kementerian Luar Negeri Thailand, pembenahan sektor perikanan yang dilakukan meliputi: mereformasi hukum perikanan, manajemen perikanan, manajemen kapal, kontrol dan pengawasan, ketelusuran dan penegakkan hukum.
Tidak hanya melakukan pembenahan untuk perikanan yang berkelanjutan, Pemerintah Thailand juga berupaya untuk membangun praktek-praktek perikanan yang etis. Komitmen ini ditunjukkan dengan meratifikasi konvensi ILO 188 “Work in Fishing” dan menjadikan Thailand sebagai negara pertama di Asia Tenggara yang meratifikasinya.
Dengan melibatkan banyak aktor di setiap prosesnya, sektor perikanan menjadi salah satu sektor yang mempunyai permasalahan dengan kompleksitas tinggi. Untuk itu, pembenahan sektor perikanan harus dilakukan oleh setiap pihak mulai dari individu, pemerintah, hingga level kerja sama lintas negara.
Pembenahan ini juga tidak cukup terfokuskan pada perikanan yang berkelanjutan, tapi pelindungan dan pemenuhan hak-hak awak kapal. Stop IUUFishing! End Modern Slavery at Sea!***
Baca juga: Mencontoh Sepak Bola, “Kartu Kuning” Jadi Salah Satu Sistem Evaluasi Menuju Perikanan Berkelanjutan
Editor: J. F. Sofyan
Tanggapan