Habib Husein Ja’far: Krisis Iklim Itu Isu Pertama, Utama, dan Bersama
Hal apa yang penting untuk jangka panjang yang ada dalam benak kawan-kawan pembaca setia Laut Sehat. Apakah krisis iklim adalah salah satunya ?
Saya adalah pendengar podcast Endgame di akun Youtube Gita Wirjawan dan saya selalu tertarik dalam setiap poin-poin pertanyaan Gita Wirjawan kepada narasumbernya adalah soal krisis iklim.
Kali ini pertanyaan soal pandangan terhadap krisis iklim dilontarkan kepada narasumber Habib Husein Jafar.
Bagi sosok Gita Wirjawan ada 2 hal yang penting dalam hari-hari ia memikirkannya. Perubahan iklim dan kesenjangan.
Menurut Gita Wirjawan persoalan krisis iklim dirasa tidak akan teratasi oleh kebijakan, tapi dimungkinkan oleh inovasi teknologi.
Habib Husein Jafar memberikan pandangannya mulai dari perspektif agama yang memang menjadi kompetensinya.
Krisis Iklim dalam Perspektif Agama
Menurutnya agama memiliki doktrin-doktrin yang positif untuk mendorong upaya mangatasi krisis iklim global. Namun menurutnya diperlukann kesadaran tokoh-tokoh agamanya untuk melihat itu perubahan iklim ini sebagai isu penting. Karena secara doktrin, agama memiliki ajaran-ajaran yang positif dan sangat adil melihat alam.
Ia mencotohkan dalam agama Islam, dalam surah Ar-Rum 41 dikatakan bahwa kerusakan yang terjadi di semesta itu karena tingkah laku manusia. Allah ingin mengajari kita untuk melihat alam sebagai subjek bukan objek. Bukan untuk di eksploitasi secara serampangan tapi di eksploitasi secara secukupnya untuk sebatas memenuhi kebutuhan.
Kemudian melihat alam sebagai subjek dalam artian bagaimana memperlakukan alam sebagaimana kamu memperlakukan dirimu sendiri. Relasi antara manusia dengan alam dalam Qur’an itu kedudukannya setara, tidak eksploitatif, tidak “pemerkosaan”.
Habib Jafar menceritakan riwayat nabi Muhammad seketika melarang seorang pemuda nongkrong diatas hewan untanya dalam keadaan istirahat (menyayangi hewan). Bahkan dalam keadaan perang sekalipun, etika seorang muslim adalah dilarang menyakiti hewan dan tumbuhan.
Habib Jafar kemudian memberikan contoh kembali tentang fakta negara Bhutan yang merupakan sebuah negara dengan emisi terendah di dunia dengan 2,2 juta ton karbon yang dihasilkan setiap tahunnya. Bahkan negatif emisi karena yang dibangun hanya 25% dan selebihnya adalah hutan. Bhutan membantu sekitar 60% untuk menyerap karbon di luar negaranya. Penelitian-penelitian mengenai fakta negara Bhutan tersebut menunjukan hal itu didorong oleh budaya atau kesadaran Buddishme yang artinya secara umum menunjukan bahwa agama telah berperan penting dalam perubahan iklim. Namun menurutnya memang ada pekerjaan rumah yanng cukup berat yang terkadang ada jarak antara ajaran dengan umatnya.
Di sisi lain, Habib Jafar berpandangan bahwa modernisme itu menjadi “tokoh” penting dalam persoalan krisis iklim global. Dunia “dipegang” agama pertengahan abad, belasan abad menunjukan kehancuranya tidak lebih parah dibanding abad ke-16 sejak Rene Decartes sampai abad ke-19 yaitu modernisme (sebuah kritik postmodernisme terhadap modernisme). Modernisme telah berkontribusi besar dalam kerusakan iklim dengan mesin-mesin uapnya, dengan segala perubahan teknologinya.
Habib Jafar menegaskan bahwasannya ia ingin mengajak terhadap semua orang bahwa krisis iklim adalah pekerjaan rumah bersama, baik kalangan agamawan maupun kalangan sekuler. Karenanya ia ingin menjadikan bahwa persoalan krisis iklim adalah isu pertama, utama dan bersama.
Baca Juga: Gurun Sahara yang Super Panas di Siang Hari Kali Ini Turun Salju
Foto Thumbnail: Akun Instagram @huseinjafaralhadarfans
Sumber: Akun Youtube Gita Wirjawan
Tanggapan