Surat Lautan untuk Manusia: Bagian 1
Surat lautan untuk manusia. Katanya, persebaran kami termasuk yang paling luas di tubuh bumi. Perbandingannya bisa dibilang 7:10. Katanya juga, banyak sumberdaya yang kami hasilkan dimanfaatkan di daratan sana. Tak jarang, kami mendengar teriakan berupa keluh kesah tentang lika liku kehidupan daratan.
Ahh, dalam hatiku, apa mereka tak malu. Mereka datang berlagak sebagai korban, lalu dengan percaya diri menjadikan kami korban yang baru. Bukan sembarang, kami sedang membicarakan makhluk tuhan yang bergelar khalifah dan dipercaya Rabbi untuk menjaga bumi. Bermahkotakan akal dan pikiran, harusnya kami tak perlu khawatir tentang tindakan.
Tapi lagi-lagi kami kedatangan tamu-tamu cantik dengan warna yang beragam dan tulisan yang bermacam-macam.
Tampilannnya seolah mengundang kami untuk menikmati jamuan. Setelah ditelaah lebih dalam, ternyata itu bekas bungkusan makanan para penghuni daratan. Ini mengecewakan, tidak seperti yang kami dengar.
Bungkusan warna-warni itu kemudian dikonsumsi oleh penghuni lautan. Mungkin isinya terasa nikmat ketika dinikmati oleh penghuni daratan.
Tapi ketahuilah, pembungkus yang kalian buang tidak sedikitpun terasa nikmat ketika kami konsumsi. Satu persatu dampak dari hadiah itu mulai bermunculan.
Daerah kami tak lagi enak dipandang, penghuni disini satu persatu mendarat karena tak mampu lagi meneruskan kehidupan, populasi kami tak lagi beraturan, kami kedatangan banyak spesies baru dari perairan seberang.
Belum lagi spesies seberang terkadang tidak terbiasa dan tidak mampu beradaptasi dengan kondisi linkungan daerah kami. Sungguh malang, tidak pindah nyawa terancam, ketika pindah nyawa lebih terancam.
Ahh, harusnya tak perlu lagi dijelaskan tentang hadiah yang kalian kirim berupa plastik warna-warni itu. Ada banyak sekali dampak negatif yang bisa timbul dan berakibat fatal bagi wilayah kami, penghuni kami, bahkan bagi kalian sendiri.
Entah lupa atau tidak ingat, tapi sedikit kuperjelas tentang sampah warna-warni yang kami terima. Hadiah itu membutuhkan waktu yang cukup lama untuk sampai ke tahap penguraian. Kisaran waktunya berkisar selama 500 tahun hingga 1.000 tahun untuk terjadinya penguraian. Tentu saja ini waktu yang begitu lama untuk kami tampung.
Ditambah lagi sampah-sampah itu membawa dampak berbahaya bagi kami, para penghuni, dan bahkan bagi kalian.
“Aku hanya membuang satu kok” kata milyaran orang di muka bumi. Andai kalimat itu diubah menjadi “aku tidak mengonsumsi satu sampah plastikpun hari ini” oleh milyaran orang di muka bumi. Terdengar sepele, namun dampaknya jelas sangatlah besar.
Berdasarkan informasi yang sempat beredar, penduduk bumi menghasilkan sebanyak 93 juta batang sedotan plastik yang digunakan dalam sehari di seluruh Indonesia. Sedotan plastik termasuk golongan sampah yang sangat sulit terurai. Sehari saja terhitung 93 juta batang, bagaimana dengan 500 bahkan 1000 tahun, sudah berapa bnyak sampah sedotan yang menumpuk di wilayah kami?
Masalah yang lebih serius lagi adalah hitungan tersebut baru dihitung dari kumpulan sedotan, bagaimana dengan jenis sampah plastik lainnya seperti kantong plastik, styrofoam, botol plastik, minuman kemasan plastik, dan banyak jenis sampah plastik lainnya.
Ini menyedihkan. Padahal penduduk daratan lebih tau bahwa kasus ini tidak hanya membahayakan kami penghuni lautan, namun juga mereka di lingkungan daratan.
Mungkin, pada awalya kami tampak begitu indah di pandangan kalian. Namun, seiring dengan berjalannya waktu dan ulah manusia kami tak lagi terlihat menarik. Awalnya tampak menawan mungkin, sekarang tak lagi menarik, biasanya kalian mengunjungi kami, sesekali karena dampak buruk dari sampah kami pula yang mengunjungi kalian. Ahh, andai kita bisa berdamai.
Di kesempatan lain, dengan topik yang sama yakni “membahayakan perairan” adalah ledakan yang terjadi berulang kali dan merenggut banyak nyawa penghuni kami. Ledakan yang kami maksud dikenal dengan sebutan “pengeboman” oleh penduduk daratan.
Katanya, pengeboman itu dilakukan secara sengaja untuk membunuh bangsa ikan secara massal. Ahh, lagi-lagi aku kecewa dengan penduduk daratan. Apa mungkin pernyataan tentang sempurnanya akal penduduk daratan itu hanya mitos dan rumor belaka?
Kulihat sejauh ini, perlakuan yang kami terima sama sekali tidak mencerminkan sempurnanya akal sehat manusia. Lagi-lagi aku bertanya apa mungkin mereka sengaja, atau mereka lupa, atau mungkin ini hanya bentuk prilaku sebagian manusia yang akalnya belum sempurna? Ahh, aku tak tahu banyak.
Ini hanya terkaan ku tentang manusia si penghuni daratan. Tapi yang pasti adalah ledakan itu tidak hanya memusnahkan bangsa ikan. Namun juga bangsa-bangsa lain dari karangan terumbu karang, lingkungan tidak stabil dan terlihat seperti daerah yang sangat hancur.
Terlepas dari itu, kami juga sempat melihat beberapa kali ketika aksi pengeboman yang dilakukan oleh penghuni daratan justru melukai penghuni daratan yang lain. Ada yang menjadi cacat, atau bahkan ikut mati melayang bersama bangsa-bangsa ikan. Apa ini? Apa tujuan pengeboman yang sebenarnya? Ingin membunuh kami atau bangsa mereka sendiri? Atau mungkin ingin terbunuh bersama seolah sehidup semati? Ahh, ayolah kami tak ingin seromantis ini.
Jika hanya ingin memanfaatkan bangsa ikan, bolehkah dengan cara yang sopan dan saling menguntungkan? Setidaknya tidak ada pihak yang dirugikan, jika memang tidak bisa menyumbangkan keuntungan.
Jauh-jauh hari ketika teknologi belum berkembang, ketika orang-orang daratan masih belum haus akan kekuasaan, ketika kehidupan setiap orang masih terbilang begitu manis dan sopan. Kami dikunjungi oleh banyak nelayan secara bergantian. Menggunakan sampan dayung dari kayu, bukan motorboat atau kapal besar yang kalian pakai sekarang.
Cara yang mereka gunakan jauh lebih manis ketimbang pasca perkembangan zaman. Dulunya, para nelayan memang bersusah payah mengunjungi daerah yang kira-kira bisa meningkatkan hasil tangkapan. Memperoleh ikan satu persatu dengan cara yang lebih sederhana.
Terkadang kami mendengar senandung, atau gurauan para nelayan selama pross penangkapan. Mereka begitu manis satu sama lain. Setelah zaman berkembang, penghuni daratan mulai bersaing memanfaatkan kekayaan daerah kami.
Ikan-ikan dibunuh secara massal dengan cara yang sangat merugikan, terumbu karang rusak dengan sia-sia, ekosistem terganggu dan berdampak pada populasi kehidupan laut yang sekarang. Tak peduli dengan cara apa, tak peduli siapa ya ng dirugikan, tak peduli selanjutnya bagaimana. Kembali lagi dipertanyakan, apa mungkin ini keegoisan? Atau akal yang belum sempurna beroperasi. Ahh entahlah, aku lelah menebak-nebak. Kalian pribadi yang paling tau.
Baca juga: Generasi Malang Sang Predator Lautan
Editor: Jibriel Firman
wahhh kerenn