Pemulihan Mangrove dan Kesejahteraan Masyarakat Pesisir: Dua Sisi Mata Uang yang Saling Menguatkan
Mitigasi perubahan iklim global berperan penting dalam pelestarian hutan mangrove. Dengan ilustrasi sederhana, keberadaan mangrove layaknya spon yang mampu menyerap karbon dioksida (CO2 ), methane (NH4 ), Dinitrogen Oksida (N2O), dan gas-gas lainnya yang menumpuk di atmosfer bumi dan mengubahnya menjadi karbon organik dalam biomassa tubuhnya yang terkandung dalam akar, batang, daun, dan bagian lainnya.
Selain mampu menjadi peredam gelombang dan angin badai bagi daerah yang ada di belakangnya, namun mangrove dapat juga menjadi menjadi penetralisir pencemaran perairan pada batas tertentu. Lebih dari itu, mangrove menyediakan tempat berlindung dan habitat pembibitan bagi hewan air.
Asia Tenggara sebagai pusat keanekaragaman bakau global dan menampung sepertiga dari bakau dunia berdasarkan wilayah. Indonesia menguasai 75 persen luas ekosistem mangrove di kawasan Asia Tenggara.
Makin tergerusnya mangrove, salah satunya disebabkan spot deforestasi (perubahan penggunaan lahan) di wilayah tersebut. Kita ketahui bahwa bakau terbesar berada di Myanmar, Indonesia (Sumatera & Kalimantan), dan Malaysia. Thailand, Vietnam, dan Filipina menunjukkan tingkat relatif lebih rendah dari kerugian.
Budidaya pertanian dan perikanan serta produksi minyak sawit menjadi pendorong deforestasi terbesar. Jika ini terus berlanjut, maka kenaikan permukaan air laut akan makin tinggi. Selaras dengan laporan IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) bahwa dalam seratus tahun terakhir telah terjadi peningkatan permukaan air laut setinggi 12-22 cm. Wilayah yang paling rentan terhadap kenaikan muka air laut adalah dataran rendah pada wilayah pesisir (Susanto, 2010).
Pertambahan populasi penduduk dapat mengancam ekosistem lahan mangrove, seperti adanya alih fungsi lahan menjadi pemukiman penduduk dan industri. Sejak tahun 1990-an jumlah penduduk naik dua kali lipat.
Hasil penelitian (Kelleher et al. 1995) menunjukkan bahwa meningkatnya tekanan manusia terhadap sumber daya pesisir telah mengakibatkan hilangnya 50% hutan bakau dunia. Indonesia termasuk negara yang memiliki area mangrove yang paling banyak. Lebih dari 40% luas mangrove dunia terletak di empat negara: Indonesia (19 dari total dunia), Brasil (9%), Nigeria (7%) dan Meksiko (6%).
Berdasarkan rilis dari FAO (2005), luas hutan mangrove di seluruh Indonesia diperkirakan sekitar 4,25 juta ha atau 3,98% dari seluruh hutan Indonesia (Nontji, 1987). Bahkan luas hutan mangrove di Indonesia dari tahun 1980 hingga 2005 terus mengalami penyusutan, yaitu dari 4,2 juta ha menjadi 2,9 juta ha (lihat tabel).
Jelas, mangrove adalah spesies kunci dari ekosistem yang lebih luas, ekosistem yang mencakup sejumlah taksa tumbuhan tambahan dan spesies hewan. Secara praktis, mangrove berkontribusi menambah produksi ikan dengan menjaga telur-telur ikan hingga menetas. Secara geografis, masyarakat yang terlibat dalam restorasi mengingat mangrove memiliki daya adaptasi morfologi yang tinggi dinilai akan dapat memulihkan penghidupannya dalam aspek ekonomi, sosial sekaligus menyelamatkan berbagai spesies dari aspek ekologi.
Penetapan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah mengubah pola pikir pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) yang awalnya sampai ke tingkat Kabupaten/Kota menjadi hanya sampai ke Tingkat Provinsi. SDA yang dimaksud adalah Sumber Daya Hutan, Sumber Daya Mineral, dan Sumber Daya Kelautan, dengan demikian dalam struktur pengaturan urusan SDA nyaris tidak ada lagi urusan SDA di level Kabupaten/Kota. Secara khusus, sebagai contoh nyata bahwa pengembangan potensi Sumber Daya Alam (SDA) di Lansekap Kubu melalui Program Peningkatan Produksi, Restorasi dan Konservasi Mangrove dan Gambut sudah dilakukan oleh WWF Indonesia.
Setidaknya dengan adanya pelibatan langsung dari pemerintah daerah dan masyarakat lokal melalui UU 23 Tahun 2014 menjadikan semakin berkurangnya dampak kenaikan air laut yang berdampak pada pulau-pulau kecil. Satelit LAPAN dalam Budhiman (2020) menunjukkan keadaan beberapa pulau kecil seperti Pulau Nipa, Pulau Anak Krakatau, Pulau Kalimambang, Pulau Anak Ladang dan Pulau Karakitang yang kehilangan wilayahnya karena terdampak kenaikan muka air laut.
Pelibatan Dana Desa
Sumber daya hutan bakau memberikan kontribusi penting bagi sumber ekonomi masyarakat lokal. Masalah ketergantungan sumber daya hutan dan berbagai bentuk subsistensi mata pencaharian pedesaan jangan sampai terabaikan dalam kebijakan terkait. Karena berkaitan dengan komoditas desa dan akan kembali ke masyarakat desa dalam bentuk “kesejahteraan” maka dana desa yang telah bergulir dapat menopang dari sisi anggaran untuk menata ulang sampai memperbaiki ekosistem lahan mangrove. Sebagaimana yang telah dilakukan Warga Desa Manyampa, Bulukumba, Sulawesi Selatan yang memanfaatkan dana desa untuk mengembangkan wisata hutan mangrove sekaligus untuk menahan abrasi.
Melalui dana desa akan banyak hal dapat dilakukan untuk melaksanakan kegiatan pengembangan pendapatan alternatif (diversifikasi ekonomi) dan beriringan dengan upaya rehabilitasi hutan untuk perlindungan, konservasi, dan pemanfaatan sumber daya mangrove bagi desa-desa di pesisir pantai yang selama ini belum tertangani dengan baik. Inisiatif yang dilakukan The Economics of Ecosystems and Biodiversity (TEEB) bahwa biaya mempertahankan jasa ekosistem lebih rendah daripada membiarkan mangrove terabaikan.***
Tanggapan