Sangihe: Antara Keindahan Alam dan Ancaman Pertambangan
Pagi itu sangat cerah. Gunung Gede Pangrango memancarkan kecantikannya, disinari matahari yang baru terbit dari arah timur. Teh hangat yang telah disiapkan menemani suasana pagi yang penuh kemesraan. Membuka YouTube di pagi hari sudah menjadi rutinitasku yang sulit untuk ditinggalkan. Mulai dari mendengarkan podcast hingga menyimak berita nasional dan internasional, semuanya sudah menjadi santapan pagi yang menyenangkan.
Hari itu, aku harus bersiap untuk berangkat ke sebuah pulau di tenggara Sulawesi. Kabupaten Kepulauan Sangihe, yang terletak di Provinsi Sulawesi Utara, Indonesia, adalah tempat tujuanku. Kabupaten ini merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Kepulauan Talaud dan Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro pada tahun 2002 dan 2007. Ibu kota Kabupaten Sangihe adalah Tahuna, yang terletak di sebuah wilayah seluas 736,98 km². Penduduk Kabupaten Sangihe pada pertengahan 2024 diperkirakan mencapai 137.450 jiwa.
Setalah semua persiapan selesai, aku berangkat menuju Bandara Soekarno-Hatta pada pukul 8 pagi. Dari sana, aku terbang menuju Kota Manado dan tiba di sana pada pukul 1 siang. Setiba di pelabuhan Manado angin sore yang segar menyapa wajahku, membawa aroma laut yang khas. Di sana, sebuah kapal besar sudah bersandar, siap mengantarkan aku menuju pulau yang akan menjadi tujuan perjalananku. Suara mesin kapal yang mulai dihidupkan menandakan bahwa sebentar lagi, perjalanan panjang ini akan dimulai. Aku melangkah masuk ke dalam ruang penumpang, mencari tempat duduk yang nyaman. Di luar jendela, aku melihat pelabuhan yang mulai sibuk, orang-orang berlarian dengan keperluan masing-masing, sementara kapal-kapal lain juga bersiap untuk berlayar.
Kapal ini akan membawaku menembus batas lautan, mengarungi ombak yang terkadang tenang, terkadang bergelora. Matahari sore begitu indah di pelabuhan manado, cahayanya memantulkan kilauan di permukaan laut yang luas, seperti selaksa permata yang tersebar di atasnya. Aku duduk, memejamkan mata sejenak, merasakan getaran lembut kapal yang mulai bergerak perlahan.
Perjalanan ini bukan hanya sekadar perpindahan dari satu tempat ke tempat lain, tapi juga sebuah perjalanan batin. Seperti pelayaran yang sudah lama dinantikan, ada semangat baru yang lahir di setiap langkah, ada harapan yang tumbuh di setiap hembusan angin. Di tengah lautan ini, aku merasa seolah dunia hanya milikku-sepi, sunyi, namun penuh dengan cerita yang belum terungkap,
Suasana kapal yang semakin terasa nyaman membuatku kembali mengingat tujuan perjalananku. Kepualauan Sangihe, sebuah daerah yang jauh dari keramaian kota besar, menawarkan sebuah kehidupan yang lebih sederhana dan lebih dekat dengan alam. Aku membayangkan bagaimana kehidupan di sana, bagaimana kebudayaan yang terjaga dengan baik, dan bagaiamana orang-orang yang tinggal di pulau-pulau kecil itu menjalani hari-hari mereka.
Perjalanan ini akan membawa banyak cerita, dan aku siap untuk menyambut setiap momen yang akan datang, seperti menantikan petualangan yang penuh misteri dan keindahan. Sebentar lagi, Sangihe akan terbentang di depan mata, menunggu untuk diceritakan dalam kisah yang baru dimulai.
Setelah 9 jam melakukan perjalanan dari pelabuhan Manado, akhirnya kapal itu merapat ke pelabuhan Tahuna. Aku menatap ke luar jendela, dan mataku tertumbuk pada pemandangan yang begitu memesona. Pulau Sangihe, dengan hijaunya pepohonan yang menjulang, seolah menyambut kedatanganku dengan senyuman hangat. Dari jauh, tampak bukit-bukit yang melingkari pulau ini, memeluknya dengan lembut, seolah memberikan perlindungan dari segala gangguan dunia luar.
Aku turun dari kapal, merasakan udara segar yang mengalir bebas, membawa aroma khas lautan yang masih asri. Daun-daun yang basah oleh embun pagi berkilau di bawah sinar matahari, seolah-olah mereka berbisik dalam bahasa mereka sendiri. Suara burung-burung yang berkicau riang mengisi udara, melantunkan lagu alam yang menenangkan. Beberapa spesies langka yang hanya dapat ditemukan di sini, terbang dengan anggun, memperlihatkan warna-warna cerah yang memukau. Di setiap sudut pulau ini, flora dan fauna hidup dalam harmoni yang sempurna, seolah menandakan bahwa tanah ini masih belum terjamah oleh kerusakan dunia luar.
Aku melangkah lebih dalam ke dalam pulau, melalui jalanan yang penuh bisikan alam dan kelilingi oleh pepohonan rimbun. Setiap langkah membawa aku lebih dekat kepada kekayaan alam yang luar biasa ini-tanah yang subur, yang melahirkan beragam tanaman endemik yang jarang ditemukan di tempat lain. Pohon-pohon kayu jati yang kokoh berdiri, menyebarkan aroma harum yang menenangkan, setiap inci tanah ini terasa begitu hidup, seakan alamnya berbicara melalui dedaunan, angin, dan suara-suara yang mengisi ruang.
Namun, bukan hanya flora yang menakjubkan di sini. Kekayaan laut yang ada di sekitar pulau ini juga tak kalah mengagumkan. Laut Sangihe, dengan airnya yang jernih, menyimpan ribuan spesies ikan, terumbuh karang yang berwarna-warni, dan kehidupan bawah laut yang penuh misteri. Warga setempat sering bercerita tentang ikan-ikan tuna yang melimpah, serta harta karun alam yang tersembunyi di dasar laut.
Aku berjalan lebih jauh, menelusuri jalan setapak yang mengarah ke kawasan pegunungan. Di sana, di puncak bukit, aku dapat melihat seluruh keindahan pulau ini dari ketinggian. Laut biru yang membentang luas, dengan pulau-pulau kecil yang tersebar seperti mutiara, dikelilingi oleh hutan lebat yang melindungi segalanya. Pemandangan ini sungguh luar biasa-sebuah simfoni alam yang menenangkan jiwa dan membangkitkan rasa syukur atas segala keindahan yang ada di hadapanku.
Setiap sudut pulau ini, setiap hembusan angin yang menyapa wajahku, dan setiap langkah yang aku ambil, membuatku semakin sadar betapa kaya dan indahnya alam Sangihe. Ini bukan sekadar tempat di peta, ini adalah sebuah dunia yang penuh dengan kehidupan, kekayaan, dan misteri yang menunggu untuk dijelajahi. Aku merasa terhubung dengan tanah ini, seakan-akan alamnya telah mengundangku untuk menjadi bagian dari kisah yang telah lama ada disini, sejak ribuan tahun yang lalu.
Dan di tengah semua keindahan ini, aku tahu bahwa perjalanan ini-perjalanan yang baru saja dimulai-akan membawa aku pada petualangan yang tak hanya tentang tempat, tetapi juga tentang mengenal lebih dalam jiwa alam yang begitu megah ini.
Namun, di balik keindahan yang memukau dan kekayaan alam yang melimpah, ada bayang-bayang gelap yang mengancam keberlanjutan pulau ini. Perjalanan yang kujalani menuju kedalaman Sangihe membuka mata akan kenyataan yang jauh lebih kompleks. Pulau ini, yang seharusnya menjadi rumah bagi flora dan fauna yang langka, kini terjebak dalam pusaran konflik yang tak terelakkan.
Isu pertambangan yang terus berkembang di Sangihe telah menjadi duri dalam daging bagi alam yang begitu rapuh ini. Di beberapa tempat, suara mesin bor dan ledakan dinamit mengguncang kedamaian, merusak keheningan hutan dan menggusur banyak spesies yang telah lama hidup di sana. Tanah yang kaya akan mineral kini dikeruk untuk kepentingan komersial, tanpa memikirkan dampak jangka panjang terhadap keseimbangan ekosistem.
Burung-burung langka yang menjadi kebanggaan pulau ini, seperti burung seriwang Sangihe yang cantik dan elang-elang besar yang dulu bebas berkeliaran, kini semakin sulit ditemukan. Suara kicauan mereka yang dahulu merdu kini semakin jarang terdengar, digantikan oleh suara-suara keras dari kegiatan pertambangan. Hutan yang selama ini menjadi tempat mereka berlindung dan mencari makan, perlahan mulai menghilang. Pohon-pohon besar yang menjadi rumah bagi ribuan spesies burung dan serangga, satu per satu ditebang untuk membuka jalan bagi perusahaan yang mengklaim mengembangkan sumber daya alam di pulau ini.
Tidak hanya burung, flora dan fauna lainnya juga menghadapi ancaman yang sama. Tanaman obat bernama boro yang dulu tumbuh subur di hutan Sangihe, yang telah digunakan oleh penduduk setempat selama berabad-abad, kini mulai hilang dari habitat aslinya. Keanekaragaman hayati yang telah ada selama ribuan tahun, yang memberi kehidupan bagi ribuan makhluk hidup, terancam punah dalam sekejap akibat keserakahan manusia.
Di sepanjang perjalanan, aku menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana aktivitas pertambangan telah merusak sebagian besar kawasan hutan. Tanah yang dulu subur kini tergerus dan gersang, dan sungai-sungai yang dulu jernih kini tercemar oleh limbah tambang yang mengalir deras, merusak segala kehidupan yang ada di dalamnya. Bahkan beberapa spesies ikan yang dulunya menjadi sumber utama mata pencaharian masyarakat pesisir, kini semakin langka, terpaksa mencari tempat berlindung di wilayah yang lebih aman.
Penduduk setempat pun mulai merasakan dampak yang mengerikan. Meskipun mereka hanya menjadi saksi dari konflik besar ini, hidup mereka bergantung pada alam yang semakin terancam. Banyak dari mereka yang dulu hidup damai dengan alam, kini harus memilih antara bertahan dengan cara tradisional atau terjerat dalam janji-janji manis perusahaan tambang yang menjanjikan kesejahteraan ekonomi. Namun, kesejahteraan yang dijanjikan itu sering kali hanya menguntungkan segilintir orang, sementara yang lain harus menanggung kerugian besar, kehilangan tanah, dan kehancuran sumber daya alam yang menjadi penopang hidup mereka.
Di saat seperti inilah, aku menyadari bahwa keindahan yang ada di depan mata ini bukanlah hal yang dapat diambil begitu saja tanpa memperhitungkan akibatnya. Pulau Sangihe, dengan segala keajaiban alamnya, kini terancam oleh sebuah dilema besar: antara mempertahankan warisan alam yang berharga ini atau mengorbankannya demi keuntungan yang sementara.
Aku memandang jauh ke cakrawala, berharap bahwa masih ada waktu untuk menyelamatkan pulau ini, untuk memberikan kesempatan bagi alamnya agar tumbuh dan berkembang kembali. Mungkin masih ada harapan, mungkin masih ada waktu untuk melawan, dan mungkin, hanya mungkin, suara lama yang dulu terabaikan ini akan terdengar kembali. Namun, hanya waktu yang bisa memberi jawabannya.
Dengan setiap langkah kecil yang aku ambil, dengan setiap tindakan yang aku lakukan untuk melindungi alam, aku sedang menulis masa depan yang lebih baik untuk Indonesia dan dunia. Pulau Sangihe bukan hanya milik mereka yang tinggal di sana, tetapi juga milik kita semua.
Tanggapan