Produsen Oksigen Terbesar di Dunia yang Hidup di Perairan Laut

Banyak media yang membicarakan mengenai deforestasi yang terus menggerogoti ‘Paru-paru Pertiwi’ hingga berbagai pihak berdebat untuk solusi menangani permasalah tersebut. Lalu tercetuslah usulan untuk melakukan Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD+) di KTT Rio+20 yang diadakan di Rio de Janeiro, Brazil pada tanggal 20 sampai 22 Juni 2012 silam.

Salah satu hasil dari usulan tersebut berupa pemberian insentif kepada negara berkembang untuk merawat dan mengelola hutan yang dimiliki untuk usaha mengurangi karbon dunia yang berasal dari deforestasi.

Namun mulai dari sini timbul pertanyaan, apakah semua oksigen yang dihasilkan oleh hutan di daratan benar-benar mampu mecukupi kebutuhan oksigen bagi seluruh makhluk hidup di daratan juga makhluk hidup yang menghuni lautan?

Sedangkan ¾ dari bumi adalah lautan dimana makhluk hidup yang hidup di laut juga lebih banyak dibandingkan yang ada di darat. Ternyata masih ada produsen yang tak kalah penting dalam memasok oksigen untuk laut maupun atmosfer.

Menurut National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) yang merupakan lembaga Administrasi Kelautan dan Atmosfer Nasional Amerika, berpusat di Washington, D.C., meyatakan bahwa 50-80% produksi oksigen di Bumi berasal dari lautan.

Mayoritas produksi ini berasal dari organisme mikroskopis yang mengapung di lautan yaitu plankton (fitoplankton), alga, dan beberapa bakteri yang dapat berfotosintesis. Ada juga yang berasal dari tumbuhan Lamun (Sea grass).

Meskipun berukuran relatif sangat kecil, plankton ini memiliki peranan ekologis yang sangat penting dalam menunjang kehidupan di perairan, selain menyediakan oksigen. Plankton juga berperan sebagai produsen dalam rantai makanan di lautan.

Fitoplankton yang mampu hidup dengan berfotosintesis layaknya tumbuhan, menjadi makanan zooplankton dan ikan-ikan kecil yang kemudian ikan kecil tersebut akan dimakan oleh ikan yang lebih besar atau biota lain hingga ke puncak rantai makanan. Wah, ternyata makhluk ini kecil-kecil cabe rawit ya.

Nah untuk si Lamun, selain membantu sang plankton menyumbang oksigen.  Dia berperan penting sebagai rumah dari berbagai biota laut untuk mencari makan, berlindung, dan melakukan aktivitas lain.

Salah satu contoh hewan yang biasa mondar-mandir di Padang Lamun adalah Putri Duyung. Sang Putri Duyung ini memiliki sebutan lain yaitu Dugong atau yang biasa disebut Sapi Laut. Sebutan Sapi Laut diberikan karena Ia biasanya memakan rerumputan Lamun layaknya seekor sapi.

Dugong yang sedang merumput di Padang Lamun | foto: kkp.go.idDugong yang sedang merumput di Padang Lamun | foto: kkp.go.id

Sebagai informasi tambahan, Dugong ini merupakan salah satu hewan yang dilindungi. Dikarenakan jumlahnya yang sedikit akibat semakin berkurangnya Padang Lamun yang menjadi rumah dan makanan mereka karena kerusakan lingkungan.

Selain itu Padang Lamun juga berfungsi sebagai peredam gelombang serta sebagai penyaring sedimen dari daratan yang akan masuk ke laut lepas, sehingga sedimen tidak sampai ke ekosistem karang. Apabila karang sampai tertutup oleh sedimen maka dapat mematikan terumbu karang tersebut.

Jadi itu Fitoplankton kan bisa fotosintesis kan ya, terus berarti misal kita beri pupuk atau nutrisi ke perairan laut bakal lebih banyak oksigen yang akan dihasilkan dong?

Jadi begini, bukan seperti itu konsepnya ya. Memang benar akan terjadi pertumbuahan plankton atau alga yang cepat secara masif, terus menghasilkan oksigen juga. Namun setelah kematian alga tersebut akan terjadi proses penguraian mayatnya yang dinamakan proses dekomposisi.

Fenomena red tides dimana fitoplankton beracun tumbuh berlebihan | foto: NOAA

Nah proses tersebut bakal mengkonsumsi oksigen di perairan dalam jumlah besar pula, sehingga akan menciptakan zona mati (dead zone) dimana zona tersebut kekurangan oksigen. sehingga terjadi kematian masal pada ikan dan biota laut yang berada di bawah terjadinya proses dekomposisi tersebut. Fenomena tersebut diistilahkan sebagai blooming algae atau eutrofikasi.

Ada juga fenomena yang disebut red tide  dimana fitoplankton yang termasuk jenis Harmful Algae Bloom (HAB) tumbuh secara masif hingga mengubah perairan menjadi merah darah, kuning, cokelat, atau warna lain tergantung pigmen dari fitoplankton tersebut dan menghasilkan racun di perairan.

Racun yang dihasilkan dapat mencemari perairan hingga mampu menyebabkan kematian masal pada biota laut yang ada di sekitar red tide tersebut. Semua biota yang terpapar racun tersebut bahaya apabila dikonsumsi oleh manusia karena bersifat akumulatif, yang efeknya bisa mematikan.

Oleh karena itu, kita sebagai manusia yang telah diciptakkan dengan akal dan pikiran, perlu untuk menjaga keseimbangan dan kebersihan lingkungan laut kita.

Jangan sampai kita asal membuang limbah organik seperti limbah-limbah pertanian dan rumah tangga ke perairan begitu saja, karena hal tersebut dapat memicu terjadinya eutrofikasi ataupun red tide yang tentu saja itu juga akan merugikan manusia.

Editor : Annisa Dian Ndari

Artikel Terkait

Tanggapan