Kerusakan Ekosistem Laut Karimunjawa: Mewujudkan Tambak Udang Modern Ramah Lingkungan Untuk Ekosistem Laut Yang Sehat
Kasus kriminalisasi Daniel Frits Maurits Tangkilisan, seorang aktivis lingkungan di Karimunjawa, menjadi sorotan publik beberapa waktu lalu. Musababnya karena Daniel menentang keras perusakan lingkungan akibat tambak udang di wilayah Karimunjawa yang justru harus menghadapi jeruji besi. Namun kabar baik datang setelah mengajukan banding, Daniel yang sebelumnya dinyatakan bersalah oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jepara karena melanggar Undang Undang Informasi dan Transasksi Elektronik (UU ITE) atas unggahan video tercemarnya Pantai Karimunjawa berakhir dibebaskan dari vonis 7 bulan penjara setelah bandingnya diterima oleh oleh Pengadilan Tinggi Semarang.
Tapi hal yang menjadi Ironis meskipun kasus Daniel berakhir dengan baik, sebagian ekspansi tambak udang di Karimunjawa terus berlanjut tanpa hambatan, mengancam lebih jauh lagi kelestarian lingkungan laut dan ekosistemnya.
Selayang Pandang Karimun Jawa dan Kehancuran Ekosistem Laut Akibat Tambak Udang
Sebelum masuk lebih jauh, penting untuk kita mengetahui selayang pandang tambak udang di Karimunjawa yang menjadi sorotan publik karena kasus kriminalisasi Daniel. Tambak udang di Karimunjawa, meskipun menyumbang pada sektor ekonomi, sayangnya membawa sederet permasalahan yang kompleks. Salah satu yang paling krusial adalah pencemaran lingkungan akibat limbah tambak. Limbah organik yang terdiri dari sisa pakan, kotoran udang, dan bahan kimia tambak mencemari air laut, menyebabkan eutrofikasi, dan memicu kematian biota laut. Studi dari (Purnomo, Patria, Takarina, & Karuniasa, 2022) yang berjudul Enviromental Impact of the intensive System of Vannamei Shrimp (Litopenaeus vannamei) Farming on the Karimunjawa-Jepara-Muria Biosphere Reserve, Indonesia menunjukkan bahwa limbah dari tambak udang yang mengandung banyak bahan organik dan polutan menyebabkan berkurangnya konsentrasi oksigen di dalam air. Hal ini mengakibatkan kematian biota di dalam ekosistem air dan pertumbuhan yang tidak terkendali dari fitoplankton di permukaan air.
Kondisi Pantai Cemara yang tercemar limbah tambak udang.
Pantai Cemara beberapa tahun terakhir menjadi satu contoh kerusakan lingkungan di Karimunjawa, di sepanjang garis pantai, air dan tepian terlihat tercemar dengan limbah berwarna hijau kecoklatan sejauh mata memandang dan bau busuk yang mengganggu. Selain itu, konversi hutan mangrove menjadi tambak udang juga membawa dampak destruktif. Mangrove berperan penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem pesisir, mencegah abrasi, dan menjadi habitat bagi berbagai spesies flora dan fauna. Hilangnya hutan mangrove akibat ekspansi tambak udang memperparah kerusakan lingkungan dan mengancam ketahanan hidup masyarakat pesisir.
Dampak jangka panjang dari tambak udang yang tidak ramah lingkungan ini tak hanya mengancam kelestarian laut dan ekosistemnya, tetapi juga membahayakan kesehatan manusia. Konsumsi ikan dan udang yang terpapar limbah tambak dapat menyebabkan berbagai penyakit, seperti keracunan dan gangguan pencernaan. Alih-alih melindungi laut dan ekosistemnya, laju ekspansi lahan budidaya seperti tambak udang, dan lain-lain kian marak dan merusak ekosistem laut Indonesia. Tidak hanya di Karimunjawa, ekspansi tambak udang juga terjadi dibeberapa wilayah seperti pesisir Demak, Pacitan, Banyuwangi dan beberapa wilayah lain termasuk di luar pulai jawa. Kondisi ini memicu pertanyaan mendesak: bagaimana mewujudkan budidaya udang yang modern dan ramah lingkungan, demi menjaga kesehatan laut dan ekosistemnya?
Integrated Multi-Trophic Aquaculture (IMTA), Konsep Pengelolaan Lahan Budidaya Yang Bertanggung Jawab
Metode IMTA (Integrated Multi-Trophic Aquaculture) merupakan metode pengelolaan tambak udang yang bertanggung jawab terhadap lingkungan. IMTA melakukan pendekatan tambak udang yang ramah lingkungan dengan mengintegrasikan beberapa spesies dalam satu sistem budidaya. Dalam sistem ini, limbah yang dihasilkan oleh spesies utama, seperti udang, dimanfaatkan sebagai sumber energi dan nutrien bagi spesies lainnya, seperti rumput laut atau kerang. Misalnya, nutrien yang terkandung dalam limbah udang dapat dimanfaatkan oleh rumput laut untuk pertumbuhannya, sementara kerang dapat membersihkan air dari sisa-sisa pakan dan kotoran udang. Dengan demikian, IMTA tidak hanya menghasilkan produk utama seperti udang, tetapi juga produk-produk tambahan yang dapat dipanen, seperti rumput laut atau kerang, yang mengurangi dampak lingkungan seperti tingginya bahan organik dan konsentrasi nitrogen di dalam air.
IMTA merupakan metode tambak udang yang tepat dan bertanggung jawab karena tidak hanya fokus pada produksi udang semata, tetapi juga memperhatikan keselarasan ekosistem dan keberlanjutan lingkungan. Dengan memanfaatkan limbah dari satu spesies sebagai input untuk spesies lainnya, IMTA dapat mengurangi jejak karbon dan jejak nitrogen dari budidaya tambak udang. Pendekatan ini tidak hanya meminimalkan dampak negatif seperti eutrofikasi dan pencemaran air, tetapi juga meningkatkan efisiensi sumber daya dan mengurangi tekanan terhadap lingkungan pesisir, seperti kerusakan hutan mangrove. Selain itu, IMTA juga mendukung keberlanjutan ekonomi masyarakat lokal dengan menciptakan lebih banyak peluang kerja dan meningkatkan nilai tambah dari produk tambak. Dengan menerapkan IMTA, diharapkan dapat memperbaiki kualitas air dan tanah di sekitar tambak udang, serta mengurangi risiko terjadinya pencemaran lingkungan yang sering terjadi pada praktik tambak konvensional.
Kesimpulan
Pandangan (White Jr, 1967) dalam karya ilmiahnya yang berjudul The Historical Roots of Our Ecologi Crisis, bahwa krisis ekologi pada akhirnya disebabkan oleh pandangan dunia antroposentrisme, menyoroti pentingnya mengubah paradigma manusia terhadap lingkungan. Antroposentrisme yang menempatkan manusia sebagai pusat segala sesuatu, dengan hak untuk menguasai dan mengeksploitasi alam untuk kepentingan dirinya sendiri, telah menyebabkan destruksi lingkungan yang luas. Dalam konteks kasus tambak udang di Karimunjawa, praktik ekspansi tambak yang tidak terkendali adalah contoh nyata dari bagaimana pandangan ini telah mengarah pada kerusakan lingkungan yang serius, termasuk degradasi hutan mangrove dan pencemaran laut. Lynn White, Jr., menyarankan perlunya mengadopsi pandangan ekologi yang lebih holistik dan berkelanjutan, di mana manusia mengakui ketergantungannya pada ekosistem alam dan bertanggung jawab untuk melestarikan keanekaragaman hayati serta keberlanjutan planet ini untuk generasi mendatang. Transformasi menuju praktek-praktek seperti IMTA dapat menjadi langkah positif dalam mereduksi dampak negatif terhadap lingkungan, sambil memastikan bahwa aktivitas manusia lebih sejalan dengan prinsip-prinsip keberlanjutan dan keadilan ekologis.
Sumber:
Heriani, F. N. (2024, May 22). Hukum Online. Retrieved from hukumonline.com: https://www.hukumonline.com/berita/a/daniel-tangkilisan-bebas–iluni-ui-apresiasi-putusan-majelis-hakim-pt-semarang-lt664db64077ea8/?page=all
Nurfaizah, A. (2024, May 3). Project Multatuli. Retrieved from https://projectmultatuli.org/: https://projectmultatuli.org/membela-lingkungan-malah-dipenjara-tambak-udang-mencemari-karimunjawa/
Purnomo, A. R., Patria, M. P., Takarina, N. D., & Karuniasa, M. (2022). Environmental Impact of the Intensive System of Vannamei Shrimp (Litopenaeus vannamei) Farming on the Karimunjawa-Jepara-Muria Biosphere Reserve, Indonesia. International Journal on Advanced Science, Engineering and Information Technology.
White Jr, L. (1967). The Historical Roots of Our Ecologic Crisis. Science, 1203-1207.
Widowati, L. L., Rejeki, S., Ariyati, R. W., & Bosma, R. H. (2019). Petunjuk Budidaya Tambak Terpadu (IMTA) Integrated Multi Tropic Aquaculture. Semarang: Project to design Aquaculture for Supporting Mangrove.
Witomo, C. M. (2018). Dampak Budi Daya Tambak Udang Terhadap Ekosistem Mangrove. Marina, 75-85.
Tanggapan