Lobster, Makanan Orang Miskin dan Narapidana yang Ditenar-tenarkan

lobster

Alkisah, di sebuah negara sebut saja Amerika Serikat (AS) tepatnya di Massachusetts tempat perkumpulan orang – orang yang menyalahi aturan (kala itu). Orang – orang ini dijaga oleh petugas yang bekerja 24 jam mengawasi mereka yang disekap di bawah jeruji besi. Tempat ini, tak ada siapapun yang menjadikan nya tempat impian. Sebab untuk menetap disini harus terbukti telah melanggar aturan.

Meski demikian, ada hal yang menguntungkan para pelanggar. Orang – orang ini, segala kebutuhannya telah disediakan dan ditanggung penuh oleh pihak yang berwenang. Mereka tak perlu lagi memikirkan apa yang harus mereka beli untuk dimasak dan dimakan.

Lobster, salah satu menu andalan yang terus disajikan untuk para penghuni jeruji besi kala itu. Dilansir dari Time, lobster merupakan makanan orang-orang miskin karena harganya yang murah dan ketersediaan di alam begitu melimpah kala itu.

Lobster. / Foto: Ciaran McCrickard / Greenpeace

Hal inilah yang pada akhirnya menjadi landasan dasar pemilihan lobster sebagai makanan yang dihidangkan hampir setiap hari bagi para narapidana di Massachussets, Amerika Serikat (AS).

Pemerintah berpendapat bahwa hidangan lobster jauh lebih terjangkau dibandingkan harus membeli ikan untuk menghemat ongkos makan para tahanan di penjara.

Disamping itu, penduduk asli Amerika justru memanfaatkan lobster sebagai pupuk tanaman dan umpan memancing ikan. Hanya sesekali mereka memasak lobster dengan cara dibungkus rumpul laut dan dipanggang di batu panas.

Menilik dari kacamata penduduk Amerika, lobster menjadi alternatif makanan oleh orang tak mampu ketika terjadi gagal panen atau cuaca ekstrem.

Seiring berjalannya waktu, lobster mulai naik daun sejak munculnya teknologi makanan kaleng dan alat transporatasi semakin maju. Lobster kaleng mulai dipasarkan dengan harga yang murah dan menjadi produk populer untuk orang – orang yang tinggal jauh dari laut kala itu.

Turis yang berkunjung mulai mengenal lobster segar hingga reputasi lobster terus membaik. Permintaan lobster semakin tinggi, restoran lobster bermunculan beriringan dengan terbitnya buku masak dan resep lobster. Kedudukan lobster yang awalnya hanya “kecoak laut” berangsur – angsur membaik dan menjadi makanan mahal seiring dengan meningkatnya permintaan dan popularitas lobster.

lobster
Sekeluarga sedang menikmati Lobster di sebuah restoran di Falls Church, Virginia. / Foto: Greenpeace / Robert Visser

Akhir – akhir ini sejauh pantauan penulis, lobster sudah menjadi polemik panas di Indonesia. Situasi ini bermula sejak pelegalan ekspor benih lobster oleh Edhy Prabowo selaku Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Indonesia.

Tradisi ekspor benih lobster dibanderol dengan harga yang cukup fantastis sehingga menjadikan lobster sebagai salah satu kekayaan alam yang diincar para nelayan.

Padahal, jika ditilik lebih dalam lagi justru membahayakan lingkungan dan bertentangan dengan tujuan pembangunan berkelanjutan (SDG’s) nomor 14 tentang kelestarian kehidupan bawah air. Bagaimana tidak, lobster tinggal di terumbu karang yang dijadikan rumah oleh berbagai keanekaragaman hayati laut.

Dengan penawaran harga yang sangat tinggi tentu saja tingkat eksploitasi terus meningkat. Akhirnya karena kepentingan ekonomi mendorong maraknya ekploitasi ilegal dikalangan nelayan. Eksploitasi yang berlebihan dapat mengancam keberlangsungan hidup lobster sehingga secara paralel mengancam kehidupan terumbu karang.

Sejauh ini terumbu karang sudah sangat terancam akibat pemanadan global. Jumlah emisi yang terjadi akibat kebakaran berhasil meningkatkan suhu bumi yang berdampak pada memutihnya karang akibat air laut yang menjadi lebih asam.

lobster
Kampanye bahaya overfishing. / Foto: Greenpeace / Sarah King

Ditambah lagi kegiatan eksploitasi lobster dan hewan laut yang berlebihan menjadikan terumbu karang terpaksa menerima dua tekanan secara bersamaan. Sudah saatnya kita sama sama memikirkan pengelolaan sumber daya alam dan ekonomi tanpa mengabaikan baik buruknya bagi bumi.

Baca juga: Lika-Liku Lobster Laut 

Editor: J. F. Sofyan

Foto Thumbnail: Richard Barnden / Greenpeace

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Tanggapan