5 Fakta Perempuan Pesisir Indonesia

perempuan pesisir

Indonesia sebagai negara kepulauan maka tidak bisa lepas dari kepentingan masyarakat pesisir. Masyarakat pesisir hidup bersentuhan langsung dengan laut dan sumber daya yang ada di dalamnya misalnya aktivitas perikanan.

Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. Kep.45/MEN/2011 menerangkan bahwa perairan Indonesia diperkirakan memiliki potensi sumber daya perikanan tangkap sebanyak 6,5 juta ton pertahun. Sebanyak 4,4 juta ton diperkirakan dapat ditangkap secara lestari di perairan Indonesia dan sebanyak 1,86 juta ton dapat ditangkap di wilayah ZEE Indonesia.

Data KKP tahun 2019 memperlihatkan bahwa jumlah nelayan pada tahun 2019 mencapai 2.7 juta orang, namun sayangnya mayoritas masih berada di ambang batas garis kemiskinan dan berkontribusi sebanyak 25 persen terhadap angka kemiskinan nasional.

1. Perempuan Pesisir Berperan Penting dalam Mencari Nafkah Bahkan Menjadi Tulang Punggung namun Sering Tidak Dianggap

Perempuan pesisir menjual ikan di pasar ikan di Larantuka City, East Nusa Tenggara.

Dalam masyarakat pesisir Indonesia, laki-laki dan perempuan memiliki peranan yang sama penting.
Dalam kajian yang dilakukan oleh Pratiwi dan Boangmanalu (2017) disebutkan bahwa keterlibatan perempuan pesisir dalam aktivitas ekonomi. Menurut Adhuri dkk (2018) fenomena perempuan sebagai pencari nafkah tidak terjadi di satu daerah pesisir saja, namun hampir di seluruh wilayah pesisir Indonesia.

Besarnya keterlibatan perempuan pesisir tersebut seringkali tidak dianggap sebagai kontribusi utama dalam keluarga, melainkan hanya sebagai pelengkap untuk membantu suaminya sebagai nelayan.

Padahal menurut kajian Adhuri dkk (2018), perempuan pesisir berperan sangat signifikan mulai dari membantu persiapan suami melaut (dengan menyiapkan bekal), ikut serta mencari atau menangkap ikan di laut (menjadi nelayan), memasarkan hasil tangkapan ikan, sampai pada mengolah hasil tangkapan ikan.

Sekjen Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI), Masnuah mengungkapkan bahwa perempuan nelayan adalah pejuang tangguh, perempuan nelayan harus bekerja selama 17 jam perhari untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan kebutuhan protein bangsa.

2. Perempuan Pesisir Sebagai Pahlawan Protein Bangsa

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) menemukan fakta bahwa pangan laut dan protein ikan yang sangat berlimpah di perairan Indonesia dihadirkan oleh perempuan nelayan ke meja makan seluruh keluarga di negeri ini.

Sekjen KIARA, Susan Herawati menyatakan bahwa perempuan nelayan yang tersebar di seluruh wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia (10.666 desa pesisir, tersebar di 300 kab/kota) terus bekerja menghadirkan pangan laut yang artinya berkontribusi besar dan strategis dalam pemenuhan protein bangsa.

3. Perempuan Pesisir Sebagai Agent of Change

Adhuri dkk (2018) menyebutkan bahwa hak dan kesetaraan yang diperjuangkan perempuan pesisir menjadi kunci untuk bisa mengakses fasilitas, program pemberdayaan atau pelatihan, serta program bantuan sosial yang diberikan oleh negara serta pemerintah.

Kasus tersebut seiring dengan mencuatnya fakta tentang belum diakuinya perempuan sebagai “nelayan” pada kartu identitasnya (Kartu Tanda Penduduk) yang menimbulkan konflik baru. Perempuan kerap dipandang sebelah mata dan haknya belum diberikan sepenuhnya sebagai subjek hukum.

Kenyataan inilah yang kemudian menyebabkan perempuan pesisir melakukan pergerakan sosial agar hak
mereka menjadi sejajar, sesuai dengan peranan dan fungsi nyata mereka di dalam keluarga dan komunitasnya

Puspitasari (2012) menyebutkan bahwa perempuan memiliki kapasitas mental dan sosial, serta motivasi yang kuat untuk membantu perekonomian keluarga. Ditambahkan juga oleh Widhyharto (2015), kaum perempuan merupakan agent of change dalam mengurangi tingkat kemiskinan, baik dalam lingkup keluarga, komunitas, bahkan negara.

4. Perempuan Pesisir Rentan Terdampak Perubahan Iklim

Perempuan pesisir penduduk desa Timbulsloko lewat di jalan setapak yang menggantikan jalan asli yang benar-benar tenggelam oleh air laut karena naiknya permukaan laut bersamaan dengan penurunan tanah dan perubahan iklim di kecamatan Sayung, Demak, Jawa Tengah, Indonesia.

Cuaca ekstrim, banjir, dan rob menjadi tantangan yang dihadapi oleh perempuan nelayan dan keluarganya. Dalam menghadapi perubahan iklim, perempuan memiliki situasi, permasalahan dan inisiatif yang berbeda, yang sangat dipengaruhi oleh kedekatan perempuan dengan alam.

Sebuah studi yang dilakukan oleh Solidaritas Perempuan Anging Mammiri Makassar sebagaimana dikutip dari mongabay.co.id menunjukan bahwa di pesisir Makassar, Sulawesi Selatan terdapat banyak faktor-faktor penyebab kerentanan perempuan pesisir dan bagaimana kebijakan pemerintah kemudian justru memperparah kondisi yang ada.

Menurut Ketua SP Anging Mammiri, Nur Asiah faktor-faktor penyebab kerentanan tersebut antara lain pembangunan yang tidak ramah dan tidak partisipatif serta tidak memperhatikan situasi dan kondisi bentang alam Kota Makassar.

Pembangunan infrastruktur terutama di kawasan pesisir pantai kota Makassar dinilainya akan memberikan pengaruh terhadap kehidupan masyarakat, khususnya perempuan nelayan dan pesisir kota Makassar.

5. Perempuan Pesisir Menjadi Garda Terdepan Perjuangan Keberlanjutann Laut dan Lingkungan Hidup yang Sehat

Gerakan Pemuda Hijau dan Gerakan Perempuan yang bergabung dalam koalisi Save Spermonde di gedung Gubernur Sulawesi Selatan di Makassar, Sulawesi Selatan. Tindakannya adalah untuk mendesak pemerintah untuk membatalkan reklamasi pelabuhan baru Makassar yang menghancurkan laut dan pulau -pulau spermonde di sekitar daerah itu terutama Pulau Kodingareng.

Sejak Juni 2020 perjuangan nelayan dan perempuan pesisir Kodingareng memulai perjuangan mereka untuk merebut kembali ruang hidupnya yang dirampas.

Tercatat beberapa aksi yang dilakukan baik di lokasi penambangan, Kantor Gubernur, DPRD Provinsi sampai dengan melakukan diskusi publik sebagai bagian dari kampanye mereka. Hingga pada 25 Oktober 2020 kapal Queen of the Netherlands menghentikan operasi pertambangannya.

Jika kita melihat gerakan perempuan pesisir yang terbangun di Pulau Kodingareng, perempuan memiliki porsi yang sangat besar di dalamnya. Sedari awal hingga berakhirnya aktivitas pertambangan, perempuan Kodingareng begitu konsisten bersuara untuk mempertahankan wilayah tangkap nelayan.

Sebagai contoh kasus lain yang terjadi di Pulau Sangihe, perempuan pesisir memiliki andil yang besar bahkan menjadi inisiator gerakan perlawanan terhadap perusahaan eksploitatif dan kebijakan negara yang pro perusahaan.

Sebut saja Jull Takaliuang, seorang perempuan pesisir pulau kecil yang terus berjuang hingga saat ini bersama rekan-rekan dan komunitasnya berjuang hingga pengadilan Mahkamah Agung (MA).

Perjuangan tersebut tidak sia-sia, pasalnya keputusan terbaru dari MA telah memenangkan gugatan masyarakat pesisir Pulau Sangihe dan memerintahkan Menteri ESDM berkewajiban mencabut Surat Keputusan Meteri ESDM tentang Persetujuan Peningkatan Tahap Kegiatan Operasi Produksi Kontrak Karya PT Tambang Mas Sangihe (PT TMS) di Pulau Sangihe, Sulawesi Utara.***

Baca juga: Perempuan Kodingareng: Bergerak, Berjuang, dan Berorganisasi

Artikel Terkait

Penerapan Kampung Ikan Berbasis Teknologi Hatchery dalam Optimalisasi Percepatan Kemandirian Pangan Perikanan Nasional

Salah satu kisah sukses teknologi hatchery adalah hatchery skala rumah tangga (HSRT) yang terdapat dibagian utara Bali.

Teknologi ini dikembangkan oleh Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol Bali dan dengan pesat diterapkan oleh nelayan – nelayan setempat yang awalnya ingin mengadakan diversifikasi usaha dari perikanan budidaya secara tradisional ke perikanan budidaya skala industri seperti tambak dan keramba jaring apung.

Tanggapan