Darurat Kesadaran Krisis Iklim

Musim belakangan datang tidak menentu, sesaat terasa panas bisa jadi pekan depan berganti entah lebih panas ataupun hujan seketika. Beginilah sekarang, banyak yang mulai berkeluh kesah namun masih belum paham kalau memang perubahan musim ini pertanda akan sesuatu yang tidak baik-baik saja.

Dahulu, pada saat masih duduk di bangku sekolah, kita dikenalkan dengan datangnya dua musim yang berganti secara beriringan setiap tahunnya, akan tetapi kini berbeda, sulit untuk mampu memprediksi kapan musim hujan akan datang ataupun musim panas menerpa.

Sesaat fenomena semacam itu terlihat sepele dan bukan masalah besar, hanya saja kedepannya akan timbul sebuah kesadaran baru bahwa ternyata antara teori dan realita berbeda jauh. Mendapati sebuah peristiwa akan perubahan musim yang tidak menentu inilah, beberapa kelompok utamanya dengan basis lingkungan mulai menyuarakan isunya dengan sebutan krisis iklim.

Krisis yang berarti telah mencapai tahap darurat dan iklim sebagai penanda bahwa ini bukan hanya tentang panas dan hujan yang tidak menentu datang, melainkan bencana baru pun mulai bermunculan. Sejak kurang lebih 40 tahun lalu para ilmuwan dengan prediksinya hingga kini juga isu krisis iklim masih belum juga reda dan menjadi perhatian dunia.

Setelah meluapnya banjir di beberapa daerah dan hutan yang kian berkurang akibat terbakar, beberapa tulisan tentang krisis iklim bermunculan satu demi satu hingga sempat disorot media berita, namun peristiwa tersebut masih belum menjadi perhatian utama publik.

Dampak Krisis iklim bukan hanya cuaca tapi juga kekeringan, krisis ketahan pangan, kekhawatiran lain meliputi krisis air bersih dan penyebaran penyakit atau wabah, seperti pandemi covid19 yang sudah lebih dari 7 bulan di Indonesia .

Sumber terbesar berasal dari emisi gas rumah kaca  seperti kerusakan dan kebakaran hutan dan lahan, diikuti asap kendaraan dan pabrik dan pembangkit listrik energi fosil (batubara, minyak bumi, dan gas alam) dan tentunya juga berasal dari pola perilaku konsemerisme manusia itu sendiri.

Lalu Bagaimana Solusinya?

Menumbuhkan rasa sadar memang menjadi tugas kita semua utamanya siapapun yang lebih dahulu sadar tentang apa dan bagaimana krisis iklim tersebut. Sadar menjadi salah satu cara terbaik untuk dilakukan saat ini, seiring dengan proses pengadaptasian diri terhadap perubahan lingkungan yang terjadi.

Setelahnya, bagaimana sadar akan membawa seseorang tersebut menuju sebuah pembentukan pikir sehingga kemudian mampu mendapatkan solusi terdekat yang bisa dijangkau secara mudah. Fenomena menarik tentang sebuah kesadaran akan bahayanya krisis iklim ini muncul dari kehidupan sehari-hari yang notabennya berada di sebuah daerah kabupaten terpencil nan jauh dari hingar bingar kota.

Kebiasaan masyarakatnya masih senang dengan suatu yang mudah dan murah, terlebih prinsip tersebut sudah lama tertanam di dalam benak bahwa yang mudah tentu menciptakan rasa nyaman. Misalnya saja perkara sampah rumah tangga, belum banyak yang menerapkan pemisahan sampah kering dan basah, padahal itu menjadi penting walaupun terlihat gampang.

Menjadi sadar saja memang belum cukup, masih banyak cara lain yang harus dilakukan. solusi termudah yang dapat ditempuh adalah awali dari diri sendiri terlebih dahulu dengan melakukan tindakan sederhana, kemudian tindakannya mampu menularkan ke lingkungan sekitar dan berhasil menjadi contoh.

Walaupun terkesan sederhana, setidaknya berangkat dari kebiasaan kecil inilah selanjutnya mampu merubah kebiasaan lama dan memulai dengan yang baru. Selain kesadaran yang masih perlu dibangun, kerjasama antar stakeholder juga menjadi penting untuk dilakukan.

Kinerja pemerintah kerap kali dinilai sebagai hambatan terbesar dalam penanganan krisis iklim dibutuhkan keseriusan dan komitmen pemerintah dalam menangani krisis iklim.

Penanganan krisis iklim masih dinilai buruk, diharapkan Indonesia bisa menjadi pioneer dalam menangani krisis iklim karena kondisi geografis kita sangat mendukung untuk Indonesia memanfaatkan energi bersih dan terbarukan dari matahari, air dan angin .

Editor : Annisa Dian N

Artikel Terkait

Tanggapan