Urgent! ABK Indonesia Butuh Perlindungan Pemerintah Sekarang Juga

Kasus kematian ABK Indonesia yang bekerja di kapal ikan asing jarak jauh terus terjadi. Di akhir tahun 2020, seorang ABK asal Kendal dan seorang ABK asal Cirebon dilaporkan meninggal setelah bekerja di kapal ikan asing. 

Banyaknya ABK yang meninggal di kapal ikan jarak jauh karena kondisi kerja yang tidak layak, mulai dari jam kerja yang berlebihan, akomodasi yang tidak sesuai dengan kebutuhan serta sulitnya akses terhadap fasilitas kesehatan menyebabkan ABK berada dalam kondisi yang sulit.

Ditambah dengan perlakuan kekerasan fisik yang dialami ABK menyebabkan ABK sangat rentan terhadap eksploitasi dan perbudakan yang berakibat sakit dan bahkan meninggal. Setelah meninggal, ABK kemudian dilarung di tengah laut tanpa seizin dari keluarga. 

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI) secara jelas menyatakan bahwa awak kapal perikanan Indonesia yang bekerja di kapal asing merupakan bagian dari pekerja migran Indonesia. Oleh karena itu, setiap anak buah kapal (ABK) beserta keluarganya berhak mendapat pelindungan sebelum, selama, dan setelah bekerja. Namun, pada kenyataannya, masih banyak ABK dan keluarga mereka yang belum mendapatkan perlindungan sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang tersebut.

Meski Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) menyatakan bahwa pemerintah telah berkomitmen membenahi tata kelola dan ABK Indonesia, kasus eksploitasi atau perbudakan modern di laut hingga korban meninggal akibat kekerasan masih saja terjadi. 

Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah menilai bahwa pihaknya telah melakukan berbagai upaya pembenahan dan pelindungan bagi ABK, mulai dari proses pemberian izin bagi perusahaan perekrutan dan penempatan ABK, pendataan, pelatihan dan sertifikasi, hingga pengawasannya.

Meski begitu, Kemenaker mengungkapkan masih ada sejumlah masalah di lapangan, salah satunya pelanggaran izin penempatan ABK. Pihaknya menemukan bahwa masih ada perusahaan yang menggunakan izin perdagangan dari dinas perdagangan daerah. Padahal, penempatan ABK di kapal asing harus memperoleh izin dari Kemenaker berupa Surat Izin Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (SIP3MI) atau Surat Izin Usaha Perekrutan dan Penempatan Awak Kapal (SIUPPAK) dari Kementerian Perhubungan lewat

Menaker berpendapat bahwa pendayagunaan potensi laut beserta isinya perlu dilakukan untuk kepentingan bersama sehingga laut Indonesia bisa dimanfaatkan oleh rakyatnya sendiri. Dengan begitu, para nelayan atau awak kapal perikanan tidak hanya bekerja di kapal asing, tapi juga di kapal Indonesia.

Namun, yang menjadi permasalahan di sini bukan hanya bagaimana potensi laut diberdayakan secara optimal, melainkan bagaimana pemerintah mampu melindungi warganya, baik di dalam maupun di luar negeri.

ABK Belum Menjadi Prioritas

Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi mengungkapkan minimnya perlindungan awak kapal perikanan dipengaruhi oleh regulasi antarpemangku kebijakan yang masih belum sinergis.

Deputi Keamanan dan Ketahanan Maritim Kemenko Kemaritiman dan Investasi, Basilio Araujo, mengatakan bahwa pekerja di sektor perikanan belum mendapat perhatian khusus dari pemerintah. Hal tersebut dibuktikan dengan tidak adanya direktorat khusus yang menangani sektor perikanan di Kemenaker dan prioritas Kementerian Perhubungan (Kemenhub) yang hanya berfokus pada sektor maritim untuk kapal niaga sehingga pekerja untuk kapal perikanan luput dari perhatian.

Di lain pihak, ia juga menilai Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) tidak melaksanakan fungsinya secara utuh sesuai Peraturan Kepala BNP2TKI Nomor 3 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penempatan dan Perlindungan TKI Pelaut Perikanan di Kapal Berbendera Asing. 

Menurut kesepakatan antara BP2MI dengan Kementerian Luar Negeri (Kemenlu), BP2MI hanya akan mengurus pekerja migran Indonesia yang tiba di Indonesia, sedangkan pekerja  yang ada di luar negeri diurus oleh Kemenlu. Kondisi inilah yang pada akhirnya membuat Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) melalui Tim Nasional Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) secara inisiatif melakukan koordinasi terkait pekerja sektor perikanan. 

Tata Kelola dan Peraturan yang Masih Berantakan

Lemahnya perlindungan bagi ABK juga diakui oleh Kepala Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), Benny Rhamdani, yang mengatakan bahwa peraturan perlindungan terhadap pekerja imigran Indonesia, terutama ABK pelaut dan kapal ikan, masih berantakan.

Bukan cuma aturannya yang tumpang tindih, tata kelola dan kewenangan dari mulai perekrutan hingga penempatan ABK juga masih belum jelas. Menurutnya, hal ini disebabkan oleh belum adanya kejelasan dan ketegasan dalam pengaturan pembagian kewenangan tata kelola penempatan dan perlindungan ABK, baik antara lembaga pemerintah maupun pihak-pihak terkait lainnya.

Misalnya saja, surat izin penempatan ABK tidak hanya dikoordinasi oleh satu pihak. Banyak pihak yang bisa mengeluarkan surat izin tersebut, di antaranya Kementerian Perdagangan, Kementerian Perhubungan, serta Kementerian Ketenagakerjaan dan Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI).

Selain itu, setiap lembaga dan kementerian juga masih belum memiliki data terpadu terkait perekrutan dan penempatan ABK di luar negeri. Akibatnya, pemerintah akan sulit menangani kasus-kasus ABK yang bekerja di kapal asing.

Perlunya Pendekatan HAM pada Kasus Eksploitasi ABK

Peraturan yang tumpang tindih juga diakui oleh pendiri Foundation for International Human Rights Reporting Standards, Marzuki Darusman. Menurutnya, pemerintah seharusnya menggunakan pendekatan HAM dalam memperkuat perlindungan ABK sehingga penyelesaian kasus yang menimpa mereka tidak hanya dilihat sebagai kasus pelanggaran biasa.

Lebih lanjut lagi, Marzuki mencontohkan bagaimana kasus perbudakan ABK dan perdagangan orang di Benjina, Maluku, pada 2015 berhasil mendorong pemerintah untuk lebih memperhatikan penegakan HAM bagi para ABK.

Saat itu, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti langsung menerbitkan Peraturan Menteri Nomor 35/Permen-KP/2015 tentang Sistem dan Sertifikasi Hak Asasi Manusia pada Usaha Perikanan. 

Dalam peraturan tersebut, industri perikanan diwajibkan untuk memenuhi kondisi kerja yang adil dan layak bagi pekerja, termasuk hidup layak, akomodasi, makan dan minum, pengobatan, asuransi jaminan sosial, perlindungan risiko kerja, serta hak khusus lainnya.

Selain itu, pengusaha perikanan juga wajib menghindari terjadinya kerja paksa dalam bentuk penyalahgunaan kerentanan, penipuan, pembatasan ruang gerak, pengasingan, kekerasan fisik dan seksual, intimidasi dan ancaman, penahanan dokumen identitas, penahanan upah, jeratan utang, kondisi kerja dan kehidupan yang menyiksa, serta kerja lembur yang berlebihan. Itulah sebabnya, seluruh kapal ikan yang beroperasi di Indonesia harus memiliki sertifikasi HAM.

Sertifikasi yang dikembangkan oleh KKP ini seyogianya bisa diperkuat dan diperluas jangkauannya sehingga bisa mencakup perlindungan ABK WNI di kapal asing.

Dengan demikian, sangat penting dan mendesak agar pemerintah segera mengeluarkan dan menerapkan kebijakan terkait perlindungan ABK, meningkatkan sinergitas antarpemangku kepentingan terkait, serta melakukan pendekatan HAM agar kasus yang menimpa ABK Indonesia tidak hanya dipandang sebagai pelanggaran biasa.

Artikel Terkait

Tanggapan