Bandealit: Pantai Terisolasi Dengan Sejuta Senyum Nelayan

Bandealit merupakan salah satu pantai yang menjadi bagian dari Kawasan Taman Nasional Meru Betiri dan terletak di Desa Andongrejo, Kecamatan Tempurejo, Kabupaten Jember, Provinsi Jawa Timur. Akses menuju Bandealit terbilang tidak mudah, bahkan mungkin kurang manusiawi. Bagaimana tidak, karena hanya kendaraan tertentu seperti mobil taft, ranger, truk bak dan sejenisnya saja yang bisa melewatinya. Dan karena susahnya akses tersebutlah menyebabkan pemerintah masih belum juga turun tangan untuk merangkul masyarakat yang mendiaminya. Jangankan merangkul, mendengarkan saja sepertinya masih belum juga dilakukan.

Truk yang mengangkut masyarakat setelah membeli kebutuhan pokok untuk menuju kembali ke perkampungan Bandealit. Foto: Arsyta Zhafira Mukhtar.

Akses menuju Pantai Bandealit dengan medan yang sulit menyebabkan wilayah tersebut belum dijangkau oleh listrik dan ketersediaan akses untuk mengenal peradaban teknologi zaman sekarang. Akan tetapi, masyarakat kawasan Bandealit sudah sangat terbiasa dan cukup senang tinggal di sana. Seorang laki-laki yang merupakan Kepala Dusun Bandealit yang kerap disapa Pak Kasun menceritakan bahwa perkampungan Bandealit terdiri dari 500 KK dengan mayoritas bekerja sebagai Nelayan. “Masyarakat di sini kebanyakan adalah nelayan dan karena di sini masih belum ada internet buat mencari tahu perkembangan cara menangkap ikan secara modern, sehingga nelayan masih menggunakan cara tradisional yakni dengan jala,” begitulah kata Pak Kasun.

Cara penangkapan ikan secara tradisional oleh masyarakat setempat ternyata memiliki tujuan utama, yakni demi menjaga kelestarian ikan dan tidak merusak terumbu karang. Alat yang digunakan dalam menangkap ikan yakni jala dan jala ijuk. Jala pasti sudah umum dan lazim digunakan oleh banyak nelayan, tapi jala ijuk sudah sangat jarang digunakan oleh nelayan di luar sana dan juga jarang orang mengetahuinya. Disebut sebagai jala ijuk karena memang dibuat berbahan dasar ijuk yang mereka bentuk sedemikian rupa hingga menyerupai sarang berbentuk tabung kecil.

Para nelayan di kawasan Bandealit akan bertandang mencari ikan pada hari menjelang malam dan kembali ke pesisir pada pagi hari. Tetapi untuk ritual mencari ikan dimulai pada sore hari dengan terlihat banyak sekali nelayan yang berbondong-bondong menuju perahu mereka yang tersampir di pesisir barat pantai. Berdasar penglihatan secara sekilas, ada ratusan perahu nelayan ukuran kecil yang bisa memuat 2-3 orang yang telah menanti untuk diajak berlayar menuju lepas pantai.

Para nelayan bergotong royong untuk membawa perahu menuju tepi pantai. Sumber: Foto diambil langsung oleh penulis.
Para nelayan bergotong royong untuk membawa perahu menuju tepi pantai. Foto: Arsyta Zhafira Mukhtar.

Guyub rukun ialah istilah yang sangat tepat untuk merepresentasikan bagaimana seluruh nelayan bahu-membahu dalam membawa perahu mereka satu persatu. Cepat namun pasti tentu sudah menjadi kebiasaan mereka sehingga tidak memakan waktu lama, seluruh perahu telah berapa di tepi pantai dengan lampu putih yang bertengger pada setiap layar. Para nelayan akan melompat ke dalam kapal mereka masing-masing sembari berbekal jala, sarung, makanan, dan tentu keyakinan. Keyakinan berlayar di tengah ombak yang menggelegar cukup kuat dengan harapan mendapat tangkapan ikan yang minimal bisa mengganti modal mereka berlayar selama semalam.

Cahaya lampu dari perahu nelayan terlihat berpendar dari kejauhan. Foto: Arsyta Zhafira Mukhtar.

Perairan tetaplah perairan, tempat tinggal ikan tanpa mengenal ukuran, warna, dan bentuk. Hingga fajar datang dan matahari mulai menampakkan keindahannya, para nelayan akan mulai menepikan perahunya. Sama seperti menurunkan perahu ke tepi pantai, mereka juga bergotong royong menarik perahu ke atas pesisir dan menatanya kembali dengan raut yang bahagia. Raut bahagia itulah yang menarik saya untuk sedikit berbincang dengan mereka terkait hasil tangkapan. “Bulan dalam puncak purnama dan ombak sudah pasti cukup besar. Tentu kami tahu hal tersebut tetapi demi melihat keluarga dengan perut kenyang, kami pasti akan mengusahakan. Rezeki sudah ada yang mengatur, sepertinya semalam belum waktunya buat dapat rezeki.” Kurang lebih begitulah yang dikatakan oleh para nelayan.

Laut begitu menyimpan banyak sekali kekayaan sekaligus kesedihan. Laut yang digembar-gemborkan pada dunia luar dengan beragam kekayaan hasil tangkapannya, mungkin masih belum berlaku pada kawasan pantai Bandealit. Perubahan iklim yang ekstrim, sampah plastik yang berserakan di laut, dan pemanasan global yang berkejaran menuju tingkat tertinggi merupakan faktor penyebab semakin menyusutnya ikan dari perairan laut dangkal. Meskipun Pantai Bandealit termasuk pantai yang terisolasi dengan sangat sedikit wisatawan yang berkunjung bahkan sepertinya hanya ketika hari raya Idulfitri saja, sehingga hampir tidak dijumpai adanya sampah akan tetapi lautnya jarang menyuguhkan kekayaan ikannya.

Pantai yang terisolasi akan tetapi memiliki sedikit ikan tentu menjadi fenomena tersendiri. Awamnya ikan banyak berada di pantai yang sepi dan minim sampah, akan tetapi lain halnya dengan Bandealit. Sebuah fenomena dan sepertinya juga dialami oleh banyak pantai di Indonesia. Laut tempat tinggal dan berlindung ikan masih sakit. Ikan yang menjadi komoditas utama nelayan menipis. Secara realita fenomena itu memang sedang terjadi, laut belum pulih dan masyarakat nelayan tidak berdaya. Mari ambil langkah, setapak demi setapak untuk setidaknya tidak turut memberikan hal negatif terhadap keberlangsungan ekosistem laut. Sosialisasi untuk buang sampah pada tempatnya mungkin terdengar sepele bagi sebagian orang, akan tetapi berdampak besar bagi kehidupan biota laut. Laut sehat, masyarakat berdaya.***

Artikel Terkait

Tanggapan