Pesisir Utara Jepara, Ladang yang Terjarah Tikus-Tikus Borjuis
Seorang kawan pernah berujar, “Tikus itu kalau menemukan ladang yang bagus akan mengajak tikus-tikus lainnya untuk menjarah ladang itu sampai habis.“
Kala itu, kami sedang mengobrol sembari mengeluhkan situasi yang tengah terjadi di tempat tinggal kami, Jepara. Jika dilihat di peta, kabupaten ini menjumbul layaknya punuk unta di tengah liukan garis pesisir utara Jawa. Kendati masih bagian Pantura (Pantai Utara Jawa), bisa dibilang daerah ini tersudut dan tak banyak orang yang mampir ke sini. Karena jembulan punuk unta itu, Jepara bukan perlintasan bagi orang yang mau ke Surabaya ataupun ke Semarang. Diapit oleh Demak dan Kudus yang terkesan lebih urban, Jepara terasa sepi hiburan karena tak punya bioskop apalagi swalayan besar.
Tapi itu dulu, dua dekade ini Jepara makin ramai dan cukup banyak membangun. Di pusat kota berjajar brand-brand makanan internasional. Swalayan diperbesar dan akan ada bioskop di dalamnya. Hal ini dipicu oleh banyaknya pendatang ke Jepara. Penduduk luar kota bahkan orang asing banyak yang sengaja datang ke Jepara, terpikat oleh bisnis-bisnis yang terus membesar di sini; mulai dari mebel, industri garmen, perhotelan, hingga tambang. Ternyata jembulan punuk unta Pantura ini sangat memikat. Bagaimana tidak, bentang alamnya cukup beragam dan kaya, mulai dari perbukitan, sawah, pantai, hingga kepulauan.
Bukankah dengan begitu perekonomian di Jepara meningkat? Lantas kenapa aku dan kawanku mengeluh? Apa kaitannya dengan tikus dan penjarahan?
Realitanya, keramaian itu bukan dikhususkan untuk warga Jepara tapi pendatang. Pembangunan yang ada justru diiringi kerisauan warga Jepara yang tinggal di lokasi paling kaya di Jepara, khususnya di bagian utara. Bahkan meskipun perempat awal tahun ini Jepara viral karena kasus kriminalisasi seorang aktivis Karimunjawa bernama Daniel Tangkilisan, yang terdengar hanyalah masalah pencemaran limbah tambak udang. Padahal ada banyak ‘tikus’ yang sedang menjarah Jepara dengan berbagai cara di bawah dalih pembangunan dan peningkatan ekonomi. Setidaknya ada tiga daerah yang terus terancam oleh pembangunan yang masif di Jepara: Desa Tubanan, Desa Balong, dan Pulau Karimunjawa.
Tikus dan Ladang
Inilah yang kami keluhkan.
Di Desa Tubanan, ada Pembangkit Listrik Tenaga Uap Tanjung Jati B (PLTU TJB) yang saat dibangun digadang-gadang sebagai pembangkit listrik terbesar se-Asia Tenggara, melebihi Paiton (KlikFakta, 2019). PLTU seluas 255 hektar ini menyuplai 10,4% listrik di Jawa dan Bali. Pembangunannya dicicil dalam beberapa unit sejak 2006–yang terakhir ditargetkan rampung pada 2021. Keberadaan mesin uap raksasa ini memberikan dampak yang signifikan terhadap lingkungan dan kehidupan warga sekitar. PLTU memang memberikan peluang kerja sebagai karyawan PLTU ataupun pemilik kios dagangan dan kos, tetapi peluang ini hanya dapat diakses oleh orang-orang dengan keahlian tertentu atau dengan modal yang cukup. Bagi warga yang tetap bekerja sebagai petani dan nelayan, keberadaan PLTU adalah mala petaka (Nooraliza & Salam, 2022).
Muaranya adalah kerusakan lingkungan yang terjadi di sekeliling PLTU. Misalnya semburan uap garam dari cerobong PLTU pada Juli 2011 telah merusak ratusan hektar sawah dan kebun warga (Liputan6, 2013). Menurut laporan Walhi (2015), aliran irigasi sawah juga terhambat karena posisi sodetan kali bersebelahan dengan PLTU. Belum lagi, banyak lahan petani yang digusur untuk pembangunan PLTU. Bagi buruh tani dan petani dengan lahan kecil, minimnya lahan sama saja merenggut sumber penghidupan mereka–karena ganti rugi tak akan cukup memenuhi kehidupan hidup seterusnya sementara mencari pekerjaan lain pun sulit (Nooraliza & Salam, 2022).
Parahnya, PLTU dibangun di kawasan terumbu karang Sabang dan Pancal yang terhubung dengan gugusan karang di Karimunjawa. Untuk pengoperasiannya, diperlukan sistem water intake yang terus-menerus menyedot dan membuang air ke laut. Sistem ini sangat berdampak terhadap wilayah tangkap nelayan yang kini harus mencari ikan lebih jauh. Menurut pengakuan Forum Nelayan (Fornel) Jepara, tidak mungkin mendapat ikan dalam radius kurang dari 100 km2 dari kawasan PLTU (Walhi, 2015).
Dari segi kesehatan, keberadaan PLTU dapat mengganggu sistem pernapasan akibat fly ash yang menyebar di udara. Limbah debu ini terhembus angin ke wilayah perkampungan kala kemarau tiba. (CNN Indonesia, 2016) Protes sering dilayangkan oleh warga, tetapi selagi PLTU itu masih beroperasi artinya limbah masih terus diproduksi.
Tikus-tikus tak hanya menyasar ‘ladang’ di Tubanan. Tepat di sebelah timur Tubanan adalah Balong, desa yang getol menolak pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir di sana sejak 2007. Desa ini konsisten melawan segala bentuk pembangunan yang sewenang-wenang sejak saat itu. Pembangunan PLTN di Balong dihentikan pada 2015, akibat gempa yang sering terasa hingga kawasan Muria (Wikipedia, 2024).
Sebelum perkara PLTN usai, Desa Balong sudah diincar untuk pertambangan pasir besi di kawasan pesisirnya. Bagaimana tidak, harga pasir besi bisa berkali-kali lipat harganya dibanding pasir biasa dan Jepara memiliki kandungan pasir besi yang tinggi (Serat, 2021). Lebih dari 400 ha lahan sepanjang pantai utara Jepara menjadi kawasan tambang–setidaknya itu yang memiliki izin usaha pertambangan (IUP) sejak kurun 2008 hingga 2026, entah berapa hektar lagi lahan yang dikorbankan untuk pertambangan ilegal. Mesin uang kali ini tidak hanya merongrong pesisir Balong, tapi juga Desa Bumiharjo, Bandungharjo, Banyumanis, hingga Ujung Watu. Desa-desa itu dikuasai oleh IUP milik CV. Guci Mas Nusantara (GMN), PT. Pasir Rantai Mas (PRM), dan PT. Alam Mineral Lestari (AML). Sejak adanya tindakan ekstraksi pasir ini, muncul kerusakan-kerusakan lingkungan yang sangat merugikan warga, di antaranya abrasi yang terus menggerus persawahan akibat proses pengerukan, polusi udara yang meningkat dan rusaknya jalan akibat lalu-lalang kendaraan berat, serta kekeringan yang melanda area sawah dan kebun warga akibat terganggunya aliran irigasi (Suroto, 2018).
Warga di desa-desa itu jelas menolak. Apalagi proses pembuatan IUP yang ada patut dipertanyakan. Lokasi-lokasi pertambangan itu berada di kawasan sempadan pantai yang termasuk kawasan lindung. Di sisi lain, warga juga tak pernah diajak rembuk sebelum izin dikeluarkan. Saat warga protes, mereka justru diancam bui. Pada Maret 2013, lima belas nelayan yang menolak pertambangan itu divonis 4 bulan penjara dengan 8 bulan masa percobaan (Mongabay, 2013).
Tak berhenti sampai di situ, krisis ekologis juga dialami pulau sakral Karimunjawa. Kawasan taman nasional yang juga dinobatkan sebagai warisan biosfer UNESCO ini terancam penggerusan karang oleh tongkang batubara dan limbah tambak udang intensif. Suaka laut Karimunjawa terus digerus oleh tongkang batubara, baik yang terdampar maupun yang sengaja sembarangan bersandar. Pada 2017, setidaknya ada empat kejadian tongkang kandas di Karimunjawa yang ikut berkontribusi merusak 1660 m2 terumbu karang (Antara News, 2017). Ini belum termasuk kejadian kandas dalam enam tahun terakhir. Padahal dalam satu kejadian, bukan hanya satu, melainkan bisa belasan hingga puluhan kapal, sementara panjang tongkang bisa puluhan meter. Warga berusaha melaporkan kejadian-kejadian itu ke Balai Taman Nasional (BTN) Karimunjawa. Akan tetapi, selagi masih ada batubara yang dikirim dari Kalimantan untuk PLTU di Jawa, kejadian tongkang kandas akan terus terulang, lantaran jalur perlintasannya yang dekat dengan Laut Karimunjawa (Vice, 2018).
Yang baru-baru ini viral, Pulau Karimunjawa tercemar oleh keberadaan tambak udang vaname yang masif dan intensif di sepanjang kawasan mangrove Desa Kemujan dan Desa Karimunjawa. Tambak intensif ini mulai ada sejak 2016 dan terus berkembang hingga 33 titik tambak dengan total luasan 42 ha pada 2022. Dalam setahun, kapasitas produksi udang vaname di Karimunjawa bisa mencapai Rp131 miliar, sangat menguntungkan bagi penjualnya. Pasarnya tentu bukan untuk orang Indonesia. Udang mahal ini dijual eksportir Semarang dan Surabaya ke Amerika Serikat, Cina, Jepang dan Korea Selatan. Alih-alih menguntungkan, tambak intensif ini malah merugikan warga sekitar yang mayoritasnya nelayan dan petani rumput laut.
Sejak beroperasinya tambak intensif, muncul lumut sutra yang menutupi bibir pantai, lebar tutupannya bisa mencapai 70 m menuju laut lepas. Akibatnya, biota laut tak bisa hidup di kawasan itu dan airnya menyebabkan gatal-gatal. Terlebih, untuk mengoperasikan tambak, pipa-pipa panjang harus terus mengalirkan air laut ke tambak dan digantikan dengan air sisa yang sudah terpakai. Pipa-pipa panjang dan besar ini merusak terumbu karang yang dilewatinya (Kompas 2024). Semua tambak tersebut jelas ilegal karena berada di kawasan Taman Nasional (TN) Karimunjawa. Sejak April lalu, Gakkum KLHK menetapkan empat petambak sebagai tersangka karena menolak menutup tambak. Di saat yang sama, empat warga dijadikan tersangka dengan dalih UU ITE ketika mereka getol menolak tambak (ProjectM, 2024). Kendati tiga warga telah lepas dari tuduhan, satu lainnya masih dalam proses kasasi. Sementara untuk kondisi di Karimunjawa, sebagian besar tambak sudah ditutup, tetapi agaknya warga masih harus menunggu waktu yang sangat lama untuk proses pemulihannya. Juni ini, warga menggugat keempat tersangka pertambak, Pemkab Jepara, dan Balai TN Karimunjawa karena proses penanganan yang teramat lamban dan minimnya transparasi.
Kapitalisme dan Krisis
Mungkin, untuk saat ini tiga masalah yang saya uraikan di atas agak mereda. Tetapi, ada banyak hal yang belum tuntas. Tindakan perusakan di tiga daerah utara Jepara itu, terjadi tidak lebih dari dua dekade. Tetapi, butuh puluhan hingga ratusan tahun bagi tanah, air, terumbu karang, dan hutan untuk pulih kembali seperti semula. Padahal, para warga aktif menolak sejak awal. Alih-alih memberi solusi jangka panjang, pemerintah cenderung lamban menanggapi atau justru memfasilitasi perusakan lingkungan dengan dalih pemenuhan kebutuhan, pembangunan, ataupun peningkatan ekonomi. Cukup gamblang, ada kepentingan uang yang besar.
Menurut Medovoi, sulit untuk memikirkan kerusakan lingkungan tanpa melihat cara produksi (Muhia, 2020). Untuk kasus Jepara utara, jelas asal muasal penurunan kualitas lingkungan hidup yang telah saya uraikan adalah proses produksi di PLTU, pertambangan pasir besi, dan tambak udang masif. Mengutip dari Clark dan Foster (2010), “The ‘problem of nature’ is really a problem of capital,” sebagaimana siklus alam dirusak dan kekayaan publik harus dikorbankan demi akumulasi kekayaan pribadi. Ketiga proses produksi itu dilakukan dengan skala yang besar, artinya ekstraksi sumber daya alam juga dilakukan secara besar-besaran, misalnya proses water intake di PLTU TJB. Produksi yang besar dilakukan demi mencapai keuntungan yang besar untuk dikumpulkan oleh petinggi-petinggi perusahaan. Misalnya, keuntungan tambak udang masif hanya berputar di produsen dan distributornya–warga yang mayoritas tidak bekerja di tambak tentu tak dapat apa-apa, malahan mereka yang harus menghadapi kerugian akibat alam tempatnya mencari penghidupan sudah dirusak.
Menurut Moore, “capitalism is dependent upon appropriating the unpaid work of humans and the rest of nature,” yang mana modal gratis didapat oleh para borjuis dari memeras manusia dan alam (Maimunah (ed.), 2021).***
Tanggapan